Jumat, 02 Maret 2012

BEBERAPA SAJAK TAHUN 2001

DI KENINGMU ADA PUISI

Dalam matamu matahari itu bersinar
Masih pagi
Ketika kau kenakan jeans dan kaos orange
Aku datang tengah hari
Dan keningmu berpeluh

Aku tak bertanya berapa jam kau di halte
Kerna bisku tak mampir di stasiun itu
Tapi kita bertemu
dan selalu bertemu dalam setiap putaran detik
kerna aku mengenangmu


Masih seperti kemarin
Hidungmu lancip ronakan rinai
Gerimisi jiwaku
Aku mungkin tersesat di rupa jiwamu

Diam-diam aku berada di sana tanpa permisi
Kerna ingin kubaca setiap puisi di baris keningmu
Jangan-jangan ada namaku  kau tulis
Sebelum meninggalkan pintu

2001

KALAU BINCANGKAN KEMAREN

Tak usah sebut Renoir, Timmy, Lukas, atau Nick
Kalau mereka bernama batu
Meski ruang penuh kelip itu masih menyisahkan musik
Bersama seribu nelayan yang memburu matahari
Carilah tasikmu
Sebab setiap manusia punya angin
Daun gugur dan musim
Burungburung bernyanyinyanyi
Menjemput dan melepas hari
Dalam rindu ke rindu s’lalu
Kerna reranting setia menyediakan titi bagi Nuri
Kelelawar, elang, dan segala yang ingin berdiri
Menegaklah  selagi masih ada semangat
Memetik esok di antara segala kota yang tiang
Penjurunya tertanam di jiwamu
Kita memang penumpang bagasi ketika senja
Mendengar deru dan lagu yang samar
Tapi sebentar, setiap orang selalu punya tujuan
Untuk mandi atau mencuci muka
“manusia memang selalu penat entah oleh apa,
dan kita mesti menamainya”
Apakah aku dapat menciummu?
Seperti anak-anak menyirami kecamba
Hingga sebelum ajal mampir di mimpi
muncul kelopak, dan bayang-bayang bunga
sebab yang kemaren itu selalu sejarah
buku-buku tua di museum
hanya untuk pengelana tak kenal rimba
Beristirah bukan berarti berhenti
Selagi ingin, kau boleh mampir
Di negeri mana kakimu pergi

28/6/2001


SEPERTI MERCON KUCIUM DIKAU

Yang meletus di ruang tanpa kelas itu
Mercon yang lama tersimpan dalam rindu yang beku
Lalu setiap orang mencari di tengah asap
Hanya kulitmu ditemukan kian ranum menyimpan dukaku

Setelah sunyi
Dan senyap pergi
Jutaan kunang-kunang mengawinkan kita
Hanya kita
Kita berdua
Berpeluk kesah
Tanpa berpisah dalam hidup atau mati

Tak ada daun gugur
Meski angin kencang bertiup lewat cerobong
Kelelawar-kelelawar tak ada
Tak ada cicit
Tak ada debur
Kerna rembulan diam-diam di simpan matamu
Hanya matamu menangkap rupa wajahku
Yang terus beringsut ke jiwamu
Kita di sana, ke sana, ke nun
Untuk berabad-abad menepihkan penat
Setelah bertahun-tahun dipermainkan nasib dan dusta

Dan aku mengecupmu di sana
Jutaan mercon meletus
Malaikat-malaikat menari, bernyanyi
Mebacakan puisi
Di ruang pengantin tanpa khutbah
Hanya kita
Dan mahluk-mahluk tanpa wujud itu
Yang setia menaburkan bunga

29/6/2001

PUISI YANG DITULIS JEMARI

Pada tangan dan kulit lenganku
Kau kirim isyarat purba
Sebuah puisi yang ditulis jemari
Aku terpental dari masa silam
Keseberang abad yang muda

Di jalanan ini
Iklan-iklan itu
Menggambarkan ruparupa kerawanan
Orangorang berbisikbisik tentang rahasia
Orangorang mencakapcakapkan kepahitan hidup
Kau mengerutkan dahi
Mecium bau peluh di sepanjang etalase
Pikiran-pikiran jernih yang terbakar di menaramenara kota
“Apakah kau ingat perempuan yang membacakan Morina Vonna”
tibatiba semua orang membutuhkan tisue
buat keringkan sungai di kelopak mata
tak terkecuali Febry, Livie, dan Tia
reka senyumnya isyaratkan pelangi
kampungkampung yang terbakar
dan ribuan nama bersamasama dibawa arang ke angkasa

Lalu kau genggam jemariku
Cakapkan resah tentang rumah
Kita menjadi dewasa sekaligus kanakkanak
Berlari dan bersijumplitan di bawah malam
Dipeluk gitar seribu dawai seribu irama

Banyak yang telah kutulis
Banyak yang telah kubaca
Kucuali masa depan kita tertambat di cerocok
Menanti perahu dan kapal-kapal
Yang akan memuatnya entah ke daratan mana

30/6/2001


BAGAI  IKAN BERLONCATAN

Bagai ikan berloncatan ke udara
Kita selalu ingin pulang ke kenyataan
Tapi siapakah kita yang begitu semenamena pada perasaan
Kulihat perahumu tertambat jauh dari pelabuhan
Di mana kapalku berlabuh
Aku di sini mengamatimu
Di tengah hujan yang menderas antara jantung
Dan jiwa yang kedinginan
Akankah kau lambaikan tangan dari dek itu

Musim berganti dalam abad yang terus berkabut
Samarsamar tapi selalu nyata
Di daratan sana tiga malaikat menanti dengan sabar
Mengirimkan madah di angin ke nafas
Lelaki ini selalu gontai dan sesak
Entah oleh takdir atau kenakalan
Tapi ; Aku mencintai kamu semua
Tak ada bedanya

“kerna cintaku selalu seperti puisi yang tak selesai ditulis
mendambah dan selalu dahaga”

1/7/2001


DI SANSET KITA
BERCAKAP DENGAN KABUT

Dalam gelas nescafe kau tersenyum
Di balik kaca langit berkabut
Kita bercakap dengan kabut
Satu dua jatuh di gelas itu
Lainnya menjadi embun di rambutmu

Jiwaku berkelana kerambutmu
Memanjati usia
Teramat lembut tanganmu menyambut dan memeluku
Setelah  kuhirup kopi itu
Aku menjadi hidup dan muda
Masa silam meleleh menjadi masa kini
Orangorang yang merdeka atas waktu

Beberapa tamu memandang kita seperti lukisan Vincent
Kita tak peduli
Musik belum dimainkan dan syairsyair masih sunyi
Kita tak peduli
Kerna kita telah menjadi diri sendiri
Ketika kau bimbing aku ke tasik mendengar ombak
Kawan-kawan menilpon dan berlalu
Dan kita memilih di sini
Dan selalu di sini

2/7/2001


DI PERMADANIMU AKU TIDUR

Ketika capek di permadanimu aku tidur
Sambil mendengar syairmu
Dalam setiap kenangan yang terurai di hening

Hari-hariku tiba-tiba menjadi tamasya tiada lelah
Mendaki gunung mencari kota yang tersembunyi
Setelah masuk, tak kutemukan lagi pintu
Kecuali mendengar lidahmu  ejakan isyarat agung
Dalam nafas yang sesak dan rindu

Aku di sana
Berjam-jam
Ber abad-abad
Sebab aku tak lagi kenal waktu
Menghitung detak jantung
Dan menjilati segala yang indah di dadamu
Seperti bayi kelaparan aku minum sepuasnya
Sekali, dan berkali-kali, dan tak ada waktu berhenti

Aku selalu ingin tidur
Agar kutemukan engkau dari kenangan ke mimpi
Hanya kita berdua bermain-main
Seperti Adan dan Eva
Tanpa ular atau buah kuldi
Lalu pergi melihat langit atau bersampan di pesisir
Dalam telanjang yang indah
Kerna sebelum dinamakan; cinta selalu tak bernama
Bermarga, apalagi bermakna
Sebab cinta hanya perasaan yang senyawa

3/7/2001


Kenanglah Badai Di Jendela

Kenanglah badai di jendela
Kerna selalu kutitip  namaku di rambut angin
Tapi engkau boleh menghapusnya jika membekas di kaca
Tak perlu engkau gantungkan di bingkai
Kerna kau punya gambar sendiri
Biarkan aku menjadi bayangan di bawah hujan
Berguguran seperti daun-daun

Jiwaku yang basah dan keluh hanya bisa menyeru
“aku mencintaimu”
Dan hanya itu yang bisa kuukir pada sunyi
Pada senyap
Pada hampa
Dan kekosongan

Hari-hariku berkelana seperti kereta tanpa stasiun
Melintasi kota dan dusun-dusun
Tapi selalu pergi
Dan pergi entah ke mana
Tapi kemanapun kubawa engkau
Sebab jika aku rindu mendengar simfoni itu
Aku bisa memanggilnya dari batinku

4/7/2001


MOBIL-MOBIL ITU TERUS BERLARI


Tidak ada yang tertinggal di halte selain kenangan
Ketika mobil-mobil itu pergi
Bayangan kita dan sisa percakapan menguap
menjadi gema
Terserap angin
Aku masih ingat Febry atau Livie dan si kecil Toraja
Masikah mereka menulis kehidupan di pekan ini?

Perahu-perahu itu menghilang di mata
Kecipak ombak dan laguan burung mencicit
Terbawa pergi menuju cakrawala
Dan kita hanya bisa mengambilnya dari kenangan

Hari ini senyumku terbang bersama asap rokok
Setelah kutuliskan engkau pada selembar kertas
Kerna engkau selalu hanya bayangan
Namun setia menyeretku mengziarahi tempat-tempat persinggahan
Serupa halte dan pesisir
Dan mobil-mobil itu terus belari
Membawa pergi menit-menit
Yang tak pernah abadi

5/7/2001


SETELAH KEMAREN MENJADI ABADI

Setelah kemaren
Selalu ada kini lalu esok
Semuanya beringsut menuju keabadian
Segala kisah menjadi sejarah
Dan cinta menjadi kenangan

Selalu saja ada lambaian tangan
Atau air mata yang bercerita
Sebab setiap musim punya bunga sendiri
Setiap orang memetik setangkai
Dan merangkainya di hati
Menjadi abadi

6/7/2001


TENTANG ENGKAU

Jika yang engkau cari sebutir embun
Buat dahagamu
Atau mentari untuk langkahmu
Mintalah ke sumber cinta
Dia menantimu di ujung sujud dan doa

Aku hanya punya kata-kata
Kata yang dipinjamkan Dia
Untuk menamakan rupa
Entah Telaga jingga atau laut yang saga
Aku di jalanan ini dan bersua denganmu
Kita apa adanya
Hanya manusia
Bukan dewa atau malaikat
Yang bisa mengekalkan segala
Kita di jalananan tanpa tuan
Berjalan ke harapan entah tertambat di cerocok mana

Dik, aku telah menandaimu di pantai itu
Di bis, atau pada senyummu
Kau selalu rahasia dan muda
Tapi aku mencintaimu
Dalam setiap sembahyang dan air mata
Meski hanya dalam kenangan

7/7/2001


Di Depan Balai Kaukah Itu

Di depan balai
Ketika batubatu bergerisik
Aku selalu berujar; Kaukah itu ?

Sekali
Berkalikali
Dan mungkin abadi
Aku menanti bayangmu di sana
Lalu kita pergi mengziarahi abad yang tak bernama
Bercumbu di tepi sambil menghitung perahu
Yang datang dan pergi dari bilik hati
Kemudian hening

Kadang kucari engkau dalam sejumput bayang
Yang berlalulalang di jalanan
Dari petang hingga malam
Tapi kabar yang kudapat
Kau berada di suatu abad

Aku berdiri di depan balai itu sebagai lakilaki
Lelaki yang tua oleh rindu
Menghitam dalam waktu dan jarak
Tetapi s’lalu terilhami dirimu
Yang datang dalam gerisik batubatu
Dan aku kembali berujar; Kaukah itu ?

Betapa kangen ini serupa magma
Meledak di dasar bumi
Dan melemparkan asap ke gemawan
Yang diesok hari moga menjadi hujan
Di kolam tempat kau membasu diri

8/7/2001

Di Kafe Jalanan Kau Datang 

Agak malam kau menilpon
Tapi aku selalu punya waktu untuk dikau
Datanglah ke rinduku
Aku tak peduli kita berjumpa dimana
Dalam mimpi atau buku harian
Di jalanan atau di suatu abad

Telah kupesan jus melon
Tapi kau boleh menukarnya dengan alpukat
Jika kau mau ditambahkan susu lakukanlah
Namun berbagilah denganku dalam satu gelas
Mencelupkan roti tanpa khianat
Sebab hanya itu kekuatan yang kita punya
Untuk mengalahkan usia
Dan takdir yang berbeda

Belum musim gerimis
Seperti kita bersua dipesisir
Di kafe jalanan kau datang bersama masa
Kanak-kanak yang rewel
Tiba-tiba aku menjadi manusia masa silam
Yang tersimpan di museum
Dan kau menariku ke abadmu
Menitipku sebaris lenguh tawa
Dan bau tubuhmu ketika jiwaku menyimpannya

O’ kau boleh datang
Datanglah ke kafe itu setiap kau suka
Datanglah sebelum kota ini berubah
Dan kita kehilangan tempat berbagi kesah

9/7/2001


Di Bangku Itu Kita Punya Sejarah

Kerna kita pernah duduk di sana
Maka kita punya sejarah
Dan bangku itu masih di situ
Di ruang sempit sebentuk gang
Di mana teman-teman mengolok
Dan para penjual rokok mengintip
Ketika aku menghapus air matamu
Tapi entah di waktu atau abad depan
Kita hanya mengingatnya di masingmasing kenangan

Dan  mungkin engkau agak malu mengisahkannya
Pada anakanak tentang sebuah bangku di gang sempit
Atau satu nama yang terselip diingatan
Tapi aku menulisnya dalam puisi
Sehingga menjadi syair bagi masa depan;
Dimana waktu tak mampu mengalahkan cinta

10/7/2001

Kau dan Musim 

Tanpa kau dedaun di halaman ini tak memiliki musim
Hanya ada terik dan panas
Dedahan yang beku  rontok
Rerumput mengering dalam debu
Dimainkan angin, menguap dan sobek
Angin itu semata memerihkan kulit
Mengupas dan menerbangkan rindu
Yang menghitam di cakrawala
Memang aku tak perna dan takkan menangis dik
Karen aku lelaki
Tapi aku takkan pula menjadi manusia tanpa engkau
Maka kurindu dikau di dalam jiwaku
Yang terus  menyusut di simpan gemawan
Di halaman teramat kosong ini

Berhari-hari kucari gerisik kaki di batubatu
Adakah kau mampir seketika saja
Untuk menyemai kecamba pohon cinta
Yang daun-daunnya menjadi perteduhan keluhku

Aku di sini
Di tengah halaman tanpa tulisan dan tanda
Menanti musim berubah
Dimana engkau datang dari mazmur
Atau dari pintu sebuah masjid
Memeluk sejadah yang penuh air mata
Buat toubatku
Tak ada yang datang
Selain ke sunyi harapanku terus tersembunyi

11/7/2001


Dipanggil Kenangan

Di iringi lagu alam aku pergi kepadamu
Jiwaku bernyanyinyanyi di sepanjang jalan
Sepanjang abad
Moga sepanjang keabadian

Aku tak mengerti  entah oleh apa
Dan kerna apa
Sehingga aku s’lalu punya ingin
Padahal semuanya telah berubah di jalanan itu
Entah cat halte
Rambutmu
Dan makna rindu

Aku sendiri makin tua dan rabun
Tertatihtatih memaknai nasib
Tapi aku terus
Terus merangkak jua pergi kepadamu
Menjumpaimu di kenangan
Diam-diam aku bertanya pada setiap daun yang gugur ;
Siapakah yang mentakdirkan kita untuk tidak berpisah
S’lalu berindu
Mendamba di ingin

Berbulan-bulan kucoba pasangkan lampu
Di kuburan ingatan yang kugali
Dan kutimbun sendiri
agar semuanya menjadi lalu

Sia-sia
Ternyata cinta tak pernah akan mati
Meski lampu yang kupasangkan telah padam beribu kali

28/10/2001


Ajarkan Mereka Peduli

Jangan semai kata biar menjadi pohon
Agar kita selalu punya rimba kehidupan
Keindahan itu memang teramat liar dan tak terbataskan
Beragam, beruparupa, bercaracara
Bercintacinta, berbencibenci
Seperti seutas dawai yang menyimpan beribu nada
Berjuta-juta melodi yang belum dipetik
Atau kini yang sedang kita mainkan di batin
Sebab segalanya hanya hidup dalam peduli

Tersenyumlah jika kau tinggal punya senyum
Kerna dipinggir kegembiraan keharuan itu biasa tersimpan
Jangan menangis di pagi hari dik
Kerna selagi pagi matahari memerciki mimpi
Hingga di senja kau bisa menulisnya menjadi sejarah
Kita hanya manusia
Tak kuasa menyesali kecuali bercita-cita
 Teruslah menggapai
Dan menandai
Hingga di suatu hari kita bisa menghitung
nilai penat dan usur
di ujung waktu menanti hening

28/10/2001

Puisi Tanpa Alamat

“Kubenci diriku
Kerna aku selalu
Mencari yang kucintai”

Seperti musim
Aku tak capek mendatangi waktu
Menyemikan bunga
Membekukan salju
Dan merontokan daun- daun
Tapi disuatu pagi aku datang seperti mentari
Menyapa nuri
Memberi lagu pada angin

Seperti sesuatu tanpa usia
Aku menyisir jalan-jalan
Dan bertamu di seribu pintu
Di seribu wajah
Aku seperti remaja yang nakal-nakalnya
Sekaligus lelaki dewasa kekanak-kanakan
Datang dan pergi ke tujuan
yang mungkin selamanya tak dikenal
Tapi aku harus begitu
Kerna aku mencari yang kucintai
Agar aku hidup
Aku selalu lupa kalau besok aku telah kakek-kakek
Dengan senyum yang hambar dan gigi yang rapuh

Aku terus bergerak memburu sang hakikat
Menjadi manusia kelaparan
Dengan mulut yang selalu pahit menelan
Muslihat kebijaksanaan

Di sungai aku menjadi air yang mengalir
Di laut aku menjadi air yang bergelombang
Di udara aku menjadi air yang berkabut
Di tanah aku menjadi air yang merembes

Aku selalu berjalan
Mencari
Yang kucintai

Aku tak bertanya dimana dikau
Wahai
Yang kucintai

Kerna aku telah kenyang oleh jawaban kebijaksanaan
Yang tergantung di seribu gang
Dan di mulut seribu nabi

Aku mencarimu wahai
Dan semoga
berjumpa sendiri denganmu wahai

10/11/2001

Bayi Munggil Di Kota Kecil

Bayi mungil di kota kecil
Lahir dan bernyanyi-nyanyi bagi dunia
Seribu malaikat memainkan musik
Menari di gemawan hingga pucuk-pucuk bunga

Lagunya teramat indah
Mengisi sunyi lenyapkan duka

Berabad-abad manusia mendengar suaranya
Berabad-abad pula manusia melupakan musiknya

Segalanya bergegas
Dan terus bergegas berputar bersama kepura-puraan
Manusia seakan mengimaninya
Tapi tak ada yang mendengarnya
Lagu itu menjadi nyanyian sumbang
Di tengah perang dan segala sengketa
Darah terkucur dari luka
Luka perang entah untuk maksud apa

Bayi mungil di kota kecil
Lahir beribu kali, berjuta kali
Beribu kali, berjuta kali pula ia mati
Di tembaki di Afghanistan, Aceh, dan timor leste
Terbunuh di segala ceruk bumi dan sejarah
Anak itu berjalan-jalan di jalanan panas
Lapar dan dahaga  dekat restourant
Tak berbaju dan tak berumah
Padahal semua orang telah menganakan Jeans,
Jas, dan rompi anti peluru
Ia mencari rumah buat berteduh
Tak ada, tak ada tempat bagi ia menyandarkan kepala
Kecuali di stasiun bis, gubuk, diemper tokoh dan kolong jembatan
Anak itu ditangkap dan dijebloskan ke penjarah
Entah oleh salah apa, oleh karena apa ia menjadi penjahat

Semua orang selalu lupa nyanyiannya
Lagu indah di kota kecil
Yang menyatukan musik surga dan dawai dunia
Ia memetik gitar itu dengan tanganNya
Dan bernyanyi dengan suara;
“Ya Bapa ke dalam tanganMu ku serahkan nyawaKu”
Sang Bapa mengirimi merpati
Kerna Ia Anak Bapa yang terkasih
Kuasa surga dan dunia di genggam tanganNya

Bayi mungil di kota kecil
Lahir berkali-kali
Dan banyak orang  membunuhnya setiap kali
Bayi mungil di kota kecil
Ditembaki berkali-kali
Tapi ia tak pernah mati
Bayi munggil di kota kecil
Pembawa cinta yang selalu dibenci
Bayi mungil di kota kecil
Kristus Tuhan bagi mereka yang mengenal kasih

12/11/2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar