hari kesepuluh, bulan kesepuluh
ia meraung, ia mengerang, menyibak
leluhur legam
begitu erat mencengkrami malam di
pucuk dedaunan
tibatiba sehelai daun nangka jatuh
di simpang penyeberangan
menggegar keributan. Tapi, malam seperti sepeda begitu lambat
membisukan teriakkan
ia berperahu dengan penampang dingin
dari tempahan baja
derit mesin pembaca detak nadi, kain
putih dan semua rasa sakit
berhamburan ke langit tinggi. sesekali
terbenam
sesekali mencengkram. igauigau liar
berkejaran
Tuhan, ini detak keberapa di
jantungnya
ketika itu, malam begitu bundar tiada
ujung pangkal
sekadar menggapai, sekadar melambai
bulan murung letih memanggil bintang
berlarian
ke bilik tertinggi dari semua doa
dipanjatkan
nafasnya terbang bergelantungan,
bayangbayang rapuh berkesiuran
ia hanya mendengar suara enya berbagi
ruh padanya
sejak hari pertama, bulan pertama.
Ia tak ingat lagi asam pada mangga,
manis pada nangka. pohonpohon itu
kuyuh menanti kabar tangisan siapa
pertama akan menyapa. Hingga tak
percuma daun kesejuta gugur
buat sejarah benih buah yang akan
dibesarkannya
di ujung langit teratas, cucu
pertama begitu lihai merekatkan bisuku
ke tunggku penempahan gelisah, saat
aku memandang awan merambat
di langit tampak datar menggambar sebentuk
bayangan kereta
perempuan pada akhirnya akan
mendengar tangis pertama anaknya
ritus dongengan tua harus tunai dibayar
dengan pekik dan ceceran darah
jam 23.24 cucuku lahir dengan
kegirangan yang nyaring
“ada cahaya maha luas di mata segemerlap
andromeda”
tibatiba berbaris sebegitu rapi
bagai prajurit langit
mengantar sang pemberani ke medan
laga harus ditunainya sendiri
di matanya tertampung semua rintih
kesakitan, riwayat engah nafasnya,
menjelma bujuran cinta tak terbilang
angka, tak termakna kata
semua yang mencintainya merasa adaNya
semua yang mencintainya merasa adaNya
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar