Jumat, 11 Mei 2012

Paroki Singkil 1903-1973 (Sejarah GMIM Wilayah Manado Utara II) (3)


 Oleh : Iverdixon Tinungki

I.                  DARI PAROKI KE WILAYAH
1. Pelayanan Distrik Manado
Dalam Tata Gereja GMIM 2007 , struktur pelayanan GMIM ditata dalam tiga aras yakni Jemaat, Wilayah dan Sinode. Kendati faktanya ada sejumlah kegiatan pelayanan saat ini yang dilakukan dalam sistim Rayon  (sistim Distrik pada masa lalu), -- semisal Pengurus Lansia GMIM Rayon Manado-Kembes, dan atau Pertemuan Komisi Kategorial Pria Kaum Bapa Rayon Manado…dst--, struktur ini bukan merupakan aras pelayanan dalam GMIM saat ini.
Sebelum GMIM berdiri, sistim pelayanan menurut distrik dikenal sebagai upaya membagi dan menjangkau wilayah pelayanan disebabkan oleh kurangnya tenaga pelayan atau pendeta ketika itu.
Sistim pelayanan Distrik (clasis) tersebut diperkirakan bermula pasca berdirinya Indische Staats Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1800, pasca bubarnya VOC Kerk. Teritorial pelayanan misioneri dari Gereja Protestan Belanda menjadi hamba Tuhan di Minahasa hingga masa tibanya Pendeta Riedel dan Schwarts di tahun 1831 dibagi menurut distrik dalam struktur wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Di kurun pelayanan para misionari Katolik sejak 1563-1602, istilah Distrik atau Rayon, juga Clasis tidak dikenal. Hal tersebut dapat dipahami dimana tugas pelayanan para Peter baru pada tahapan sebagai peretas sekaligus pioner bagi pengenalan dan perjumpaan Injil Kristus dengan masyarakat di kawasan ini.
 Lantas bagaimanakah struktur pelayanan sebelum GMIM terbentuk? Dalam catatan awal kita telah melihat sebuah mata rantai yang terputus dalam misi  pelayanan Gereja Katolik selama 198 tahun (1602-1800)di Sulawesi Utara, bahkan di semua daerah jajahan Belanda. Kondisi tersebut sekaligus mengubah keadaan pelayanan di Kawasan Manado Utara dan Manado pada umumnya, yang ditandai dengan peralihan dari pelayan misi Katolik ke pelayanan misi Protestan.
Sejak masuknya pendeta DS Montanes  dari Gereja Protestan Belanda pada 1675 misi pelayanan Protestan dimulai di Manado dengan mensasar orang-orang Kristen yang berasal dari buah kerja misi Katolik pada kurun waktu sebelumnya. Pelayan dari Pendeta Montanes di distrik Manado kemudian diteruskan oleh Pendeta DS. Werndly 1707, Pendeta J Kam 1817 dan oleh Pendeta  Muller meninggal pada tahun 1826, Pendeta Lammers yang meninggal di Kema pada tahun 1824.
Dapat dilihat pelayanan di distrik lainya antara lain yakni dilakukan  Pendeta Riedel di Tondano 1831  dan Schwarts di Langowan 1831. Sejak  tahun 1836 Amurang menjadi distrik pelayanan, dan disusul pada  tahun 1838 Tomohon, 1848  Air Madidi, 1849  Kumelembuai, 1861  Sonder.  Ratahan pada tahun 1862.
Sekitar 8 tahun setelah meninggalnya Ridel (1860) dan  Schwarts (1859), distrik pelayanan Gereja Protestan Belanda telah membentang dari Manado hingga Kumelembuai. 15 tahun kemudian di Tomohon berdiri sekolah Guru yang dipindahkan dari Tanahwangko (berdiri tahun 1852), juga dibuka kursus-kursus untuk para penginjil di tahun 1867.
Dalam kurun 19 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1886 kursus-kursus bagi para tenaga penginjil ditetapkan menjadi Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch Leeraren). Pendeta-pendeta lulusan pertama Stovil yang ikut mewarnai pelayanan menuju terbentuknya aras pelayanan Wilayah Manado Utara II diantaranya; Pendeta Hendrik Sinaulan yang menjadi pimpinan pertama Paroki Singkil, kemudian dilanjutkan Pendeta Altius Adolf Mohede, dan Pendeta Hendrik Dandel, dimana pada masa kepemimpinanya terjadi peralihan aras pelayanan dari Paroki menjadi Wilayah. 
Dengan kian bertambahnya lulusan tenaga pendeta  pasca berdirinya Stovil, distrik-distrik pelayanan dilengkapi dengan Paroki (saat ini disebut  aras pelayanan Wilayah).  Untuk distrik Manado dibagi dalam 3 Paroki yakni; Paroki Titiwungen, Paroki Tikala, dan Paroki Singkil, dimana untuk setiap Paroki ditugaskan seorang pendeta.  Menurut catatan Sem Narande, 3 orang pendeta pertama yang memimpin 3 Paroki di distrik Manado adalah Pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil, Pendeta Lantang di Paroki Titiwungen, Pendeta Talumepa, di Paroki Tikala.
2. Paroki Singkil 1903-1973           
Di antara penghujung abad XIX dan dipermualaan abad XX terjadi peralihan penting dalam sistim dan  struktur pelayanan Gereja Protestan di Tanah Minahasa, dimana terjadi pemekaran aras pelayanan dari Sitim Distrik ke Sistim Paroki (wilayah). Dikurun ini perhimpunan Para Zending yang berpusat di Tomohon memecahkan pelayanan distrik Manado menjadi 3 Paroki yakni: Wilayah Bagian Utara distrik Manado menjadi Paroki Singkil. Wilayah bagian tengah distrik Manado Menjadi Paroki Titiwungen. Sementara wilayah Selatan Manado menjadi area pelayanan Paroki Tikala.
Di kurun ini pun kita bisa merefleksi  betapa kekuasaan Kristus begitu kokoh dan kekal untuk selamanya. Kerajaan Allah yang terus melebar, jemaat-jemaat tumbuh, aras pelayanan kian meluas, hamba-hamba Tuhan berlipat ganda. Dari hanya seorang Hamba di tahun 1563 dengan 1500 orang dan 2 orang raja sebagai jemaat mula-mula di pesisir Pantai Sindulang, kabar baik keselamatan dari Kristus Tuhan itu kemudian membesar tampak terbendung oleh kekuasaan dunia.
Sementara di lain sisi kekuasaan dunia bisa tenggelam bersama senja. Periode kekuasaan Portugis dan Spanyol di kawasan ini berakhir kurang dari dua abad. Pemerintahan Kolonial Belanda runtuh  dalam tiga setengah abad. Pendudukan Jepang hanya berlangsung sesaat. Tapi dari patahan-patahan sejarah kekuasaan dunia itu, kerajaan Allah dibangun dengan kokoh melintasi abad dan kekuasaan mana pun, hingga kini dan di masa depan.
Sejak ditetapkan menjadi aras pelayanan Paroki Singkil, Wilayah distrik Utara Manado ini berturut-turut telah dipimpin oleh 4 pendeta sebagai kepala Paroki, aras pelayanan Paroki kemudian diubah menjadi aras pelayanan Wilayah, dan terjadi pergantian penyebutan Kepala Paroki menjadi Ketua Wilayah.
a.     Kepala Paroki Pertama 1903-1933
Menguak Pesisir dan Rimba
Pendeta pertama yang ditugaskan NZG menjadi Kepala Paroki Singkil adalah Hendrik Sinaulan pada tahun 1903. Iabertugas sebagai pimpinan Paroki Singkil  hingga tahun 1933, atau menjalani masa pelayanan selama 30 tahun. Sebuah record masa pelayanan di aras wilayah yang paling lama bila dibanding dengan masa penugasan seorang Ketua Wilayah sepanjang sejarah GMIM bersinode.
Teritorial pelayanan Paroki Singkil 1903-1933 membentang dari Singkil hingga Tongkaina dan perbatasan Wori (daerah gunung Tumpa). Bila dibandingkan dengan saat ini, kawasan pelayanan Paroki Singkil ketika itu adalah teritorial pelayanan dari 5 Wilayah saat ini yakni; Wilayah Manado Utara I (Ma-Ut I), Wilayah Manado Utara II (Ma-Ut II),  Wilayah Manado Utara III (Ma-Ut III), Wilayah  Manado Wawonasa  Kombos (Mawako),  Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu).
Masyarakat yang mendidami kawasan ini ketika itu adalah suku Bantik-Minahasa (sub suku dari 9 sub suku Minahasa) serta para pendatang dari Sangihe Talaud, Ternate, Gorontalo, Cina, Arab, dan Borgo (Keturunan Spangol-Portugis).
Di kurun itu, kawasan daerah tepi pantai yang membentang dari muara kali Tondano hingga muara kali Bailang, yang saat ini menjadi kelurahan Singkil, Sindulang, Karangria, Maasing, Tumumpa adalah area perkebunan kelapa, yang juga merupakan desa para nelayan. Di tengah bentangan perkebunan kelapa ini, ada 2 areal  onderneming  di kawasan ini yaitu: Pertama, ordeneming milik Sie Bun Ko yang terletak di Maasing, yang dikuasainya sejak tahun 1920 hingga 1957. Kedua, onderneming milik keluarga Kalengkongan yang terletak di Tumumpa, yang dikuasai sejak tahun 1921 hingga 1926. Kemudian kepemilikannya beralih ke tangan De Van Bode (1926-1928), selanjutnya beralih ke Ullers (1928-1933), kemudian beralih ke Kongsi Eng Goan Hien, Hiap Hong, Tek Hong (1933-1937). Kemudian dipegang Eng Goan Hien, sampai masa dinasionalisasikan pada tahun 1959.  
Sementara lebih ke utara, yakni daerah Bailang, Batusaiki, Molas, Meras, Tongkaina, adalah areal hutan dan perkebunan yang merupakan tanah-tanah suku Bantik.  Kawasan perbukitan, Tuminting, Sumompo, Tuna, Kombos, merupakan hutan rimba dan perkebunan palawija rakyat.  Daerah tepian utara daerah aliran sungai Tondano (Wawona dan sebagian besar Singkil Sindulang) merupakan wilayah pemukiman penduduk. Desa-desa seperti Buha, Bengkol, Pandu dan perbatasan Wori hingga gunung Tumpa adalah kawasan tanah-tanah suku Bantik yang juga merupakan areal perkebunan Kelapa, Palawija dan hutan rimba.
Di area pesisir, perkebunan dan hutan rimba inilah pendeta NZG Hendrik Sinaulan berkarier selama 30 tahun. Tantangan yang tak ringan dipundakkan kepada seorang hamba Tuhan untuk melayani aras pelayanan yang sedemikian luas. Anggota jemaat yang tersebar di desa-desa pesisir dan areal-areal perkebunan yang harus di datangi dan dilayani. Sebuah kondisi pekerjaan pelayanan yang amat berat di masa penjajahan Belanda, dimana tingkat pendidikan masyarakat masih begitu rendah. Bahkan sebagian besar anggota jemaat yang tidak mengenyam pendidikan formal, buta huruf, dan masih hidup dalam pengaruh-pengaruh kepercayaan lama animisme dengan pola hidup yang masih mengandalkan praktek syamanisme. Belum lagi perilaku buruk dari tradisi mabuk-mabukan. Keadaan ekonomi penduduk yang pas-pasan untuk untuk hidup sehari-hari, keadaan sanitasi yang buruk, rumah tempat tinggal yang sederhana dan gubuk. Tak ada sistim penerangan listrik.
Namun seperti dikisahkan para Rasul Tuhan dalam Kisah Para Rasul 20:28, dimana rasul Paulus meminta para tua-tua jemaat di Efesus untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri. Begitu pulalah Pendeta Hendrik Sinaulan bagi jemaat Paroki Singkil, ia meminta para orang-orang tua di tengah persebaran desa-desa kecil di kawasan ini untuk ikut bersama mengembalakan umat Allah. Sebuah pekerjaan pekabaran Injil yang penuh tantangan di kurun awal aras pelayanan wilayah yang satu abad kemudian menjadi pondasi-pondasi pelayanan gereja yang kokoh di kawasan ini.
Membangun Gereja, Merintis Jemaat
Hendrik Sinaulan  adalah pendeta lulusan Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch Leeraren) yang berdiri di tahun 1886. Ia dilahirkan di Manado, 9 Desember 1875, atau 25 tahun sesudah berdirinya organisasi Kerukunan Kristen Hosana Ambang Susah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Nazaret Tuminting(1850).  Meninggal dunia pada 8  November 1960, dalam usia 85 tahun. Menikah dengan Sophie Rintjap, dan dikarunia 2 orang anak: Engelbert Sinaulan dan Elfrida Sinaulan.
Sebelum menjalankan tugas pengembalaannya di Paroki Singkil, Sinaulan menjadi Pendeta di Jemaat Suluun selama 10 tahun. Ketika diinagurasi di Stovil Tomohon, ia merupakan Inlandsche Leraar kelas 1 dari 9 lulusan waktu itu.
Sejak diangkat sebagai pimpinan Paroki, Pendeta Hendrik Sinaulan langsung melakukan pembangunan gedung Gereja Singkil Sindulang yang dimulai pada 1903. Gereja Singkil Sindulang merupakan bangunan  gereja pertama di kawasan pesisir Manado Utara sejak pelayanan Paroki Singkil ditetapkan oleh Komisi Perhimpunan Gereja Protestan Belanda di Tomohon. Peribadatan di jemaat-jemaat terpencil di teritorial Paroki Singkil masih dilakukan di sejumlah bangunan gereja darurat atau menggunakan rumah penduduk yang diorganiser oleh orang-orang tua di tempat masing-masing.
Kegiatan peribadatan di gereja pusat Poriki Singkil sebelum berdiri gedung Gereja Singkil Sindulang ketika itu dilakukan di serambi Hukum Besar Ticoalu yang  luasnya 4 X 10 meter, kemudian dipindahkan menggunakan Sekolah Manado IV.
Pendeta Sinaulan pada awal pelayanannya dibantu oleh 5 orang Penatua yaitu:  Pnt. A Kapugu (ketika itu masih menjabat sebagai Hukum Tua Singkil Sindulang), Pnt. Abraham Jacob Mohede, Pnt. Ticoalu ( Ex Hukum Besar), Pnt. Gontha Simon Abuthan (Guru), Pnt. Ferdinandus.  
Dalam masa 30 tahun pelayananya, Sinaulan tercatat berhasil mengorganiser anggota jemaat yang tersebesar diteritorial yang begitu luas, selain para nelayan, tukang dan pekerja ordeneming di kawasan Manado Utara, menjadi sidi-sidi jemaat di gereja Singkil. Ia mengangkat banyak Anak Sarani. Dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret Tuminting dipapar dimana di kurun awal peritisan jemaat itu di tahun 1916-1933, pendeta Sinaulan memiliki lebih dari 200 anak sarani di kawasan rimba Tuminting itu. Selain itu, ia melakukan pendampingan pada upaya perintisan pembangunan sejumlah jemaat baru di  kawasan teritorial pelayanannya, seperti Jemaat Karangria, jemaat Buha, Jemaat Bengkol, jemaat Pandu, jemaat Tuna. Dan karya terpenting dikurun kepemimpinanya adalah berdirinya Gereja Jemaat Nazaret Tuminting di Tahun 1933 yang dipimpin perintis jemaat Paulus Kawangung, dan berdirinya Gereja GMIM Bailang yang dipimpin guru jemaat Matheos Kasiaha.
Satu tahun kemudian, usai kepemimpinan Pendeta Sinaualan di Paroki Singkil, Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) disahkan pendirianya lewat keputusan Raja Belanda Wilhelm I pada 30 September 1934. Dengan berdirinya GMIM, pelayanan Indische Staats Kerk pun berakhir di Tanah Minahasa.
Dari Paroki Singkil dan setelah pensiun dari NZG, pendeta Hendrik Sinaulan kemudian diangkat oleh Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sebagai anggota Majelis Gembala dalam Pucuk Pimpinan KGPM yang dipimpin A. Jacobus. KGPM berdiri pada 21 April 1933 atau 1 tahun lebih dulu dari GMIM.

b.     Kepala Paroki Kedua 1933-1947
Pelayanan di Tengah Revolusi
Setelah pelayanan Pendeta Hendrik Sinaulan berakhir di tahun 1933, Paroki Singkil  dipimpin Pendeta Robert Nicolas Rogahang yang bertugas hingga tahun 1947. Pada masa ini system pelayanan telah diatur Sinode GMIM di Tomohon yang dipimpin oleh Ketua Sinode pertama Ds De Vreede. Karena setahun setelah pensiunnya Pendeta Hendrik Sinaulan sebagai Pendeta NZG, Gereja Masehi Injili Minahasa resmi berdiri yaitu pada 30 September 1934.
 Kurun waktu antara tahun 1933 hingga 1947  diwarnai oleh suasana panas pergolakan politik dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di tengah perang untuk mengakhiri kekuasaan Belanda di tanah air, serta masa-masa pendudukan Jepang, hingga perang kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan kurun waktu pelayanan pendeta kedua di Paroki Singkil ini. Dilain sisi ada pergolakan politik dalam tubuh organisasi gereja di kurun 1933-1934, dimana Organisasi Pelayanan Gereja Protestan Belanda di tanah Minahasa sebagai akar GMIM, mendapatkan saingan baru saat berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada 21 April 1933 oleh DR. Sam Ratulangi. KGPM sebagai gereja yang bernafaskan semangat kebangkitan nasional yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia ketika itu, tentu sangat merisaukan Pemerintah Belanda. Ini sebabnya raja Belanda kemudian mengistruksikan pendirian GMIM pada 30 September 1934. Dua organisasi Gereja Protestan pun berdiri di tanah Minahasa. KGPM dengan semangat Pelayanan dan Nasionalisme, sedangkan GMIM murni bertumpu pada misi pelayanan semata, tanpa mencampuri urusan politik.
Kembali ke Paroki Singkil, teritorial pelayanan Paroki Singkil di kurun pendeta Rogahan masih sama dengan waktu kepemimpinan pendeta Hendrik Sinaulan. Hanya saja beberapa jemaat baru telah resmi berdiri di antaranya Jemaat GMIM Bengkol yang pada tahun 1935 telah dilayani oleh tenaga Pendeta lulusan Stovil tahun 1930 yang ditugaskan Sinode GMIM yaitu Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan. Jemaat Nazaret Tuminting dan Jemaat GMIM Bailang yang pimpinan Majelis Jemaatnya (BPMJ) di tangan para Guru jemaat.
Pada masa pendeta Rogahang, seperti juga pada masa Pendeta Hendrik Sinaulan, aras kepemimpinan Paroki tidak memiliki Badan Pekerja Paroki (BPP) yang seperti saat ini adanya BPW (Badan Pekerja Wilayah) yang kemudian berubah menjadi Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW). Seorang Kepala Paroki ketika itu adalah pimpinan tunggal untuk sebuah aras pelayan paroki.
Penempatan resmi Pendeta Robert Nicolas Rogahang tidak begitu diketahui, tapi tugas dan pelayanannya selaku ketua Jemaat Singkil sekaligus sebagai pimpinan Paroki  Singkil berakhir pada tahun1947. Melihat tahun penempatan pendeta Rogahang, tampak adanya kekosongan kepemimpinan Paroki Singkil sejak tahun 1933-1947. Siapakah yang menjadi pimpinan Paroki dalam kurun 14 tahun yang diwarnai revolusi itu?  Belum ada data-data faktual formal yang mampu memberi jawaban hingga saat ini tentang kondisi itu. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menjawabnya.
Sebuah kasus menarik yang bisa dipakai sebagai data pembanding untuk kondisi tersebut adalah catatan yang dimuat  Sem Narande dalam Bukunya Valdu La paskah Jilid II tentang penyelesaian sengketa kepemimpinan Jemaat GMIM Bailang di tahun 1934, dimana Guru Jemaat pertama Matheos Kasiaha didakwa oleh beberapa orang anggota masyarakat Bailang dalam sebuah perkara Pidana. Dalam konteks ini, bukan perkara pidananya yang menarik untuk ditelisik tapi dalam catata tersebut dikemukakan, pada tanggal 1 November 1934 atau 1 bulan 1 hari setelah GMIM berdiri dan berpusat di Tomohon, Pendeta Mulengen datang memimpin Ibadah di Gereja Bailang, sekaligus memimpin pemilihan Guru Jemaat yang baru di jemaat itu dimana Estefanus Takongselang terpilih menggantikan Matheos Kasiaha. Fakta tentang kedatangan Pendeta Mulengen dalam rangka menyudahi sengketa di Gereja GMIM Bailang di atas menegaskan dimana jemaat Bailang sebagai sebuah jemaat di aras Paroki Singkil harus mendatangkan seorang pendeta dari Sinode Tomohon untuk menyelesaikan persoalan kepemimpinan jemaatnya. Apakah dengan kehadiran pendeta dari Sinode ini menyatakan dimana sesudah periode pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil yang berakhir pada 1933, NZG atau GMIM tidak langsung menempatkan pendeta lagi sebagai Pimpinan Paroki di kawasan Pesisir ini? Perlu penelusuran lanjutan mungkin kini atau dikemudian hari!
Beberapa data formal dan informal yang dapat dijadikan rujukan guna memperkirakan kurun waktu penempatan Kepala Paroki kedua ini antara lain catatan John Rahasia yang mengukapkan dimana Pendeta Nicolas Rogahang telah bertugas di Manado Utara sebelum tahun 1945 di Paroki Singkil. Hal tersebut dikarenakan kondisi Bangsa dan Negara dalam keadaan perang. Ketika terbentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia  yang berfungsi sebagai TKR di Sulawesi Utara  pada bulan September 1945, dimana John Rahasia sebagai Hulubalang, yang juga anggota jemaat Paroki Singkil, menyebutkan pendeta Rogahan  telah menjadi pelayan di Paroki Singkil, sekaligus melayani tahanan-tahanan pemberontak di penjara Manado oleh Pemerintah Kolonial Belanda.  
            Sementara dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret Tuminting ditulis, pada tanggal 17 Maret 1940, Pendeta Nicolas Rogahang selaku Kepala Paroki Singkil memimpin ibadah peneguhan sidi jemaat bagi 9 orang angkatan sidi di gereja Nazaret Tuminting (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting,1999).
            Sementara di sisi lain, dalam sejarah Jemaat Bengkol, sebagai salah satu jemaat di aras pelayanan Paroki Singkil  dimana pada tahun 1935 Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan telah ditempatkan Sinode GMIM untuk menjadi ketua jemaat di sana. Apakah Pendeta Pangemanan mengisi kekosongan kepemimpinan di Paroki Singkil ketika itu? Belum ada bukti formal dan informal yang mendukung.
            Ketika menempati pos pelayanannya di Paroki Singkil, salah satu catatan penting dalam tugas pelayanan dan penggembalaan jemaat yang tersebar di teritorial yang luas itu, Pendeta Rogahang menugaskan tenaga-tenaga guru, untuk menjadi guru jemaat di desa-desa terpencil  yang telah memiliki jemaat sendiri atau yang sedang merintis berdirinya sebuah jemaat. Sebuah data menyebutkan, pada tahun 1935, Pendeta Rogahang menugaskan Guru Makpal untuk melayani peribadatan  pada hari-hari minggu di Jemaat Nazaret Tuminting hingga tahun 1942.
Kebijakan dan ketekunan seorang gembala dalam memimpin aras pelayanannya di tengah keadaan masyarakat yang bergolak karena perang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pendeta Nicolas Rogahang. Seperti pendahulunya, Pendeta Rogahang adalah satu-satunya tenaga pendeta yang ditempatkan di sebuah aras pelayanan Paroki, yang dimana dalam kurun kepemimpinannya, kelompok-kelompok masyarakat Kristen di setiap desa dalam wilayah pelayananya mulai merintis berdirinya jemaat-jemaat baru. Ini sebabnya, guna merespons keinginan masyarakat untuk membangun jemaat sendiri harus diimbangi oleh sebuah kebijkan penempatan tenaga-tenaga guru jemaat untuk melayani ladang pelayanan Tuhan yang sedang tumbuh ini.
Sosok Pendeta Nasionalis  
Pendeta Rogahang dilahirkan di Ratahan 6 Oktober 1883. Ijazah kependetaannya dikeluarkan  Perhimpoenan Commissie Segala Pandita di Tanah Minahasa di negeri Manado pada 13 Oktober 1911, atau 23 tahun sebelum GMIM lahir. Pada masa perang kemerdekaan, ia digelar sebagai Pendeta Merah Putih karena khotbah-khotbahnya yang selalu membakar semangat juang para pemuda untuk membela tanah air Indonesia.
Ia tidak seperti rekan pendeta NZG lainnya yang ketika itu selalu berdoa untuk keselamatan dan kelestarian kekuasaan Ratu dari pemerintahan Kolonial Belanda. Di tengah para pemuda pejuang  yang ditahan pemerintah kolonial di penjara Manado, ia berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan, ketabahan dan semangat juang bagi para pejuang untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Pendeta Rogahang dalam  khotbah-khotbahnya menekankan kesetaraan hidup umat manusia di dunia dan pentingnya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ia menolak semua upaya kekerasan dan penjajahan oleh manusia terhadap manusia, dan oleh bangsa terhadap bangsa. Bagi Rogahang, kehidupan adalah anugerah terindah dari Tuhan yang tak bisa dirampas oleh siapa pun dari seseorang.
Kesaksian D.C David yang dikutip Sem Narande di tahun 1980 mengemukakan, khotbah pendeta Rogahang sangat tajam dan tanpa tendeng aling-aling. Ia dengan tegas menegur setiap kesalahan dan tindakan buruk anggota jemaatnya. Ia juga sosok yang rajin sebagaimana diceritakan  penatua tua Frits Carel Commettie. Tanpa mengenal lelah ia mendatangi setiap pelosok Paroki pelayanannya untuk menunaikan tugas pengembalaannya. Ia juga melakukan tugas-tugas penginjilan ke daerah-daerah lain di luar Paroki Singkil. Di kurun kepemimpinanya jemaat-jemaat baru terus tumbuh dan terhimpun di aras Paroki Singkil. Sistim pelayanan di jemaat-jemaat mulai terurus dengan baik. Penempatan resmi pendeta dan guru-guru jemaat lewat SK Sinode GMIM dilakukan, terutama jemaat-jemaat yang telah memiliki bagunan gereja sendiri. Hal tersebut terbukti dengan penempatan Guru Jemaat Estefanus Takonselang ke jemaat Nazaret Tuminting melalui SK BPS GMIM angka 60 tertanggal 31 Desember 1942 (2602, Syoowa), dan penempatan Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan tahun 1935 di Jemaat GMIM Bengkol.
Pendeta Rogahang ternyata sosok yang juga esentrik. Ia sangat hobi nonton film dan minum. Menurut Penatua Commettie, Pendeta Rogahang sangat menikmati hobinya nonton film dan minum sampai mabuk.

C. Kepala Paroki Ketiga 1947-1951
Setelah Pendeta Rogahang, Ketua BPMJ Singkil dan Kepala Paroki digantikan oleh Pendeta Altius Adolf Mohede. Ia bertugas sejak  1947 hingga  1 Maret 1951. Ketika ia bertugas, nama Paroki Singkil pun berubah menjadi Paroki Singkil Sindulang. Hal tersebut disebabkan, gereja Singkil yang menjadi pusat Paroki tak saja memiliki kolom di kawasan Singkil, Pancurang, Tuna, Wawonasa, tapi telah melebar hingga ke kawasan Sindulang dan sekitarnya. Di sisi lainnya, secara historis penyebutan  Singkil Sindulang adalah sebuah kesatuan dalam sejarah pelayanan kekristenan mula-mula di pesisir ini.
Altius Adolf Mohede, dilahirkan di Ulu Siau 2 Februari 1908. Setelah lulus dari Stovil Tomohon, langsung ditempatkan di Langoan tahun 1934. Kemudian ke Noongan. Pada Mei 1940 di tugaskan ke Riau, Tanjung Pinang dan Singapura. Ia kemudian ditugaskan ke Bogor  untuk melayani  jemaat-jemaat yang merupakan orang-orang Belanda, pada masa pendudukan Jepang.  
Pada masa perang kemerdekaan, pendeta Mohede ikut berjuang  memimpin pasukan bersenjata KRIS Bogor Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, mendampingi Kolonel Alex Kawilarang. Ia pernah ditahan oleh tentara Jepang pada masa pendudukan. Pada masa penahanan itu, istrinya Paulien Saerang meninggal dunia.  Ia kemudian menikah lagi dengan Els Tindas. Setelah usai bertugas di Paroki Singkil, Pendeta Altius Adolf Mohede, beberapa kali menjadi anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Utara. Ketika menjadi anggota DPRD itu, Pendeta Mohede talah dinonaktifkan dari tugas-tugas kependetaan. Penonaktifan oleh pihak Sinode GMIM itu disebabkan oleh penolakannya terhadap penugasan sebagai pendeta ke wilayah Serey, Likupang.
Selama 4 tahun bertugas sebagai Kepala Paroki Singkil, aras pelayanan GMIM di kawasan Manado Utara ini berkembang pesat. Ketika itu pimpinan di aras Sinode telah dikendalikan oleh Pendeta pribumi pertama DS. A.Z.R. Wenas, mengantikan ketua Sinode sebelumnya DS. HH. Herwerden (1937-1941). Tugas-tugas Sinodal yang harus diembannya di aras wilayah tampak berjalan baik dengan makin berkembangnya jumlah kolom di jemaat-jemaat yang baru berdiri. Pada masa kepemimpinan Paroki, pemekaran atau penambahan kolom di tiap-tiap jemaat dalam aras pelayanan Paroki dilakukan lewat pengesahan resmi oleh Kepala Paroki atas nama BPS Sinode GMIM.
Jemaat Nazaret Tuminting yang berdiri di tahun 1933 yang hanya berawal dengan  20 Kepala Keluarga saat memisahkan diri dengan pelayanan gereja Singkil, tumbuh menjadi 3 Kolom, meliputi Kolom Tuminting, Kolom Sumompo, Kolom Tumumpa.  Pengesahan pendirian kolom di Tumumpa pada tahun 1946 oleh Pendeta A. Mohede yang tertulis pada Buku Sejarah Jemaat Nazaret selaku Kepala Paroki Singkil Sindulang, harusnya terjadi pada tahun 1947, karena mengingat tahun penempatan Pendeta A. Mohede sebagai Kepala Paroki baru pada tahun 1947.
Kolom Jemaat Nazaret Tuminting yang terletak di kawasan Onderneming Tumumpa dan Maasing itu pun kemudian dimekarkan atas persetujuan Kepala Paroki, menjadi jemaat otonom yang saat ini disebut Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, yang dimulai dengan 4 kolom. Pengesahan Jemaat otonom bagi Torsina Tumumpa dilakukan oleh Pendeta Rondo tahun 1949, dengan Guru Jemaatnya yang pertama Estefanus Takonselang. Takonselang yang melepaskan tugasnya di Jemaat Nazaret Tuminting digantikan Guru Jemaat Paulus Kawangung.

c.      Kepala Paroki Keempat 1951-1973
Pribadi Yang Setia
“Hendaklah setiawan kamoe sampai kepada mati,
maka Akoe akan mengaroeniakan kepadamoe makota alhajat itu” (wahjoe 2:10).
Setelah Pendeta Altius Adolf Mohede, pada 1 Maret 1951, Pendeta Hendrik Daandel ditempatkan  oleh BPS GMIM sebagai ketua Jemaat Singkil Sindulang sekaligus sebagai Ketua Paroki Singkil. Ia bertugas hingga 15 November 1973.
Pendeta Daandel dikenal sebagai pribadi yang setia tapi tegas dalam mengemban tugas pelayanan. Ia hanya bekerja pada empat  jemaat semasa ia mengemban tugas pelayanannya, tetapi dengan jangka waktu kerja cukup lama di tiap Jemaat. Tahun 1932 setelah lulus sekolah Theologia STOVIL ditempatkan di Likupang sampai dengan tahun 1935. Kemudian di Serey selama 8 tahun, dari tahun 1935 sampai 1943 (zaman pendudukan  Jepang), lalu di berangkatkan ke Gorontalo sebagai misi GMIM. Di sana bertugas selama 6 tahun dari tahun 1943 samapi 1949. Baru kembali ke Manado dan di tempatkan di Maumbi antara tahun 1949 sampai 1951 dan dari situ terhitung malai tanggal 1 Maret 1951 di tempatkan di Bethanie Singkil dan sekaligus selain sebagai Ketua Jemaat juga Ketua Paroki Singkil Sindulang. Bertugas di sini selama 22 tahun 8 bulan.
Ketika diutus sebagai misi GMIM  ke Gorontalo, sesudah bertugas selama 4 tahun, BP Sinode menganugerahkan tanda kenangan kepadanya atas kerajinan dan kesetiaanya. Selengkapnya bunyi keputusan surat itu sebagai berikut :
Gereja Masehi Injili Minahasa
Pada perhimpoenan Badan Pengoeroes Synode tt. 30 Djuli 1947 di poetoes menganoegerahkan soerat tanda kenangan kepada :
HENDRIK DAANDEL
Pendeta Pemimpin Oemoem Zending GMIM Gorontalo, karena keradjinan dan kesetiaannja goena Geredja kita.
“Hendaklah setiawan kamoe sampai kepada mati, maka Akoe akan mengaroeniakan kepadamoe makota alhajat itu” (wahjoe 2:10).
Tomohon, 30 September 1947
Badan Pengoeroes tersebut
Ketoea Synode
Ttd
A.Z.R.Wenas
Djoeroetoelis Synode
Ttd
S. KALIGIS
Hendrik Dandel lahir di Kanawong Ondong Siau 3 Maret 1905. Sebelum ke STOVIL mengenyam pendidikan  di SD Ulu II di Tatahadeng 1921, lulus jadi guru (iajazah Kweekling) menjadi guru di SD Lehi. Setelah ia masuk Kweekschool Kaluwatu 1925-1928 (berijazah) menjadi kandidat Kepala Sekolah Batuwulang Ondong Siau 1928-1929 dan dari sini baru ke Stovil. Ia menikah dengan Engelista Andaria.
Pendeta Hendrik Dandel meninggal pada  tanggal 15 November 1973, dengan waktu pengabdian selama 22 tahun.
Dikurun pelayanannya yang relatif panjang itu, banyak perkembangan yang terjadi di aras Paroki Singkil Sindulang. Cikal bakal jemaat yang dirintis pendahulunya di berbagai desa di teritorial Paroki Singkil Sindulang berdiri menjadi Jemaat Otonom. Selain Jemaat Bethanie Singkil Sindulang, Jemaat Bengkol, Nazaret Tuminting, Torsina Tumumpa, Sion Bailang, jemaat-jemaat baru yang berdiri dikurun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel diantaranya, Jemaat GMIM Kombos,  Pniel Tuna,  Petra Karangria,  Jemaat GMIM Molas, Jemaat GMIM Buha,  Jemaat GMIM Pandu.
Tugas dan fungsi organisasi pelayanan yang diembannya berjalan baik, sebagaimana  tri tugas panggilan orang percaya yaitu: Membangun, membaharui dan memelihara keutuhan gereja (Marturia), menyaksikan dan memberitakan Injil kepada segala Makhluk (Koinonia), Melayani demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Diakonia).
Hal tersebut dapat terefleksi dimana di kurun itu, gedung-gedung gereja baru berdiri di ladang-ladang persemaian Injil Tuhan ini baik dalam bentuk darurat, semi permanen, hingga permanen. Dikurun inilah bangunan gereja semi permanen Jemaat Nazaret Tuminting mulai dibangun. Jumlah kolom di tiap-tiap jemaat ikut berkembang seiring kian pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan ini. Terjadi pergantian kepemimpinan jemaat-jemaat yang berlangsung sebagaimana aturan tata gereja GMIM.
Dalam sejarah Jemaat Nazaret Tuminting tercatat di kurun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel di aras Paroki Singkil, Nazaret telah melakukan 4 kali pergantian kepemimpinan BPMJ, dimana sebanyak 3 kali masih dalam kepemimpinan guru-guru jemaat, hingga pada tahun 1962, jemaat Nazaret Tuminting untuk pertama kali mendapatkan penempatan seorang ketua BPMJ yang pendeta yaitu Pendeta  Manuel Lumowa Wangkai (1962-1974).
Penempatan pendeta ML. Wangkai di Jemaat Nazaret tercatat kian mensemarakkan pelayanan di aras paroki Singkil Sindulang.  Karena Pendeta Daandel sebelumnya hanya satu-satunya tenaga pendeta di aras pelayaan Paroki ketika itu, dengan masuknya ML Wangkai, maka tugas pelayanan di Paroki Singkil Sindulang dibagi menjadi dua, yakni: pertama, untuk jemaat-jemaat di bagian Utara Paroki (Tuminting, Tumumpa, Bailang, Molas, Meras, Talawaan, Tiwoho, Wori, Pandu, Bengkol, Buha) dilayani Pendeta ML. Wangkai. Sedang jemaat-jemaat di selatan Paroki (Singkil Sindulang, Karangria, Wawonasa, Tuna, Kombos) dilayani Pendeta Daandel. Baru pada tahun 1971, Jemaat GMIM Tuna ditempatkan Pendeta Dumanauw  Musa Victor Kandijoh  (1971-1973).
Kelokan Lain di Torsina
Selain kesetiaannya dalam mengemban misi pelayanan di kurun kepemimpinannya sebagai Kepala Paroki, aspek ketegasannya juga penting mendapatkan catatan. Sebab, dari sikapnya itu sejarah gereja di kawasan ini membentuk kelokan tersendiri, yakni berdirinya GMPU (Gereja Masehi Protestan Umum) sebagai dampak dari perpecahan babak pertama dari dua babakan perpecahan di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa.
Hal itu berawal dari kisah cawan anggur yang telah kosong dalam ibadah perjamuan di tahun 1955. Sebagaimana catatan Sem Narande, dalam sebuah ibadah perjamuan kudus di Jemaat Torsina Tumumpa, terjadi peristiwa cawan anggur yang kosong karena semua isinya telah diminum habis oleh seseorang yang sebelumnya menerima cawan itu, hingga orang berikutnya hanya menengguk anggur dari cawan yang telah kosong. Peristiwa itu tentu membuat gaduh suasana, banyak anggota jemaat yang ikut perjamuan tertawa, termasuk para majelis jemaat.
Pendeta Daandel yang memimpin ibadah perjamuan ketika itu, sontak memberi teguran keras dan tegas kepada Majelis Jemaat, karena tertawa-tawa pada saat berlangsungnya acara di meja perjamuan. Suasana itu menurut Pendeta Daandel, tidak menghormati kekudusan sakramen perjamuan.
Majelis Jemaat saat itu tersinggung dan tak menerima teguran sang Pendeta, bahkan menilai Pendeta Daandel tak menghargai Majelis serta mencemarkan kehormatan Majelis. Kejadian ini pun berbuntut pada pertikaian antara Majelis Jemaat Torsina dengan Pendeta Daandel selaku Kepala Paroki. Untuk menyelesaikan pertikaian ini Badan Pimpinan Sinode mengutus Pendeta A. Rondo untuk mendamaikan. Tapi misi perdamaian pendeta A Rondo gagal, karena 3 orang Majelis yakni Porcorus Arbraang, Salmon Marune dan Matheos Talimpung, langsung menyatakan keluar dari Jemaat GMIM Torsina berpinda ke GMPU, dan mendirikan gereja GMPU di Tumumpa.
Dan di tahun itu, atau 6 tahun sesudah jemaat Torsina dinyatakan otonom setelah dimekarkan dari Jemaat Nazaret Tuminting, tepatnya 18 Desember 1955, angin kencang menyaput runtuh bangunan darurat Gereja Torsina Tumumpa. Kejadian itu menjadi bagian akhir dari babakan pertama kisah jemaat Torsina, dan babakan kedua perpecahan menuju terbentuknya Gereja KGPM Tumumpa sedang menanti, sebagai bagian dari kisah pelayanan di kurun kepemimpinan Pendeta Daandel sebagai Kepala Paroki Singkil Sindulang.
Kerapan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) Tumumpa terbentuk dari eksodus kedua jemaat GMIM Torsina Tumumpa tahun1968. Awalnya, kekisruhan hanya dipicu masalah ketidak beresan keuangan di BPMJ dalam kepemimpinan guru jemaat Estefanus Takonselang. Pada perkembangan berikut, persoalan kian menajam karena sebagian anggota jemaat menilai kepemimpinan Guru Jemaat Estefanus Takonselang otoriter. Dari kesaksian para tua-tua Jemaat Torsina sebagaimana dikutip Sem Narande, persoalan tersebut benar-benar merobek keutuhan jemaat, hingga kondisi Jemaat terpecah menjadi dua blok. Yang satu berpihak pada Ketua Jemaat, dan lainnya berseberangan dan menolak kepemimpinan Ketua Jemaat. Konflik tersebut tak berhasil diselesaikan di aras Jemaat, Paroki dan Sinode, tapi melebar ke rana hukum yang juga tak mendapatkan penyelesaian.
Yang menarik dari peristiwa ini bukanlah masalah benar tidaknya pokok kekisruhan itu. Karena kebenaran sejati hanya milik Tuhan, maka tugas generasi berikutnya adalah merefleksi esensi teologis dari peristiwa itu, dimana Tuhan telah membentuk kelokan baru dalam sejarah pelayanan di aras Paroki Singkil Sindulang. Ketua Jemaat Torsina Estefanus Takonselang bersama para pendukungnya kemudian melakukan eksodus  kedua setelah berdiri GMPU dalam konflik babak pertama, dengan mendirikan KGPM di Tumumpa sebagai buah dari konflik babak kedua. Torsina yang ditinggal pergi sang pendiri jemaatnya sendiri, kemudian dipimpin Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan, yang ditugaskan Sinode GMIM sejak 2 Juni 1968.
Kembali ke Pendeta Daandel, mendekati tahun-tahun akhir pengabdiannya di Jemaat Bethanie Singkil Sindulang, aras pelayanan Paroki di wilayah-wilayah GMIM diganti menjadi aras pelayanan Wilayah. Kepala Paroki pun berubah menjadi Ketua Wilayah. Dan sejak itu, Paroki Singkil berubah menjadi Wilayah Manado Utara.

(bersambung ke bagian 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar