Kamis, 09 Maret 2017

PENYAIR HUSEN MULAHELE 1944-1988

Oleh: Iverdixon Tinungki



Dalam sebuah forum yang khusus membahas sajak-sajak Husen Mulahele, seseorang mengajukan ‘definisi’: “Husen adalah pertama-tama sebuah integritas, selanjutnya dan selamanya ia membangun terus integritas itu untuk terutama membuat puisi, maka bahkan seutuh dirinya adalah puisi yang selalu berdaya pukau.”

Umumnya mereka yang mengenal Husen setuju dengan ‘definisi’ tersebut. Husen Mulahele, lahir di Manado 1944, di manapun ia hadir selalu bersama pancaran kesenimanannya, apapun yang ia ucapkan selalu liris, dan dalam setiap kata-kata yang ia tulis selalu hadir dirinya. Ia menulis puisi dengan kecintaan amat dalam.
Buku-buku antologi puisinya adalah Air (Surabaya: Ladang Minor, 1975), Sajak-sajak Surabaya Utara (Surabaya: Ladang Minor, 1976), Ya Nasib (Surabaya, 1977), Saujana (Surabaya,1978), dan Lenso yang diterbitkan akhir 1997 oleh Dewan Kesenian Surabaya, hampir sedasawarsa setelah penyairnya wafat 1988 di Jakarta.
Tahun 1975 mendirikan dan mengasuh Teater Ladang Minor, Surabaya. Kemudian, 1977, dalam kelompok kreatif November, bersama Peter Rohi, M. Djupri, Dr. Nurinwa, Prof. Dr. Machmud MZ dan Wayan Sumantri, menerbitkan majalah sastra dan budaya Trem, dimana Husen menjadi redaktur puisi. Sejak 1978 sampai 1981 membina sejumlah sanggar di Manado, termasuk Teater Manandou yang ia rintis beberapa tahun sebelumnya saat masih mukim di Surabaya. Di Manado, ia dikenal sebagai motor penggerak kehidupan sastra modern. Tak sedikit muridnya tumbuh menjadi penyair terkemuka di Sulawesi Utara, di antarannya Kamaja Alkatuuk, Iverdixon Tinungki. Sebuah sajaknya yang paling populer dan paling sering dibacakan di Manado berjudul: “Sam Ratulangi Adakah Tuan”.
Di kalangan insan pers — melalui perannya sebagai redaktur koran Mingguan Mahasiswa, Memorandum (Surabaya) dan majalah Popular (Jakarta) — Husen dikenal sebagai seniman-jurnalis. Karena berita yang sesingkat apapun dan ihwal peristiwa yang sekecil apapun selalu digarapnya sama serius sebagai suatu karya penting, dengan pengerahan segenap kemampuan susastra serta inovasi teknis artistiknya.
Berikut petikan dari puisi Husen Mulahele, Pamit, yang berbicara tentang kematiannya sendiri. Ditulis tiga bulan menjelang wafatnya. Yang kurang-lebih menunjukkan betapa seutuh hayatnya sampai matinya menyatu dengan puisi.

Ini hidup telahkah sia-sia?
Dermaga hanya tersisa ampas
muntah kelasi puluhan tahun silam.
Pelayaran takkan tiba lagi di rumah tua,
pada musim pertemuan ketika kita memainkan gelak
karena kapal berangkat terus menuju haluan
dan aku harus selalu pergi, selalu mengucap:
“Selamat tinggal.”
Inikah, sayang, saat perpisahan menikam sebab?
Dalam bejana yang kian retak oleh gelisah?
Yang ditunggu telah memburam dalam kenangan,
berkarat dalam catatan.
Lalu matahari menarik sinarnya dari ubun-ubunku
dingin membungkuskan tanda pada ujung jari kakiku
dan merayap ke pusat detak yang mulai diam.
Sementara kamar sunyi, kamu membayang-bayang
cakaran suaraku dalam lembar-lembar tulisan
seperti memahami isyarat purba.

(Kurator Iverdixon Tinungki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar