Rabu, 18 Desember 2013

PADA SUATRU SORE KETIKA BAYANGBAYANG BERGENTAYANGAN (puisi Iverdixon Tinungki)



pada suatu sore ketika bayangbayang bergentayangan
di pinggir laut berpagar, nelayan menjaring mayat katakata
berlendir, dari pikiran tua digenangi dahak
tertatih menepis ajal, tak mau mati
kendati nafas tinggal sejengkal

berlapis petuah renta menyaru bagai khotbah
dipasangi lampu seakan surga tinggal sedepa
pada setiap ucapannya


ulah siapa bila bayangbayang itu tersengat di kanal
kau memaksa kami bertanya: mana tanah buat mayatku

dari ujung ke ujung hujan jatuh
membawa lumpur pasar, lumpur saman
nyawanyawa yang sasar

kota ini sebegitu gempar
celotehmu yang menampar

antara laut dan pasir
batas kita menjadi samar untuk dikenang
kami dan kamu sekadar sesuatu
semacam cahaya bulan kehilangan tubuh
terperangkap di dedaunan lagi gugur

kau datang dengan serine juga bebunyi tumpahan batu
pesisir tumbuh jadi tugu garam tempat ngilu bersarang

melintasi pecinaan aku mengaduk samudera
kau buang. menggema tangisan burungburung
jatuh ke dalam jurang
di sana kau kubur pula tangisanku pada bagian paling dalam

apakah juga kau merasa matahari seolah menetas jadi ngengat
dalam kuasa kau tumpah di jalananjalanan ini

seolah semua tak lagi memiliki tubuh, memiliki diri. digerogoti
tinggal bayang limbung mengejar tumpangan
mencari liang di sisi pulau sesungguhnya pun sedang kau jagal

sejarah selalu kehilangan akar di lengan ibu yang gemetar
hari ini disuapkan ke mulut anakanak adalah butirbutir amarah
seperti  pohon, pulau dan laut kau kapak
jadi istana arang buat mimpimimpimu menebar ilalang

dan kami telah membuat perhitungan
membuangmu tengah rawa dimana untuk dikenang pun
kau telah kehilangan nyawa

2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar