Rabu, 18 Desember 2013

“KLIKITONG”: LANSKAP LAUT, KULTUR, DAN KEHIDUPAN



Oleh Adek Alwi

 “KLIKITONG”, kumpulan puisi IverdixonTinungki (Teras Budaya, Jakarta,2013), memuat 133 puisi. Rinciannya, bagai berikut: 17 puisi ditulis tahun2005; 2 di tahun 2006; 6 tahun 2008, 9 tahun 2009, 27 tahun 2010, 21 tahun 2011,20 tahun 2012, 29 tahun 2013; plus 2 puisi tidak ditulis tahun ciptanya, yaitu“Renungan Pesisir” serta “Malam Akhir Tahun di Ulu”.

Rincian itu bagi saya perlu, setidaknya karena dua hal. Pertama, usai membaca semua puisi di “Klikitong” (hadiah RemmyNovaris DM, 24 Agustus 2013), yang tinggal di ingatan saya adalah lanskap lautan, lanskap kultur, sejarah dan kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi. Saya merasa kian dekat dengan mereka selaku saudara sebangsa. Karena itu, kedua, saya jadi tergoda mengetahui:sejak bila kiranya Iverdixon Tinungki menggumuli tema-tema itu (dalam kumpulanini tentunya). Sebab di biodatanya saya baca, walau lahir dari orang tua berdarah Sangihe Talaud, dua dari pulau-pulau di areal tapal batas RI itu,domisili serta aktivitas penyair ini di Manado –kota yang di satu larik puisinya bertahun cipta 2005 dia sebut, sudah “empatpuluhdua tahun aku melihatnya”.


 Namun, puisi tentu adalah puisi. Ia tak reportase, tak news, tak laporan ilmiah, apalagi iklan pun rayuan indah kampanye di spanduk. Puisi produk sastra, yang datang ke kita lewat bahasa figuratif,kiasan, atau majas. Jadi, bila saya bisa akrab dengan puisi-puisi berlanskap lautan, lanskap kultur, sejarah, serta kehidupan anak negeri di pulau-pulau utaraSulawesi itu, pertama-tama tentulah karena berbagai peralatan bahasa puisi yang digunakan atau dieksplorasi si penyair: metafora, diksi,rima, ritme, enjambemen, dan lainnya itu. Dengan adonan peralatan bahasa puisi itulah pengetahuan terhadap objek (suatu hal yang penting pula dimiliki penyair) dikemas,sehingga memberi imej yang berdaya sentuh kuat melahirkan impresi.
Dan, saya tangkap upaya Iverdixon mengeksplorasibahasa puisi itu. Saya lihat, misal, bagaimana kata berubah jinak di tangannya –memadusatu diksi dengan yang lain lalu hadir rima dan ritme, menjelma metafora jitu-mengena.Seperti ini contohnya:

antara Kalama Kahakitang
yang abadi hanya ombak
seperti ibu setia menjahit kenangan
perjalanan perahu dari mimpi ke kenyataan
(bait I puisi “Antara Kalama Kahakitang”)

Atau ini:

samudera seperti rambutmu
lebati kibaran cinta
perahuperahu hanyut
karam di pesisir matamu
(bait II puisi “Renungan Pesisir”)

Dengan “pukau” bahasa itulah saya telusuri yang tadi ingin saya ketahui. Dan, jumpa jawabnya. Tapi sebelumnya saya mau main-main statistik lagi. Begini. Jika puisi-puisi dalam “Klikitong” (menurut penyair, ini jenis musik tradisional sejak masa Kerajaan Siau) bertahun cipta rentang waktu 2005-2013 (tanpa 2007), plus 2 puisi tanpa tahun penciptaan, maka puisi yang ditulis tahun 2005-2009 saya sebut sajalah periode lama, dan yang bertahun cipta 2010-2013 periode baru/relatif baru. Masing-masing periode memiliki masa4 tahun. Periode baru/relatif baru 97 puisi kontribusinya pada antologi “Klikitong”.Periode lama, 34 puisi.
Periode baru/relatif baru, bukan saja kontributor besar, akan tetapi juga lebih dominan (hampir 90 persen)menampilkan lanskap laut, lanskap kultur, sejarah serta kehidupan anak negeridi pulau-pulau terujung utara Sulawesi itu.Berikut 2 puisi pada awal serta pada akhir periode baru/relatif baru itu, sebagaicontoh:

 MIANGAS
 leluhur ketapang tak lupa pada Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros” dan “Sevillanas”

sebuah monumen beton terpacak menguburPardao
begitu Miangas ingat cantiknya dimasa Las Palmas
kini meranggas, tak lebih sebuah pulautapal batas

dulu kadetkadet kapal layar Spanyol adalahpenari
di tengah api dinyalakan udara pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik semarakombak
menyeru seruanseruan Paradiso yang agung

pulau karang ini tak sekadar sarang gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana lautpenjejak benua

kini barisan tambur menggerendam dek kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan telahkaram
lisut di atas sebuah tapal menimbun sejarahpulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti makna dini hari

rimbun ketapang tak lain rimbun kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap tangisan
tersuruk senja menggelisahi malam rentahbernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib lautnya
gemuruhkan mirisnya warna kemiskinan
(2010)

LAUT ADALAH DIRIKU
(sebuah perjalanan pulang
dari Pulau Biaro)

masih seperti sediakala
laut adalah jendela
membiarkan malam
menyempurnakan kegelapan

di tengah kegelapan
kutemukan bayang diriku
didekapnya dalam gelombang
aku tak kehilangan asinnya

masih seperti sediakala
laut adalah hati
membiarkan cahaya
di bingkai dini hari

dalam cahaya
kutemukan hatiku
ia menuntunku
bertemu masa lalu

andai masa lalu itu manis
getir hari ini sempurna kusesap
bersama butiran garam
mengalas perjalanan terus ke depan

masih seperti sediakala
laut adalah diriku
rahasia yang dalam kau benam
dimana antara arus dan gelombang
yang pecah adalah
maknamakna ketenangan dan geram
(2013)

Bagaimana dengan puisi-puisi pada periode yang saya sebut periode lama? Di periode ini tak banyak dijumpai puisi berlanskap lautan, lanskap kultur, sejarah dan kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung Sulawesi; lebih banyak tema pencarian diri, cinta, perjalanan, kehidupan Kota Manado, dan sebagainya. Tetapi, isyaratke arah itu sudah terlihat. Pada 17 puisi yang ditulis Iverdixon pada tahun2005, umpamanya, meski tak satupun yang titik tekannya pada lanskap lautan, kultur,sejarah, serta kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi itu,namun energi asosiatif diksi dengan citraan laut mulai muncul atau dihadirkan. Contoh:

aku selalu tak menghafal tanggal dan hariitu
kecuali isyarat laut di balik jendelatentang rahasia
bahwa kita senantiasa punya saat melayariwaktu
(bait I puisi “Sebuah Lagu Hampir Kulupa”)

Juga ini:

di Valendam Pauli kau mencari laut
buat bertemu pesan dalam angin
meski kau tahu penyair tak memiliki kata
ia menulis suara hatinya di dahan kenangan

sajaknya perahuperahu indah mengapung
membawa pergi hatimu
di bayangan celedony negeri bawah air
di lantai samudera itu sepotong hati retak
tak bisa direkatkan kerinduan
(bait I dan II puisi “Di Bawah Valendam danPauli”)

Apa yang saya sebut isyarat, atau letupan-letupan itu (frasa “isyarat laut”, “melayari”, “perahuperahu”, “mengapung”, “lantaisamudera”, seperti di dua puisi yang dikutip di atas), kemudian mengental, atau menemukan bentuknya di puisi “Pesisir Balehumara” yang bertahun cipta 2009 –yakni akhir dari periode yang saya sebut lama tadi. Seperti ini:
tuanglah samudera ke dalam gelas hinggapenuh
biar kusesap nyeri ampas sejarahku, jugasejarahmu

di Balehumara bau bidadari turun dariperahu
dengan derap penari istana kembang melati
bibirnya ranum muramkan masa lalu

di depan, pulau Ruang mengapung. ada jejakpisau
darah hitam mengguris di kening laut tuaitu

ketika sisa panoramik memapar sisi abadidari ingatan
berkata: di sini langit selalu tenangmenghapus merah senja
menidurkan pasir lelap diusap debur ombak
begitu nelayan belajar ikhlas itu bukankalah

lalu menyembur harum Roa di asap panggangperapian
juga derak bunyi kayu bakar menjelma renungmasa kini
bukankah api berkobar itu setua usiapesisir ini
jala dirajut dulu, kini masih ditebarhingga ke mimpimimpi

setidaknya kini antara luka pisau dan laut
kutemukan ruhku sendiri
menimang bulan sabar
membuka barisbaris cahaya
sehari seinci
hingga purnama dulu
menyatu di bulat purnama hari ini
(2009)

Dengan begitu terjawab sudah apa yang ingin saya ketahui: sejak kapan kiranya puisi-puisi bertema lanskap lautan, lanskap kultur, sejarah, serta kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi, digarap Iverdixon. Dalam kumpulan “Klikitong”hal itu mulai berproses dalam puisi yang dia tulis tahun 2005 (periode lama), dan terus mengental, lantas kian subur dalam puisi-puisi yang dia tulis pada periode baru/relatif baru (2010-2013).

Apa pula kiranya yang dapat dijelaskan dari semua itu? Hemat saya, meski Iverdixon Tinungki berdomisili (bahkan mungkin lahir, atau sejak kecil) di Manado, namun gen anak pulau terujung utara Sulawesi yang berasal dari orang tua/moyangnya, tak henti mengembara dalam dirinya. Namun gen itu tentu saja tak bekerja sendiri, tak bergerak sendirian. Melainkan juga, ditopang oleh aktivitas fisik ke pulau-pulau yang jauh itu. Dan, tidakkalah penting: pengetahuan historis, kultur, kehidupan, serta situasi-kondisi ekonomi masyarakat di pulau-pulau tapal batas Negara Republik Indonesia itu –bagai terlihat dipuisi-puisi dalam kumpulan ini. Semua itu berkelindan dalam diri IverdixonTinungki, tidak henti bergerak, mencari, dan dengan eksplorasi peralatan bahasa puisi kemudian sampai kepada khalayak –dan bagi saya juga menggugah, menghangatkan rasa kebangsaan.

(Eh, sampai di sini saya jadi merenung. Jika saja mereka yang kini menjadi pemimpin negeri ini mengenali negeri ini sampai jauh,ke sudut-sudutnya yang terpencil, seperti Sukarno-Hatta-Sjahrir dkk tempodoeloe, pikiran-pikiran ganjil tentu tak acap nongol di kepala saya: ini Republik Indonesia,atau Republik Jakarta/Jabodetabek, sih? Kok pemimpinnya berkeliaran di Jakarta, Jabodetabek, atau paling banter di Jawa dan Bali melulu? Dan kalau bicara, mereka aduk-aduk pula bahasa persatuan dengan “besikli”, “sofar”, “baipon”, “totalli”,“dairek-negosiasien”… puih!)

Tulisan ini saya akhiri dengan catatan: bahwa salah ketik/cetak dalam “Klikitong”, di cetakan berikut penting dibenahi.Sajak/puisi bertumpu pada kata. Salah menulis kata, tak hanya bikin bingung, bisa pula keliru memaknai. Di satu larik puisi “Gelembung-gelembung Air”, ada: “bilakau tak kuasa rabah getaran hati melemah”, apakah yang dimaksud: “bila kau tak kuasa raba getaran hati melemah”? Pada larik puisi “Manado Underground”,begini: “yang kaya kian kaya, yang miskin kian papah” –maksudnya,  papah = papa = sengsara, melarat, miskin;ataukah papah = berjalan dengan dibantu orang lain macam kakek/nenek renta?Tentu ada lagi yang lain, namun saya cukupkan dengan dua contoh itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar