Jumat, 11 Mei 2012

Kekristenan Menuju GMIM 1934 (Sejarah GMIM Wilayah Manado Utara II) (2)


 Oleh : Iverdixon |Tinungki

I.                 AWAL  MULA 1563-1934
1. Sebuah Kabar Baik  
Manusia adalah sang penanti kabar, dan Allah pewarta yang setia bagi umatNya. Nabi-nabi dilahirkanNya sebagai penyampai pesan bagi zamanya, hingga PutraNya yang kudus Tuhan Kita Yesus Kristus terutus membawa kabar indah keselamatan bagi manusia. Begitulah sejak zaman mula-mula gereja terbentuk di hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-4), kabar baik itu terus bersampai ke seluruh penjuru bumi.
Dan ini sebabnya, dikurun empat Abad lebih, pantai Singkil Sindulang tak sekadar mengisahkan debur  ombak, cerita nelayan “Soma” (pukat)dampar milik juragan-juragan pribumi, atau seorang Nyong Pranggang (lelaki remaja) yang pulas di samping lampu Kana menanti datangnya waktu riuh teriakan; “Hela haluang kamudi’’ dari kultur menjaring ikan di pesisir ini, diiringi makian dan doa di tengah malam. Tak juga sekadar kisah-kisah para pekerja onderneming dengan gaji pas-pasan di kebun-kebun kelapa yang membentang dari muara kali Tondano hingga muara kali Bailang Tumumpa di masa penjajahan Belanda. Juga bukan cuma tentang tari Katrili dan Volka peninggalan budaya Spanyol-Portugis bagi masyarakat Borgo, dengan aroma keras bau Sopi, atau Cakalele yang rancak ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan mata seramnya.

Singkil Sindulang adalah sebuah pesisir dalam peta pertumbuhan iman umat-umat pilihan Allah di Utara Manado bahkan di timur Nusantara. Empat abad perang dan kolonialisme yang tak hanya menelan banyak korban jiwa, tapi juga menjumpakan masyarakat di sini dengan ke-Kristen-an.
Bila mensitir kitab Ulangan 7:6, maka tak berlebihan bila kawasan pesisir dari Tanah Minahasa ini disebut  “Israel diaspora” mula-mula di Sulawesi Utara.  Israel diaspora  adalah sebuah istilah bagi umat Allah yang berada di luar teritorial negara Israel. Bila kitab Perjanjian Lama menegaskan dimana Allah sendiri yang memilih umatNya, maka di kurun empat abad lampau itu, dari sisi teologis kita bisa menyimpulkan dimana Allah sendiri juga yang memilih umatNya mula-mula di kawasan pesisir ini hingga menjadi jemaat-jemaatNya.  Para nelayan, petani, pekerja kasar dan tukang, juga raja-raja menjadi hamba-bambaNya yang setia membangun aras-aras pelayanan melintasi abad dan kurun waktu hingga menjadi Gereja hari ini. (Yesaya 41:8,9; 43:1).
Maka adalah sebuah senarai yang menarik dan penuh kejutan bila menilisik dan merefleksi pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat di teritorial pelayanan GMIM Manado Utara bila diurai dari masa lampau itu, yang kemudian membentuk aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini.
Dari manakah benih awal kekristenan yang menjadi pohon pelayan di kawasan ini? Siapakah yang menebar Injil mula-mula hingga terjadi perjumpaan yang mesra antara manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus di pesisir ‘Tanah Pengharapan’ ini? Siapakah mereka yang terberkati menjadi Jemaat pertama? Seperti apakah perkembangan selanjutnya hingga kita hari ini menyaksikan betapa indahnya taman pelayanan di kawasan pesisir ini. Bagaimanakah Tuhan membentuk kelokan dan tikungan aliran sejarah pelayanan jemaat-jemaatNya?
Rentetan pertanyaan sarat makna di atas tak mungkin terjawab bila  kita tak mengurai benang merah sejarah pelayanan dari kurun empat abad lampau.
Bagaimanakah rentetan peristiwa sejak empat abad lampau itu? Semuanya bermula di sini, ketika 1500 orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma  menerima sakramen baptisan dari seorang Peter Jesuit Diego De Magelhaes di tahun 1563. Bapatisan itu dilakukan di muara kali Tondano (saat ini disebut Kali Jengki), atau tepatnya di tepi pantai Sindulang.
Dari beberapa literatur, peristiwa baptisan oleh Peter Diego De Magelhaes tersebut ditegaskan sebagai  awal mula perjumpaan  masyarakat alifuru dan para penganut animisme yang mendiami kawasan pesisir ini dengan kabar baik dari Injil Kristus yang datang bersama kapal-kapal dagang Spanyol dan Portugis yang mencari rempah dan kebutuhan makanan lainnya bagi kebutuhan pasar-pasar Eropa.
Dari momentum sakramen baptisan  itulah jemaat Kristen pertama terbentuk di pesisir Manado Utara, dan terus berkembang melintasi empat abad (1563-2012) hingga saat ini.
Bila ditelisik dari aspek teologis, peristiwa baptisan pertama oleh Diego De Magelhaes di atas tak sekadar bermakna historis tapi juga teologis sebagaimana diamanatkan Efesus 1:3-14, dimana Tuhan Allah, Bapa dalam Yesus Kristus, yang oleh Roh-Nya yang kudus telah memilih, memberkati, mengutus dan menyertai Gereja-Nya.
Bagaimana harus bermula di sini? Pesisir Manado Utara dan muara kali Tondano ketika itu dapat dimetaforkan sebagai pintu menuju “Tanah Pengharapan” yang menjadi salah satu titik penting sekaligus Bandar pertemuan orang-orang dari berbagai suku dan bangsa untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan “surga” bagi para pemburu harta dari Cina dan Eropa yang datang bersama kisah-kisah perang dan penaklukan. Di tengah keramaian itulah seakan Yesus datang menemui umatNya dan membangun gerejaNya. Kehidupan alifuru dan kepercayaan animisme masyarakat harus dicerahkan menuju pemahaman yang utuh tentang pengharapan dan keselamatan sejati dalam Yesus Kristus Tuhan.
Mesionaris D. Brilman  dalam bukunya yang berjudul “ Onze Zendingsvelden, De Zending op Sangi-en Talaud-eilanden” ,  membenarkan adanya effektuasi yang luar biasa  dalam kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2 orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau.  Kesaksian yang sama juga ditulis beberapa literatur  antara lain karangan dr. Godee Molsbergen dan Wessels, Schwengke, Peter Muskens, dan buku dari Dr. Muller Kruger, seorang dosen yang pernah mengajar di sekolah tinggi Theologia  Jakarta.
John Rahasia, sejarawan dan penulis buku Tagaroalogi dalam ceramahnya di gereja Patmos Bunaken tahun 1980, sebagai mana dikutip sejarawan Sem Narande,  menjelaskan , 5000 anggota jemaat yang ditemukan Ds. Werndly di tahun 1707 di Manado adalah produk dari penginjilan masa Portugis .
“Kita mendapatkan data, bahwa pada tahun 1563, Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan seorang Raja dari Siau yaitu Raja Posuma bersama 1500 orang rakyat. Raja POSUMA sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua yaitu raja pertama di Siau. Kedua Raja Manado dan Siau serta 1500 orang minta kepada Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” (Valdu La Paskah, Narande Sem, 1980, 333).
Sebelum kedatangan  Ds. WERNDLY  tahun 1707,  Ds. MONTANES sebagai pendeta dari NZG pertama  yang datang ke kawasan ini menemukan segolongan orang yang merupakan Jemaat Kristen di pesisir Manado di tahun 1675. Hal ini menegaskan dimana  lebih dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir di tahun 1934, sudah ada jemaat kristen di Manado Utara.
Menurut catatan Sem Narande, proses kehidupan kekristenan sudah berjalan. Bukan baru mulai. Bukan belum berwadah apalagi berlembaga. Bukan belum berbentuk dan berwujud. Proses kehidupan kekristenan di wilayah Manado Utara sudah berjalan lebih jauh ke depan dan jauh lebih lama dalam kristalisasi penginjilan sebagaimana almanak kelahiran organisasi GMIM.
Catatan sejarah jemaat-jemaat GMIM di kawasan Wilayah Manado Utara II  yang saat ini berjumlah 7 jemaat, dan juga pada umumnya sejarah seluruh jemaat di kawasan Manado Utara hingga pulau-pulau sekitarnya  menegaskan hubungan yang erat  cikal bakal kehidupan berjemaatnya itu dengan peristiwa pembaptisan Peter Diego  De Magelhaes di tahun 1563. Alur sejarah kekristenan di kawasan pesisir Manado ini mungkin akan berbeda bila dibanding dengan Ikwal kekristen di pedalaman Minahasa yang diperkirakan baru teretas pada permulaan abad ke XIX, yang ditandai kedatangan dua pendeta dari Gereja Protestan Belanda Ridel dan Schwarts di tahun 1831.
Dalam catatan sejarah jemaat GMIM Nazaret Tuminting yang resmi berdiri pada 17 Maret 1933 atau 1 tahun lebih tua dari usia GMIM, dipaparkan  dimana gereja itu tumbuh dari sebuah organisasi kristiani yang bernama “Hosana Ambang Susah” yang didirikan di kisaran tahun 1850 oleh para pendatang dari Sangihe Talaud yang beragama Kristen.
Kita melihat sebuah arus bolak-balik perjalanan injil Kristus pasca pembantisan Raja Posuma dari Siau di Pantai Sindulang, yang kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama memicu perkembangan jumlah umat Kristen di Siau menjadi 25.000 orang. Serta atas bantuan raja Posuma pada 9 Oktober 1568 Peter Makarenas membaptis 10.000 orang di Kalongan, Sangihe. Benih kekristenan itu juga menyebar ke Talaud yang ketika itu kawasan pulau-pulau  Talaud merupakan daerah-daerah yang berafiliasi dengan kerajaan Siau dan kerajaan-kerajaan Sangihe. Perkembangan yang pesat dalam kehidupan kekristenan di Sangihe Talaud dari buah kerja para missionary Katolik itu, dalam kurun waktu berikutnya menjadi akar yang kuat dalam pertumbuhan jemaat-jemaat di kawasan diaspora Manado Utara.
 Kembali ke Kerukunan Hosana Ambang Susah yang didirikan orang-orang Sangihe Talaud itu, awalnya bertujuan melayani peristiwa-peristiwa kematian, kemudian terorganiser menjadi kelompok ibadah hari Minggu.   Dari kerukunan itulah 20 Kepala Kekuarga yang khususnya mendiami kawasan Tuminting  merentas cikal bakal berdirinya jemaat di tahun 1916,  diorganiser oleh perintis jemaat yang bernama Paulus Kawangung, untuk melakukan ibadah Minggu secara reguler.  Sebelum dibangunnya rumah ibadah yang tetap pada 1935, kegiatan peribadatan dilakukan dari rumah ke rumah. Untuk pelayanan sakramen masih dilakukan di Gereja Pusat Paroki Singkil Sindulang.  (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,10).
Bila melihat perkembangan jemaat Nazaret Tumiting saat ini kita langsung dipertemukan dengan kenyataan betapa dasyatnya campur tangan Tuhan dalam kerja penyebaran Injil dan pembangunan Jemaat-Jemaat. Dari cikal bakal 20 keluarga di tahun 1916, jemaat Nazaret hari ini telah memiliki beberapa jemaat pemekaran seperti Jemaat Torsina Tumumpa, jemaat  Getsemani Sumompo, Jemaat Bukit Zaitun Sumompo, Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting. Selain telah mengalami pemekaran menjadi beberapa jemaat, Nazaret saat ini terdiri dari 25 kolom  dengan sekitar 800 kepala keluarga sebagai anggota jemaat.
Sebelum Jemaat Nazaret Tuminting terbentuk di tahun 1933, orang-orang di kawasan  tepi Ordeming Bailang juga telah membetuk sebuah jemaat yang permanen yang saat ini dinamakan Jemaat GMIM Sion Bailang, yang di pimpin oleh guru jemaat ketika itu Matheos Kasiaha.  
Sementara Gereja Bethanie Singkil Sindulang yang teritorial jemaatnya adalah lokasi dari peristiwa pembaptisan di tahun 1563 oleh Peter Diedo De Magelhaes, akar kekristenan awal jemaat ini sudah pasti dari peristiwa Baptisan pertama itu.  Menurut catatan Sem Narande dalam bukunya Valdu La Paskah, peristiwa pembabtisan oleh Peter Diedo De Magelhaes tak saja menjadi akar perkembangan kekristenan di Manado Utara, justru menjadi tonggak sejarah perjalanan Injil Kristus di Sulawesi Utara.
Bangunan pertamanya Gereja Singkil Sindulang  berdiri di tahun 1903 masa pendeta Hendrik Sinaulan. Gereja itu menjadi  salah satu pusat Paroki pelayanan yang mewilayahi kawasan Manado Utara, dari 3 paroki di distrik  (Rayon) Manado, sejak berdirinya Gereja Protestan Belanda di tanah Minahasa.  
Di kawasan daerah suku Bantik, di kurun waktu yang hampir bersamaan dengan gereja Singkil Sindulang, telah berdiri Jemaat Protestan Bengkol. Penempatan tenaga pendeta ke Jemaat Bengkol oleh Sinode GMIM sudah berlangsung sejak tahun 1935, atau 1 tahun setelah GMIM bersinode.
Bila muncul pertanyaan, siapa pembawa proses kekristenan itu di Manado Utara? Jawabannya, ialah Allah sendiri. Karena,  meski pekerjaan misi dan pelayanan Peter Diego De Magelhaes dilakukan dengan tatacara dan dogma  Gereja Roma Katolik masa Portugis,  kedua orang Raja dan 1500 orang rakyat bukan dibaptis atas nama gereja Roma Katolik, tetapi dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus. Tidak ada kalimat terputus dalam Firman antara saat pembaptisan pertama dari Peter Diego De Magelhaes dengan gereja dan jemaat GMIM di kawasan Manado Utara saat ini, atau dengan gereja dan jemaat GMIM lainnya atau gereja dan jemaat Protestan lainnya di seluruh Sulawesi Utara.
Buah iman yang dipetik oleh gereja dan jemaat GMIM di Manado Utara adalah tetap benih-benih Firman itu juga ditaburkan dan berakar selama 439 tahun sebagai kabar baik dari pesisir ini.
2. Masyarakat, Tradisi dan Kepercayaan
a. Masyarakat
Bau kemenyan, goraka, Kinsule (Bataka), dan bunga patuku (melati) dari upacara-upacara penyembahan purba masyarakat Alifuru dan para penganut animisme di kawasan ini,  saat ini tak lagi mampu mengalahkan berbagai wangi parfum produk modern seperti Estelouder, Axe dengan iklan malaikat jatuh di televisi itu, atau bau makanan dari jejeran restaurant di pusat kota Manado saat ini. Mantra-mantra magis telah menjadi sastra dalam kearifan lokal yang mulai setara dengan keindahan penulisan status  dalam jejaring social internet seperti facebook dan twitter. Opoisme telah ditafsir sebagai jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan dalam pandangan gereja Samawi. Tradisi masyarakat komunal seperti Mapalus telah berganti individualisme, eksklusifisme yang lengkap dengan assesoris berhala baru materialisme dan hedonism. Mall-mall dan pusat perbenlanjaan lain telah menghisap dan membentuk perangai baru dalam tradisi masyarakat kawasan ini, saat ini. Pandangan-pandangan kesederhanaan hidup telah menumui ajalnya dalam kurun waktu empat abad sejarah gereja di sini. Dan ini menjadi tantangan dan pergumulan gereja kini dan di masa depan.
Banyak yang telah berubah dan mengalami kebaruan dalam kurun waktu empat abad dari awal mula kekristenan di pesisir ini, hingga masa gereja saat ini. Meski praktek syamanisme masih saja menjadi alternatif pilihan segelintir orang dari masyarakat suku-suku  dalam hal pengobatan dan sebagai fetis menuju raihan peruntungan dalam bidang ekonomi. Dalam kenyataan-kenyataan inilah aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II berkembang.
Teritorial pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini terdiri dari 7 jemaat, masing-masing; Jemaat Petra Karangria, sebagai Pusat Wilayah. Jemaat ini terdiri dari 21 kolom. Terletak di tepi pantai teluk Manado. Kawasan pantai itu dulunya adalah area penangkapan ikan yang menggunakan pukat dampar (Soma). Sebuah kultur perikanan tradisional masyarakat pesisir Manado yang telah hidup berabad-abad sebagai tuas ekonomi masyarakat nelayan tradisional yang kini tergerus pasca pemerintah Kota Manado menggelontorkan kebijakan pembangunan boulevard sepanjang pesisir Manado. Pantai yang lebar dengan hamparan pasir yang indah kini lenyap bersama lenyapnya mata pencaharian para nelayan tradisional. Teritorial pelayanan jemaat Petra Karangria di sebelah selatan langsung berbatasan dengan Jemaat GMIM Sindulang yang merupakan batas teritorial wilayah Manado Utara I, di Utara berbatasan dengan Jemaat Torsina Tumumpa yang merupakan teritorial pelayanan Manado Utara III. Sebelah barat  adalah perairan teluk Manado, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan jemaat Nazaret Tuminting yang merupakan salah satu jemaat di Wilayah Manado Utara II.  Area pelayanan Jemaat Petra meliputi seluruh wilayah kelurahan Karangria, kecamatan Tuminting.
Berbeda dengan jemaat Petra Karangria sebagai pusat Wilayah Manado Utara II yang terletas di tepi pantai, sementara Jemaat anggota Wilayah Manado Utara II lainnya yang sambung menyambung adalah Jemaat Nazaret Tuminting dengan 25 kolom,  Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting,  Jemaat Getsemani Sumompo dengan 27 kolom,  Jemaat Bukit Zaitun Sumompo,  Jemaat Firdaus Mayondi.  6 jemaat ini terletak di area perbukitan di sekitar pesisir pantai Manado Utara. Bagian selatan berbatasan dengan Jemaat GMIM Jarden Kampung Islam yang merupakan anggota wilayah Manado Utara I, dan di Utara berbatasan dengan Jemaat GMIM Ararat sebagai anggota Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu). Sebelah Barat berbatasan dengan Wilayah Manado Utara III, dan sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Mawako.
Tujuh Jemaat anggota Wilayah ini berada di 4 kelurahan, masing-masing; 1 Jemaat di kelurahan Karangria, 3 jemaat di Kelurahan Tuminting, 2 jemaat di kelurahan Sumompo, 1 Jemaat di kelurahan Singkil, atau berada di 2 wilayah Kecamatan yaitu 6 Jemaat berada di wilayah kecamatan Tuminting, dan 1 jemaat di Kecamatan Singkil.
Mayoritas anggota jemaat di 7 jemaat ini adalah masyarakat asal etnik Sangihe Talaud. Kemudian disusul etnik Minahasa, Tionghoa,  dan etnik campuran lainnya. Mata pencaharian mayoritas masyarakat adalah pekerja kasar berupa buruh dan tukang, Pegawai pemerintah dan swasta, petani, pedagang, pengusaha kecil dan menengah.
Dengan mencermati keadaan masyarakat di teritorial Wilayah saat ini, lantas muncul pertanyaan yang lebih dalam dan menggelitik, bagaimanakah perkembangan masyarakat di kawasan ini sebelumnya? Dan bagaimanakah adat istiadat dan kepercayaan mereka?
Tentang masa lalu kawasan ini, sebuah artikel yang diposkan uBlog berjudul “Manado Dalam Peta dunia” memaparkan betapa pentingnya kedudukan pesisir Utara Manado dan muara Kali Tondado di pantai Sindulang sejak abad XVI.  Kapal-kapal Spanyol dan Portugis memasuki kawasan ini sejak tahun 1521, dalam perjalanan dagang sekaligus penguasaan wilayah sentra-sentra ekonomi.
Musafir Barat itu awalnya datang untuk kepentingan perdagangan barter berupa beras, dammar,  ikan, garam, dan hasil hutan lainnya, tapi kemudian memacak kekuasaan di daerah yang baru mereka tumukan ini.
 Mereka mengambarkan penduduk kawasan ini adalah kaum “alifuru’ dari pedalaman Minahasa yang tanahnya subur dan pandai bercocok tanam, serta orang-orang dari kepulauan Singihe Talaud yang animis, dan  pedagang Cina yang telah membaur dan berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Sebuah penegasan tentang pentingnya kedudukan dan pengaruh  kawasan ini dalam percaturan ekonomi dunia waktu itu, dilakukan oleh seorang ahli peta dunia Nicolas Desliens pada tahun 1541 yang mencantumkan nama Manado dalam peta dunia. Ia mengambarkan  masyarakat yang mendiami pesisir Manado yang pluralistik selain para pribumi dari Minahasa dan Sangihe Talaud, orang-orang Ternate,  juga terjadi asimilasi dengan para pendatang hingga ditemukan  selain orang-orang Cina dan keturunananya, juga masyarakat turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Manado dengan kedudukan Bandar di Pantai Sindulang disebut sebagai pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan Kopi ke daratan Cina. Mata pencaharian penduduk setempat ketika itu mayoritas  adalah bertani dan nelayan.
Sultan Hairun dari kesultanan Ternate ketika itu telah mengklaim dimana Manado adalah fazal ekonomi kesultanannya sejak lama bersama-sama dengan beberapa kerajaan di Sangihe Talaud, karena berlimpahnya kekayaan hasil bumi daerah ini.
Sebelum masuknya Spanyol dan Portugis, gelombang urbanisasi kekawasan ini diperkirakan  cukup pesat dan intensif sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu terutama pada masa kerajaan Majapahit 1364 (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,11). Keadaan penduduk terus berkembang pada abad-abad berikutnya sebagai dampak dari kian ramainya aktivitas perdangan  di Manado.
Menurut catatan N. Graafland, gelombang urbanisasi besar-besaran orang-orang Sangihe Talaud ke kawasan kewedanaan Manado terjadi hingga awal abad  XIX. Perahu Kora-kora dan Tumbilung yang berasal dari kepulauan Sangihe Talaud terlihat datang dan pergi sepanjang waktu dan menambat di muara sungai Manado (Muara Kali Tondano). Ada yang juga berlabuh di dermaga utama kewedanaan Manado yang selesai dibangun tahun 1859 ( N. Graafland, 1991,16).
b.  Tradisi dan Kepercayaan
Kedatangan bangsa asing ke kawasan ini dimasa lalu telah  mengikwali terjadinya alkulturasi begitu dasyat dalam sistem nilai budaya dan kepercayaan orang-orang Minahasa dan Sangihe Talaud yang mayoritas mendiami pesisir ini.
Telah terpapar dalam senarai awal dimana sebelum masuknya  pandangan-pandangan agama semitik (Abrahamic Religion), Kristen dan Islam, masyarakat di sini digambarkan sebagai golongan orang-orang alifuru yang hidup dalam kepercayaan animisme yang melakukan praktek-prakten syamanisme. Setiap ladang, pohonohon yang rimbun berbuah lebat, laut yang berlimpah ikan, semuanya mengisahkan cerita magi masyarakatnya. Kemiskinan, kemelaratan, bencana dan malapetakan adalah tuaian dari benih dosa, kelalaian dan kealpaan. Dosa dan kealpaan itu harus disucikan lewat upacara  ritual magi.
Kepercayaan masyarakat yang telah berlangsung dalam kurun ribuan tahun sebelum persentuhan dengan kekristenan itu bahkan hingga kini relatif tetap dilangsungkan baik di Minahasa dan di Sangihe Talaud.
Para missionery Zendling Inggeris Codrington menyebut kepercayaan masyarakat itu sebagai budaya magi dari kepercayaan “Mana” (bahasa Melanesia untuk menyatakan suatu tenaga sakti penuh rahasia). Masyarakat purba (primitip) dan hingga kini masih meyakini   adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia yang berada dalam seluruh alam, sesuatu yang bisa mengerjakan atau menimbulkan kebahagiaan maupun pemusnahan. Oleh karena keyakinan ini, segala aspek pikiran dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan tenaga sakti dalam alam ini.
Lebih jauh membahas tradisi dan kepercayaan masyarakat yang mendiami kawasan ini tak lepas dari  asal usul mereka. Seperti juga orang-orang Sangihe Talaud,  orang Minahasa berasal dari utara. Bertalian erat dengan Mongolia, Tiongkok, dan Jepang. Hal itu didasarkan pada analisis antropologis seperti ciri-ciri fisik, gaya arsitektur, senjata tradisional, pakaian, sistim religi, serta bahasa.
A.L.C. Beekmanahli ilmu bumi ini berpendapat bahwa secara antropologis warna kulit orang Minahasa lebih terang dari bangsa Melayu lainnya, bermata hitam dan coklat serta berambut hitam lurus. Di sudut dalam matanya terdapat apa yang disebutnya Mongolschopil atau lipit Mongol yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang Jepang.
            F.S. Watuseke, seorang peneliti sekaligus budayawan Minahasa berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri fisik, jika menelisik gaya arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga, senjata tradisional [tombak, parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu, serta penghormatan terhadap arwah para leluhur, maka semua ini memiliki kesamaan dengan suku-suku Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di propinsi Yunan dan Tibet Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku Thai, Vietnam, dan Filipina.
Pdt. Tendean seorang ahli aksara Cina dan Mongol Kuno. Pada bulan Mei 1997, ia pernah berkunjung ke Watu Pinawetengan. Dari segi bahasa, ia meneliti dan menemukan satu coretan kuno yaitu ”Min nan tou” Olehnya, dalam bahasa Mongol Kuno, coretan ini memiliki arti ’Min’ artinya Raja yang bisa jadi menunjuk raja Ming, ’Nan’ artinya Pulau, dan ’Tou’ artinya Manusia atau Orang. Jadi ”MIN NAN TOU” artinya ”Orang turunan raja Ming dari pulau itu.” Pendapat ini diperkuat oleh C. Manoppo, seorang diplomat yang lama bertugas di Mongolia. Ia mengatakan bahwa baik nama marga mapun kepercayaan dan unsur-unsur budaya Minahasa dan Mongolia keduanya memiliki banyak kemiripan, ia mencontohkan misalnya marga Sondakh, Sandag dan Tendean ada juga di Mongolia.
Mengungkap konsep metafisis abstrak masyarakat purba dapat ditelisik melalui simbol, mitos, ritus, syair, sebab dengan semua cara itu pengungkapan mereka akan hal itu. Syair doa agama asli orang Minahasa  seperti dicatat J.G.F Riedel tahun 1870, pernah diteliti  oleh J. Hikson tahun 1889.  Berdasarkan syair doa dan nyanyian agama asli Orang Minahasa menurut penelitian tersebut, Tuhan bagi orang (tou) Minahasa pra-Kristen disebut Empung. Tuhan atau Empung ini diatributkan secara superlatif yaitu Empung Wailan Wangko artinya Tuhan Maha Mulia dan Besar, Empung Renga-Rengan artinya Tuhan Maha Abadi/ Asal Keturunan. Corak superlatif-Nya sebagai Satu Yang Maha mengkarakterkan sifat monoteistiknya karena itu eksistensi diri-Nya adalah kemahaan-Nya, sekaligus kemahaan-Nya adalah esensi-Nya. Konsekwensinya, Ia dipahami dapat mempresentasikan diri-Nya dalam corak antroposentrik yaitu makan-minum seperti manusia sekaligus men-subordinasi-kan diri-Nya kepada si Lokon telu katua’an.
            N. Graafland, awalnya  berpandangan bahwa, ciri monotheistik ini dipengaruhi oleh kekristenan. Tapi setelah ia mempelajari secara lebih mendalam cara berdoa dan isi doa-doa asli orang Minahasa di berbagai tempat yang ia kunjungi, ia berkesimpulan bahwa orang Minahasa sebelum kedatangan kekristenan sudah mengenal satu nama. Dia menyebutnya ”aku akan ada, dan aku ada” [Ik zal zijn, die ik zijn zal].
Kruyt dan Schwarz mengatakan bahwa sementara mereka menyembah banyak dewa, ada satu nama yang sebenarnya bukan nama dalam arti yang biasa, yang mereka sebut “Empung Wailan Wangko”. Yang di bagian selatan disebut Si ni mema’ in tana [Yang membuat bumi] atau Si opo ni mema’in tana [dalam bentuk tunggal] yang juga mereka sembah. Jadi bercorak henoteistik.
J. C. Neurdenberg, bertolak dari teori evolusionistik, ia mengatakan bahwa awal dari penyembahan ilah manusia Minahasa bersifat monotheistik, mereka mengakui adanya Satu Yang Tertinggi [Si Empung], kemudian berangsur-angsur menjadi ‘polytheistik’ tapi bukan polydemonistik [banyak Iblis].
Opo bagi orang Minahasa adalah leluhur tapi tidak semua leluhur adalah Opo. Terminolgi Opo bersinggungan erat dengan persekutuan keluarga serta keturunan. Karena itu, ia diberi isi dan arti menurut fungsi, peran, dan tanggungjawab sang bapak sebagai penunjuk jalan, pemelihara, penjaga, pelindung, penolong, pembela, pelaku dan pemberi teladan hidup sekaligus simbol dari moral bapak, moral pemimpin yang menuntun dan mengarahkan manusia pada kehidupan yang sejahtera di dunia dan di alam berikutnya. Karena itu, ia bersifat spiritual. Sesuai hakekatnya itu, mereka ia dihargai, dihormati sebagaimana pada waktu mereka masih hidup, karena mati dipandang sebagai berpindah tempat saja. Sehingga peran dan fungsi-fungsi, tanggung jawab dan wewenang, sifat-sifat dan kedudukan/status dan derajat mereka tetap diakui melekat pada mereka. Karenanya Tou Minahasa tetap berkorelasi dengannya di dalam seluruh segi kehidupannya. Dalam Zazanian ni Karema disebutkan ”Niaku tumao kariamio” ’aku akan hidup bersamamu.’ Namun tetap diingat bahwa baik esensi maupun eksistensinya dipahami bersifat subordinatif dari Empung Wailan Wangko.
Kematian dipandang sebagai pindah tempat saja dan karena itu kehidupan tetap berlanjut. Kehidupan sesudah kematian dilihat sebagai tempat yang penuh dengan kesempurnaan, keindahan dan kemewahan, terlepas dari segala kesulitan. Tempat tujuan mereka disebut Kasendukan. Mereka yang layak ke sana adalah mereka yang selama hidupnya memenuhi tuntutan dan ajaran para Opo. Sebaliknya mereka yang hidup tidak taat, mereka tetap berada di bumi dan berkelana dan kadangkala jiwa mereka dipahami berdiam dalam satu tempat tertentu dan menakut-nakuti orang yang masih hidup, kadangkala mereka masuk dalam tubuh binatang tertentu seperti babi atau ular atau juga pergi ke bawah bumi tapi bukan daam arti reinkarnasi atau dilahirkan kembali.
Salah satu bentuk ritual orang Minahasa adalah Poso. Poso adalah ritual perdamaian antara manusia dengan Opo yang dimediasi oleh seorang Wailan. Poso terjadi ketika manusia bersalah melanggar pantangan atau larangan yang diberikan oleh Opo. Orang yang melanggar pantangan atau larangan dari Opo itu biasanya akan menderita sakit, namun sakitnya tidak dapat dideteksi oleh orang biasanya bahkan pada zaman sekarang oleh ahli medis sekalipun. Maka untuk dapat mengetahui kejadian sebenarnya sebagai penyebab dari sakitnya, seseorang dapat meminta tolong seorang Wailan. Melaluinya si sakit dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Opo, dan akhirnya ketika diketahui apa yang dikehendaki oleh si Opo dan diketahui pula secara pasti apa kesalahannya terhadap si Opo itu maka diadakan perdamaian antara manusia dan Opo melalui Wailan, si sakit memenuhi apa yang diminta dari si Opo dan penyakitnya sembuh.
Relasi manusia dengan alam semesta, dipahami dalam konsep bahwa alam semesta sebagai tempat tinggal Opo-Opo yang dihargai oleh manusia. Penghargaan terhadap alam adalah penghargaan pula terhadap pribadi Opo-Opo itu. Misalnya sebuah pohon besar, hutan, atau binatang tertentu tidak akan diganggu gugat kelestariannya sejauh mereka itu dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Maka, musnahnya mereka berarti musnah pula perjumpaan simbolik antara manusia dan para leluhur.
Paham yang sifatnya teleologis-paradoksal itu, seperti dijelaskan di atas, mendapatkan implikasi kristianinya yaitu penjelasan paham monoteistik tentang Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah dan pada konsep Empung Wailan Wangko sebagai ’Satu Yang Maha.’ Konsep inilah yang kemudian secara inkulturatif diberi makna kristiani yaitu Allah sebagai tujuan hidup manusia. Maka untuk mencapainya, Tou Minahasa kristen memerlukan peran eksternal yaitu nilai-nilai kekristenan dan terutama dalam diri Kristus sendiri sebagai Allah. Opo-Opo dapat disejajarkan dengan para kudus yang memiliki kwalitas moral yang baik karena mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana juga Opo-opo yang menjadi ideal virtue bagi Tou karena mengikuti kehendak Empung Wailan Wangko. Mereka layak dihormati karena menampakkan sifat-sifat Allah namun mereka bukan Allah.
Menganai tradisi penguburan menggunakan waruga di Minahasa mulai ditinggalkan pada sekitar pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem penguburan dalam tanah yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan diperkenalkan dan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Namun, harus dicatat bahwa sampai menjelang berakhirnya kepercayaan terhadap roh leluhur dan makin kuatnya penganut agama Kristen, waruga masih tetap digunakan. Pada tahapan ini, penggunaan waruga bukan lagi dimaksudkan sebagai bentuk pengkultusan terhadap roh para arwah leluhur/nenek moyang, tetapi penggunaan waruga pada saat itu lebih merupakan sebagai bentuk apresiasi orang Minahasa terhadap budaya lamanya.
Dari proses perubahan yang telah dikemukakan di bagian terdahulu, jelas bahwa kepentingan missionaris untuk menyebarkan pesan Injil di daerah Minahasa merupakan faktor utama penyebab hilangnya tradisi penguburan menggunakan waruga. Cara yang dipakai untuk melakukan penginjilan kepada masyarakat Minahasa memang dilakukan secara tidak langsung. Penyebaran Injil dilakukan melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Missionaris mengajarkan ketrampilan bertukang, menjahit, dan jenis ketrampilan praktis lain yang sangat dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat ketika itu. Di samping itu, missionaris juga mengajar anak-anak Minahasa untuk mengerti membaca dan menulis. Peserta didik banyak yang kemudian tinggal di tempat missionaris untuk dididik, bahkan diberi uang saku dan pakaian. Melalui cara-cara seperti itu, agama Kristen mulai disebarkan dan ditanamkan kepada generasi muda Minahasa. Dengan demikian, ketika generasi tua semakin kurang perannya dalam masyarakat, dan generasi muda yang telah di-kristen-kan menjadi berperan, maka agama Kristen pun menjadi lebih dominan dibanding dengan kepercayaan asli Minahasa. Sebagai akibatnya, penguburan dalam waruga juga makin lama tidak lagi digunakan.
Selain itu, daerah Minahasa yang sering kali dilanda wabah penyakit menjadi peluang yang baik bagi para missionaris untuk memasukkan agama Kristen, melalui bidang kesehatan. Para missionaris dari NZG memperkenalkan pengobatan modern, di samping pemahaman akan lingkungan yang bersih. Pengobatan yang selama ini dilakukan secara tradisional, disertai dengan ritual-ritual penyembuhan yang dipimpin oleh seorang walian, perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan beralih ke pengobatan modern, karena tingkat keberhasilan penyembuhannya yang tinggi. Melalui cara seperti ini, kepercayaan terhadap walian menjadi berkurang, dan beralih menuruti pesan-pesan yang disampaikan oleh missionaris terhadap mereka.
Perubahan unsur budaya Minahasa juga terwujud dalam bentuk perubahan tradisi penguburan. Tradisi penguburan menggunakan waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Alifuru lambat laun berubah dan beralih ke tradisi penguburan dalam tanah yang dilatarbelakangi konsep kepercayaan dalam agama Kristen. Perubahan seperti itu memang tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap. Pada awal masuk dan berkembangnya agama Kristen, waruga masih digunakan. Penguburan dengan waruga ditinggalkan sama sekali pada awal abad ke-20.
Proses perubahan bertahap seperti itu tercermin dari perubahan pola hias waruga menjelang masa akhir penggunaannya. Hiasan-hiasan motif manusia pada waruga tradisional yang dibuat pada masa sebelum kedatangan pengaruh Eropa cenderung dihias dengan motif-motif yang mengandung makna magis, termasuk motif manusia kangkang dengan penonjolan genitalia. Pada masa peralihan atau awal masuknya bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, dan Belanda), waruga dihias dengan motif manusia juga tetapi tidak lagi ditonjolkan genitalianya. Motif manusia seringkali digambarkan dengan menggunakan penutup genitalia sederhana atau ditutup daun-daunan. Pada tahap berikutnya, ketika pengaruh Eropa makin kuat, waruga dihias dengan motif manusia dengan pakaian Eropa. Sementara itu, perkembangan akhir penguburan dengan waruga terjadi ketika pengaruh agama Kristen semakin kuat, dan tradisi tulisan menjadi bagian dari pengetahuan baru masyarakat Minahasa. Tradisi tulisan ini juga menghiasi kubur waruga. Waruga dipahat dengan tulisan nama, waktu kelahiran dan waktu kematian orang yang meninggal. Nama-nama itu menunjukkan bahwa orang yang meninggal telah beragama Kristen. Karena itu, dapat ditunjukkan bahwa perubahan kepercayaan orang Minahasa dari kepercayaan Alifuru ke agama Kristen tercermin pula dalam budaya materinya, baik itu berupa perubahan pola hias waruga, maupun perubahan dari tradisi penguburan menggunakan waruga ke tradisi penguburan dalam tanah.
Sementara, masyarakat Sangihe Talaud di kawasan pesisir ini, seperti juga masyarakat di tempat asal mereka  sejak masa purba meyakini pentingnya persekutuan antara kehidupan manusia dengan kuatan alam semesta. Dari persekutuan itulah kemudian diambil kesimpulan dalam aspek berpikir dan bertindak dalam kehidupan keseharian.  Kekuatan semesta itu berasal dari para Opo (roh orang suci atau orang perkasa yang telah mati), Ompung (roh dewa-dewi lautan) atau Taghaloang (Tagaroa), Ingang (peri-peri), Ghenggonalangi (Sang Maha Kekuatan pencipta semesta= Tuhan dalam pengertian agama-agama semitik), serta roh-roh penyebab petaka, diantaranya : Pehang, Mongang, Lahoe, Kabanasa, Setang, Ratoen Setang. Sedang roh-roh yang bersifat baik seperti : Saritana, Ading dan Ghenggona.
Dalam pelaksanaannya di masa kini ritual-ritual itu sudah dipengaruhi oleh berbagai ajaran etika agama-agama semitik terutama ajaran trinitas Kristen yang sudah berpengaruh sejak abad ke XVI dengan masuknya bangsa Eropa 1524 yang ditandai dengan berlabuhnya perahu para pelaut Spanyol di daratan ini.
Pangaruh ajaran Kristen dalam syair Sasambo dalam tradisi Sangihe sebagai misal dapat terlihat sebagai contoh pada sebuah lagung Kakumbaeda yang judulnya “ Mesubah” (menyembah)yang dalam satu lariknya mengatakan : Ia mesubah su Ghenggona Ruata Amang Kasuluang (aku bersujud kepada Allah Bapa pencipta semesta). Bagian dari larik ini mengambarkan bahwa Kakumbaeda (syair pengantar tidur anak) ini sudah berisikan ajaran Kekristenan, atau terjadinya singkretisme budaya. Syair Mesubah dalam jenis lagung Kakumbaede ini lengkapnya mengisahkan ikwal mula terciptanya kepulauan Sangihe Talaud yang berasal dari percikan keringat Malaikat yang kasihan dan ibah melihat Wawu, seorang peremuan, dengan perahunya yang tersesat di tengah samudera. Dari keringat malaikat itulah pulau-pulau Sangihe Talaud tercipta. Mengapa singkretisme? Ini disebabkan, meski Sasambo telah dirasuki ajaran kekristenan seperti masuknya pengertian Tuhan dari perpektif agama Samawi, tapi pengaruh itu tidak mengubah keyakinan dasar akan kepercayaan pra-animisme atau yang lebih tepat disebut sebagai dinamisme masa matriachat dalam Sasambo.
Pengaruh (alkulturasi)  ajaran agama-agama-agama semitik seperti ajaran Islam sangat banyak ditemua pada Sasambo Lagung Sesonda. Hampir semua lagung Sesonda dikunci dengan larik: Bismillah Bisah. Atau pada larik yang lain digunakan kata : Kum Paya Kum atau ual pata ual.
Namun bagaimanapun terjadi proses alkulturasi dengan ajaran-ajaran semitik, Sasambo tetap merupakan ritual yang dimaksudkan untuk suatu upaya pelibatan kekuatan-kekuatan rahasia dalam alam untuk menghidarkan manusia dari bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh roh-roh yang murka, atau membujuk roh-roh mekanis dalam alam untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Masyarakat Sangihe Talaud meski telah mengalami alkulturasi dalam peri budayanya, tapi tetap memelihara sistem nilai yang jelas dari budaya aslinya. Kultur Sasahara (kultur laut) dan Sasalili (kultur darat) yang menjadi jantung dari peri kehidupan keseharian masyarakat terus terpelihara sebagai sistem nilai yang agung hingga hari ini.  Dalam budaya sasahara misalnya : kita diajarkan untuk tidak menggaruk belanga nasi sampai mengeluarkan bunyi, karena nantinya, tanaman kita di kebun akan dimakan hama. Padahal, ajaran ini bermakna sifat menggaruk belanga nasi sampai kedengaran itu kurang sopan jika di dengar tamu atau tetangga. Atau jangan membiarkan kulit kelapa muda yang setelah kita ambil dagingnya terbuka begitu saja menghadap ke atas, karena jika sisa daging di kulit kelapa muda itu dimakan binatang, kita akan sakit. Padahal, larangan itu dimaksud agar kulit kelapa muda itu harus ditutup menghadap tanah agar jika datang hujan air tidak tergenang di dalamnya dan menjadi tempat berkembang biak nyamuk yang kemudian menebar penyakit bagi manusia.
Di laut, dilarang membuang sampah sembarangan atau mengeluarkan kata-kata sembarangan, karena akan menimbulkan kemarahan Ompung (dewa Laut). Padahal, ajaran ini mengisyaratkan ajaran pelestarian alam dan ketenangan dalam pelayaran.  Lewat syair-syair Sasambo semua hal ikwal perikehidupan itu diajarkan.
Namun demikian, banyak orang Sangihe Talaud saat ini mulai meninggalkan ajaran-ajaran  ritual itu karena dianggap berbenturan dengan ajaran Samawi. Sementara di pihak lain, meski orang Sangihe Talaud  sudah hidup dalam keyakinan semitik, dalam kesehariannya mereka tidak bisa meninggalkan kepercayaan lama yang telah mengakar dan terbukti ke-ada-annya. Hal ini dapat dibuktikan: Kalau ada bunyi cecak di depan pintu, orang Sangihe Talaud  sangat yakin akan segera ada tamu. Kalau waktu keluar rumah kemudian cecak berbunyi, maka yang akan keluar rumah membatalkan niatannya keluar untuk sementara waktu, sebab suara cecak itu diyakini sebagai peringatan roh dalam alam akan adanya bahaya yang menanti di luar rumah. Maka upaya menunda perjalanan itu sebagai tindakan menghidar malapetaka itu.  Orang Sangihe Talaud  sangat senang menanam bunga di depan rumah karena sari bunga itu menjadi minuman para peri. Dan peri-peri itu akan menganugerahkan ketentraman dan berkat bagi rumah yang dimaksud. Bagi kebanyakan orang Sangihe Talaud saat ini, ajaran-ajaran budaya itu tak mungkin ditinggalkan karena sudah menjadi identitas manusia Sangihe Talaud.

3. Kekristenan Menuju  GMIM 1934
Perjalanan “sido” Tuhan telah sampai dengan gemilang di pesisir ini. Jazirah-jazirah yang dulu gelap dalam kultur alifuru dan kepercayaan animism itu kini berada dalam terang Kristus.  Kabar baik dan benih kekristenan telah tumbuh dalam kurun empat abad, menjadi  aras pelayanan Wilayah GMIM dengan jemaat-jemaatnya yang dewasa dan sistim organisasi yang pas zaman.
 GMIM saat ini adalah gereja dengan 1.000.000 lebih anggota jemaat. Merupakan denominasi terbesar dari organisasi gereja di Indonesia Timur, sekaligus terbesar kedua di Indonesia, setelah Gereja Batak. Sejuta jemaat itu tersebar dalam 103 aras pelayanan wilayah, yang dimana salah satu aras pelayanan wilayahnya adalah Wilayah Manado Utara II. Dengan 886 gedung gereja yang tersebar di tanah Minahasa, Manado, dan Bitung. Sebuah bilangan kuantitas yang sangat fantastis bila ditilik dari cikal bakal terbentuknya organisasi gereja ini.  Dalam kurun empat abad lebih, sebagaimana diisyaratkan Matius 5:13-16, dimana umat mula-mula telah menjadi garam dan terang dunia, menjadi saksi-saksi bagi terbentuknya persekutuan yang besar dalam Kristus Yesus Tuhan (Kisah para Rasul 1:8).
Maka adalah bijaksana bila menoleh sejenak kekurun awal untuk menelusuri titik-titik penting dari alur menuju terbentuknya GMIM di tahun 1934, sebagai upaya mendudukan posisi sejarah pelayanan Manado Utara hingga terbentuknya aras pelayanan Wilayah Manado Utara II saat ini. Dari  1500 orang dan 2 orang raja sebagai jemaat mula-mula di tahun 1563 yang mengalami pembaptisan oleh Peter Diego De Magelhaes, di Pantai Singkil Sindulang, yang kini berkembang menjadi gereja sejuta umat di permulaan millenium ke II tahun 2012.
Dari sinilah setidaknya terekam dimana pertumbuhan dan perkembangan  aras pelayanan Wilayah Manado Utara II saat ini telah melewati 6 fase penting: Pertama, perjumpaan pertama masyarakat pesisir ini dengan kekristenan yang dimulai dari peristiwa pembaptisan oleh Peter Diego De Magelhaes dari gereja katolik Roma. Kedua, masuknya misi protestan Belanda, yang ditandai kedatangan Pendeta Ds. Montanes dari Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) pada 1675 di Manado, pasca pelarangan penyebaran agama Katolik di daerah jajahan  Hindia Belanda 1602-1800. Maka terjadi peralihan dari pelayanan misi katolik ke misi protestan. Ketiga, pelayanan dari  pendeta-pendeta lulusan  Stovil Tomohon, sejak kedatangan pendeta Riedel dan Schwarts di tahun 1831 , yang menjadi pendorong kuat terbentuknya GMIM di tahun 1934. Keempat, pelayanan masa Paroki Singkil Sindulang. Kelima, dari Paroki berubah menjadi aras pelayanan Wilayah Manado Utara. Keenam, pelayanan Wilayah Manado Utara di mekarkan menjadi wilayah Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II di tahun 1982.
Dari fase pertumbuhan dan perkembangan pelayanan menuju aras pelayanan Wilayah Manado Utara II di atas, tampak dua momentum penting dikurun awal yang perlu digaris bawahi yakni: periode peralihan dari pelayanan Katolik ke Protestan, dan peralihan dari pelayanan misi NZG ke GMIM.
Untuk memahami fase-fase di atas perlu dilihat anasir sejarah  dimana sebelum GMIM lahir di tahun 1934; sudah ada akarnya di Eropa Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) di tahun 1787. NZG merupakan perut kandungan dari embrio GMIM. Tetapi sebelum itu sudah ada VOC Kerk dimulai 1602. Sekitar 73 tahun sesudah terbentuknya VOC Kerk, tiba di sini pendeta NZG yang pertama yang dikirimkannya kemari bernama Ds. Montanes.
Setibanya di Manado Ds. Montanes sebagai pendeta gereja Protestan Belanda pertama sudah menemukan segolongan orang kristen sebagai jemaat di tahun 1675. Jadi lebih dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir, sudah ada jemaat kristen di Manado. Ini sebabnya akar pelayanan kekristenan di aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II tak mungkin lepas dari momentum pertemuan pertama orang-orang di pesisir ini dengan kekristenan yang di bawah oleh misioneri Katolik  Peter Diego De Magelhaes yang ditandai dengan pembaptisan pertama di pantai Sindulang tahun 1563.
Sesudah pembaptisan di Sindulang, pembaptisan-pembaptisan selanjutnya baru diadakan setelah pendeta KAM yang dijuluki dengan nama Apostel Der Malukken (Rasul dari Maluku) datang di Manado pada tahun 1817.
Sementara Gereja-gereja di pesisir lainnya sesudah Manado, baru berkembang dari tahun 1711 sampai 1821 yaitu yang dimulai dari Likupang. Pada tahun 1711 jemaat di Likupang berdiri dan merupakan jemaat yang pertama-tama di  Minahasa jika diletakkan di dalam pembagian daerah secara administratifnya sekarang ini. Dari situ barulah penginjilan berkembang di Tanawangko, dan ke Kema. Pekabar-pekabar injil di Manado dan Tanawangko yaitu Muller yang meninggal pada tahun 1826, sedangkan Lammers meninggal di Kema pada tahun 1824.
Wilayah pegunungan dan pedalaman  Minahasa baru menyusul kemudian yaitu setelah dua missionaris Jerman  yang dididik Belanda yaitu Riedel dan Schwarts dikirim NZG ke Minahasa pada 12 Juni  tahun 1831, yaitu  268 tahun sesudah baptisan di Sindulang. Pendeta J.F. Riedel bertugas di Tondano  dan J.G. Schwarts di Langowan. Lima tahun kemudian di tahun 1836 penginjilan tiba di Amurang, tahun 1838 di Tomohon, 1848 di Air Madidi, 1849 di Kumelembuai, 1861 di Sonder.  Dari Sonder penginjilan tiba di Ratahan yaitu pada tahun 1862.  
Dari fakta-fakta historis di atas, jika kita menoleh sejarah Gereja dan Jemaat pertama di Sulawesi Utara terlihat suatu mata rantai pengabaran Injil Tuhan dimulai sejak Peter Diego De Magelhaes dalam kurun  371 tahun (mendekati 4 abad) menuju GMIM terbentuk.
Beberapa momentum politik telah memutuskan mata rantai itu di dalam kurun waktu yang cukup panjang dilihat dari segi penyebaran Injil dari Gereja Roma Katolik jika dijadikan tahun Diego de Magelhaes di Sindulang Manado sebagai tahun titik berangkat pelayanan kerohanian di Manado Utara dan untuk Sulawesi Utara pada umumnya.
Momentum-momentum politik itu boleh dikaji dari keputusan-keputusan historis yang telah dilakukan oleh Belanda disatu pihak dengan Spanyol dilain pihak mengenai  “Pembagian daerah kekuasaan dan daerah jajahan yang sekaligus merupakan daerah penyebaran agama”.  “Yang berkuasa di daerah itu adalah yang punya agama untuk daerah itu”. 
Menurut telaah Sem Narande, jika keputusan-keputusan itu ditempatkan di dalam kerangka sejarah penyebaran Injil oleh Gereja Roma Katolik di Sulawesi Utara barangkali lebih jelas. Terutama  bila makna dari akibat keputusan-keputusan tersebut dilihat dari suatu historis itu tercipta di atas Battle ground kerajaan Siau ketika Belanda dengan sekutu-sekutunya serta sekaligus dengan memperalat Sultan Ternate yang dinamakan Koning Amsterdam oleh Belanda, mengepung dan menyerang Raja Siau Fransiscus Xaverrius Batahe (Batahi) dalam suatu perang yang diumumkan kepada Raja Batahi.
Imam-imam penginjil Katolik (Missionaris-missionaris Katolik) memasuki perairan Sulawesi Utara dan Maluku Utara sejak tahun 1511 dan 1522 berada dalam expedisi Potugal dan Spanyol. Diego de Magelhaes sendiri yang membaptis Raja Siau ke-II yaitu Posuma (Posuma adalah putera dari Lokombanua, Raja Siau pertama), mengikuti expedisi Panglima Portugis Heurique de Sa yang membawa 2 kapal. Batahi adalah keturunan dari Raja Posuma. (sedikit catatan : Lokombanua 1510 -1550 ; 2) Posuma 1550-1596 ; 3) Pontomuisang 1596-1632 ; 4) Winsulangi 1632-1670 ; 5) Batahi 1670-1696 ; 6) Raramenusa 1696-1726 ; 7)Lohintsundali 1726-1752 ; 8) Ismael Jacobus 1752-1796 ; 9) B. Jacobus 1796-1799  ; 10) Eugenos Jacobus 1799-1822 ; Raja Siau ke VI sampai dengan ke X adalah raja-raja Siau yang beragama Kristen Protestan).
Kekalahan Batahi terhadap kolonial Belanda dengan sekutu-sekutunya sekaligus merupakan akhir misi Katolik bukan saja di Siau tetapi juga di sekitarnya dan sebaliknya merupakan titik awal dari Zending Kristen Protestan.
Pada 9 November 1677, Batahi menanda-tangani perjanjian dengan Belanda di bawah tekanan sebagai pihak yang dikalahkan, dimana 3 orang  Peter Yesuit ikut ditahan di Ternate. Mereka tidak dengan segera dikirim pulang ke basis mereka di Manila, baru sesudah itu di bawa lagi ke Betawi, sekarang Jakarta.
Raja Batahi adalah Raja Siau yang memeluk agama Katolik dan penggantinya Raja Raramenusa adalah Raja Siau pertama yang memeluk agama Kristen Protestan. Semua itu merupakan kondisi yang dilahirkan oleh battle ground perang Batahi.
Pada zaman VOC (Kompeni Hindia Belanda) sama sekali tidak diperkenankan penyebaran misi Katolik. Pelarangan penyebaran misi Katolik itu berlangsung dari tahun 1602 sampai tahun 1800. Nanti di zaman Gub Jen (Gubernur Jendral, Daendels, sesudah  VOC (Vereenigde Oost  Indische Compagnie) dibubarkan pada tahun1800, maka barulah diluaskan agama-agama lain masuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tampil semboyan yang terkenal dalam sejarah demokrasi di dunia : “Egalite, Eraternite, Leberte “ dari Revolusi Perancis.
Keputusan pelarangan agama Katolik oleh Belanda itu telah memutuskan mata rantai pelayanan Katolik selama 198 tahun tidak saja di Sulawesi Utara, tapi di seluruh daerah jajahan Belanda. Pasca pencabutan pelarangan, misi katolik baru tiba kembali di Sulawesi Utara pada tahun 1868, ditandai dengan kedatangan Imam Katolik Peter Y De Vries S.J. Baru pada 35 tahun kemudian  (1903)disusul APF. Van Velsen bertugas ke Woloan, Y.Ouel bertugas di Manado, dan Yang ditugaskan ke Tomohon Peter P Wintjes.
Dari anasir sebelumnya, terpapar kenyataan dimana ada empat jemaat di Wilayah Manado Utara yang telah berbentuk sebelum GMIM lahir  di tahun 1934 yakni Jemaat  Betanie Singkil Sindulang, Jemaat Bengkol, Jemaat Sion Bailang, dan Jemaat Nazaret Tuminting. Empat jemaat ini pada tahun 1934 ikut mengirim utusannya pada peneguhan pendirian GMIM, sekaligus melebur sebagai gereja di bawah Sinode GMIM.
GMIM dilahirkan dari keputusan Raja Wilhelm I dan diresmikan sebagai Sinode pada 30 September tahun 1934. Kelahirannya berasal dari satu wadah yang lebih besar dari Gereja Protestan atau De Indische Staats kerk; pelanjut dari VOC Kerk (Gereja kompeni Hindia Belanda), yang dimulai ditahun 1602 melalui Octrooi. Dalam kerangka itu ada satu instruksi khusus dari Gubernur Jenderal Pieter Both bahwa VOC harus menyebarkan injil. VOC Kerk berlangsung dari tahun 1602 sampai 1800. Raja Wilhelm I membentuk Indische Staats Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1800, dan tiba disini 134 tahun kemudian yaitu tahun 1934 dilebur menjadi GMIM. Kendati begitu GMIM sendiri bukanlah ciptaan khas dari Gereja Protestan atau Indische Staats Kerk tetapi adalah ciptaan dari Nederlansche Zending Genoodschaap yang dibentuk di Eropa dan mengirimkan pendeta pertama kemari yakni DS Montanes.
            Sungguh mencengangkan bila kita merefleksi angka-angka statistik dari rentetan peristiwa menuju terbentuknya gereja Tuhan yang Esa dan Injili di tanah Minahasa ini sebagai karya penyelamatan dan pemenangan umat dalam Kristus Yesus Juru Selamat dunia (Efesus 2:19-22).
Bila ditilik dari perisitwa pembaptisan pertama di Tahun 1563 oleh Diego de Magelhaes di pantai Sindulang Manado, maka kita melihat jemaat Tuhan mula-mula baru berjumlah 1500 orang ditambah dengan 2 orang raja  yakni Raja Manado Kinalang Damapolii dan raja Siau Posuma. Dalam masa pemerintahan Raja Posuma 1550-1596, di Siau umat Kristen sudah mencapai 25.000 orang, sementara di Kalongan Sangihe 10.000 orang. Khusus untuk Manado di tahun 1707, tercatat ada 5.000 anggota jemaat sebagaimana ditemukan Ds. Werndly.
            Pada tahun 1880 atau 54 tahun sebelum GMIM resmi berdiri dan bersinode jumlah orang Kristen di Manado dan Minahasa telah berkembang menjadi 80.000 orang.  Lalu pada 1980 atau di kurun 46 tahun sejak GMIM bersinode  anggota jemaat GMIM telah mencapai 650.000 orang lebih, Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 150.000 KK, menyebar dalam  40 Wilayah, terbagi dalam 540 Jemaat.
            Pada tahun 2012, atau menjelang usia ke 79 tahun GMIM berdiri dan bersinode, anggota jemaat dari organisasi gereja kedua terbesar di Indonesia ini telah mencapai lebih dari 1.000.000 orang. Anggota jemaat tersebut tersebar dalam 9366 kolom dengan 886 gedung gereja. Jumlah aras pelayanan Wilayah sebanyak 103 Wilayah. Jumlah Kepala keluarga 212.516 KK. Dilayani oleh 493 orang pendeta laki-laki dan 1.015 pendeta Perempuan, Guru Agama laki-laki  77 orang, Guru Agama Perempuan 248 orang, serta 13.796 orang Penatua dan 9.366 orang Syamas. GMIM mengelola banyak lembaga sosial seperti Taman Kanak-kanak (332), Sekolah Dasar (364), Sekolah Menengah Pertama (64), SMA (20), sekolah kejuruan (6), sebuah universitas dengan antara lain adanya fakultas teologi, sekolah untuk penyandang cacat (2), rumah yatim-piatu (2), pusat pelatihan (2), dan rumah sakit.
            Kepimpinan GMIM dijalankan oleh Badan Pekerja Sinode yang dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Sinode GMIM sejak berdirinya:
1.       Dr. E.A.A. de Vreede (1934–1935)
  1. Ds. C.D. Buenk (1935–1937)
  2. Ds. H.H. Van Herwerden (1937–1941)
  3. Ds. J.P. Locher (1941–1942)
  4. Ds. A.Z.R. Wenas (1942–1952)
  5. Ds. M. Sondakh (1951–1954)
  6. Ds. A.Z.R. Wenas (1955–1968)
  7. Ds. R.M. Luntungan (1968–1979)
  8. Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1979–1990)
  9. Pdt. K.H. Rondo , MTh (1990–1995)
  10. Prof. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1995–2000)
  11. Pdt. Dr. A.F. Parengkuan (2000 – 2004)
  12. Pdt. Dr. A.O. Supit, STM (2005–2009)
14. Pdt. P. M. Tampi, STh, MSi (2010–2014)

(bersambung ke bagian 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar