laut yang biasa kuseberangi menyeberangi hatiku
seketika hatiku tersebak arus di segulungan ombak
yang tibatiba membentuk kapak menghujamku
tapi aku tak akan berhenti berperahu menemui perangku
aku tak akan meninggalkan lagaku sendiri
meski sebenarnya pikiranku begitu letih
menerjemahkan hulu dan hilir dari mimpiku
pada lengking suara jelaga resahku terasa memar
menjelma pemandanganpemandangan asing dan samar
benderabendera dan sepasukan musuh
mereka muncul dari kedalaman palung tak
bercahaya
penuh siasat mereka datang mau menusukku
apa yang tersisa di tengah arusku, di tengah
ombakku sendiri
kecuali perahu di dadaku itu. perahu warisan
moyang
dengan segala sejarah pertarungan
dimenangkannya
perahu sejak aku lahir telah melabuh di
jantungku
menunggu aku menuju perangku
di depanku selalu ada perempuan paruh baya
matanya lentera. begitu siaga ia menepis kabut turun dengan
seribu lembing mengarah ke jantungku
meski tangannya mulai lemah, jemarinya tetap saja lincah menjahit
sobekansobekan layar perahuku dengan doa
dua anaknya begitu sigap memacak batang citacita seperti layar
layar ini siap mengembang. kami mau mengarung dan bertempur
bersama ayah, kata mereka.
seorang cucu betapa manis senyumannya
ia merangkak di tengah jantungku yang mendegup lemah
kecuali tangisnya selalu membuatku terjaga
ia butuh susu tak saja sayang ternyata
seorang menantu juga di sana setia mengasah kesabarannya
seperti penganyam letih memahami polapola selalu baru sepanjang saman
semua mata itu menghujamku. hingga kutemukan tubuhku
teronggok dalam pecahan airmata mereka
sementara malam sehitam tubir yang dalam menenggelamkan
cahaya
di pucat bintang dulu tempat moyangku menentukan
haluan
laut yang biasa kuseberangi menyeberangi hatiku
memaksaku menentukan jalan dan tujuan
“semua awak yang kusayangi mari kita pergi
ke medan laga kita sendiri. Hidup atau mati ternyata
ditentukan pertempuran hari ini”
Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar