Senin, 12 Desember 2016

DRAMA ROHANI KRISTEN BENIH DARI TANAH TUHAN KARYA IVERDIXON TINUNGKI



DRAMA ROHANI

BENIH DARI TANAH TUHAN
Naskah: Iverdixon Tinungki
(Diangkat dari legenda padi di tanah Minahasa)
--DILARANG DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG--

Pemain dan Karakter:

1.      OPO MAMARIMBING: Lelaki 60 Tahun. Tonaas atau Pemimpin Adat Minahasa. Ahli Budaya Pasoringan (Kemampuan pengartikan pesan yang disuarakan Burung Manguni.)
2.      BURUNG MANGUNI: Jenis burung yang skral dalam budaya Minahasa karena punya kemampuan membawa pesan dari dunia gaib, atau memberikan tanda tertentu tentang hal baik dan buruk yang akan menimpa manusia lewat bunyi suaranya.
3.      POPORUNDENG: Lelaki 50 tahun. Tetua di Desa.
4.      TURANDANG: Lelaki 50 tahun. Tetua di Desa.
5.      RAPAR: Lelaki 50 tahun. Tetua di Desa.
6.      KEKE: Perempuan 20 tahun. Gadis cantik kekasih Wuri.
7.      WURI: Lelaki 25 tahun. Seorang prajurit atau Waraney yang terluka.
8.      ALO: Lelaki 13 tahun. Anak yang senang membaca cerita budaya daerahnya.
9.      REUMANEN: Perempuan 18 Tahun. Kakak Alo. Pembaca puisi.
10.  PENDETA: 50 tahun. Pimimpin umat Kristen di suatu tempat atau di suatu jemaat.
11.  PARA WARANEY: Prajurit dalam budaya suku bangsa minahasa.
12.  ORANG-ORANG: Warga desa.


--LOGLINE--
Cerita pertempuran antara Dotu Tumideng, Dotu Sio Kurur dan Para Waraney melawan pasukan Dewi Padi Linkanwene dari khayangan, akhirnya sampai ke telinga para penduduk desa di Minahasa.  Kabar itu disampaikan seekor Burung Manguni kepada Opo Mamarinding (Ahli dalam mengartikan suara burung atau Pasoringan).
Pertempuran itu dipicu keinginan Dotu Tumideng meminta benih padi yang hanya tumbuh di khayangan untuk di tanam di bumi Minahasa. Keinginan Dotu Tumideng itu menimbulkan murka Dewi Padi Linkanwene.
Mendengar pertempuran itu warga desa menjadi khawatir, apalagi salah seorang Waraney dari desa tersebut menjadi korban.
Namun kemudian terdengar lagi kabar lewat Burung Manguni dimana Dotu Tumideng telah menemukan tiga butir benih yang tak sengaja terselip di antara luka di tepak kakinya akibat pertempuran itu. Kabar baik tersebut disambut gembira, dan dipandang sebagai karunia Tuhan bagi tanah Minahasa (Negeri Malesung).
Padi pun tumbuh subur, dan menjadikan Minahasa sebagai lumbung pangan yang terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia. Dan sejarah mencatat perompak dan kapal-kapal kolonial memerangi Minahasa karena ingin mengusai lumbung pangan tersebut.
Sejarah itulah yang kemudian dibaca seorang anak desa yang kemudian menjadi bahan refleksi tentang cinta Tuhan kepada manusia masa kini.
BAGIAN I: PEMBUKA

PROLOG:
Sejak masa moyang tua Karema,
Sembilan penjuru Wanua Minahasa, adalah tanah anugerah.
Karunia terindah Opo Empung, Tuhan pencipta segala yang ada.
Di tanah ini, segala yang tumbuh di langit, seakan bisa tumbuh di sini.

Dari pucuk-pucuk doa Karema
Terberkati pula Toar-Lumimuut sebagai leluhur bangsa Minahasa.
Dari sanalah sejarah negeri Malesung ini bermula.

Namun sejarah tak pernah berjalan lurus.
Sejarah selalu punya kelokan dan kecuramannya.
Tawa dan kepedihannya.


Tiba-tiba Gemuruh Guntur, disusul sambaran cahaya kilat. Dari suatu lembah terdengar seruan perang: I YAYAT U SANTI (Acung-Acungkanlah Pedangmu) oleh para WARANEY  (Pemuda pemberani dan Prajurit Minahasa).

(Lampu menyala)

Tampak pertempuran antara pasukan KHAYANGAN LINGKANWENE melawan KELOMPOK WARANEY  dan KABASARAN  yang dipimpin LELUHUR TUMIDENG dan SIO KURUR di tepi hutan.

Beberapa saat, pertempuran kelihatan tidak seimbang karena pasungan KHAYANGAN terlalu besar. Pasukan LELUHUR TUMIDENG dan SIO KURUR akhirnya mundur.

(Lampu Redup lalu padam).


BAGIAN II: MASA LALU

(Lampu menyala)
Di atas sebuah bukit (stage samping kiri panggung) seorang leluhur tua bernama OpoMamarimbing (punya keahlian mengartikan suara burung) sedang  melantunkan syair lagu LINGKANWENE (syair padi) diiringi alat tetabuhan tambur. Lagu itu seperti membawanya berkelana ke tempat yang jauh, ke dengeri padi di langit sana.

Di suatu dataran  (kanan panggung) Beberapa  orang lelaki dan perempuan sedang berkumpul membuat api di sebuah tumpukan rumput. Asapnya tampak membubung tinggi.

Tiba-tiba di sebuah cabang pohon hinggaplah seekor burung Manguni. Burung itu mengeluarkan suara beruntun seperti menjerit diiringi gerakan kepala dan sayap yang gelisah.

OpoMamarimbing tiba-tiba berhenti bernyanyi dan langsung berdiri mendengar suara burung itu. Sebagai orang yang bisa mengartikan suara burung, wajah OpoMamarimbing nampak begitu risau.

OPO MAMARIMBING:
Cilaka!
Cilaka!
Buah terlarang itu…
Buah terlarang itu…

TOPORUNDENG:
Ada apa Opo Mamarimbing?
Ada bahaya apa?

Opo Mamarimbing turun dari atas bukit, sementara orang-orang bergegas menuju ke arahnya.

OPO MAMARIMBING:
Padi…
Padi baru saja menyulut pertempuran.
Tangga ke negeri khayangan telah patah.

ORANG-ORANG:
(khawatir)
Pata?

Burung Manguni berpindah dan bertengger di cabang yang lain sambil mengeluarkan suara jeritannya. Sementara Leluhur Tua mencoba mengartikan suara burung itu kepada orang-orang.

OPO MAMARIMBING:
Ya. Patah.
Tangga itu telah dipotong hingga putus oleh Teterusan Sumanti dari kahayangan,
 atas perintah Dewi Padi Linkanwene.

TURANDANG:
Mengapa tangga itu dipotong Opo Mamarimbing?

Burung Manganui mengeluarkan suara lagi.
           
OPO MAMARIMBING:
Agar manusia bumi
tak menyusup ke khayangan mencuri bibit padi.

TOPORUNDENG:
Siapa yang menyusup,
 dan bertempur di sana, Opo Mamarimbing?

Burung Manguni tiba-tiba  menyebutkan nama dengan seuara jeritannya yang khas.

BURUNG MANGUNI:
Tumi’deng…Tumi’deng…
Kururrrr…Kururrr
(diikuti jeritan yang tidak jelas)

OPO MAMARIMBING:
Dotu Tumideng dan pasukan Sio Kurur,
 melawan pasukan Linkanwene dan Sumanti dari khayangan.

TURANDANG:
            Mengapa perang itu sampai terjadi?

Burung manguni pindah bertengger di suatu tempat yang agak tinggi, lalu bicara dengan suaranya yang khas seperti menyanyi dan sesekali menjerit.

BURUNG MANGUNI:
Dotu Tumi’dengggg… naik kekhayangannnn…
dengan maksud memohon kepada Dewi Padi Linkanweneee…
untuk mendapatkan bibit padiiii, agar bisa bisa di tanam di bumiiii.
(lalu menjerit lagi dengan suara yang hanya dimengerti Opo Mamarinding)

OPO MAMARIMBING:
(Mengartikan suara Burung Manguni)
Dotu kita Tumideng di usir dari Khayangan oleh Dewi Padi Linkanwene.
Ia dipukul sampai terluka. Ia melawan namun pasukan khayangan yang dipimpin Sumanti
terlalu kuat, Tumideng mundur ke bumi meminta bantuan Dotu Sio Kurur dan pasukan Waraney.
Peperangan dasyat pecah di tepi hutan dekat tangga ke khayangan. Namun karena pasukan khayangan terlalu banyak, Dotu Tumideng dan Sio Kurur meminta para Waraney mundur.

BURUNG MANGUNI:
(menyela)
Sumanti memotong tanggaaaa…
Sumanti memotong tanggaaaa…

OPO MAMARIMBING:
Itu sebabnya Tetarusan Sumanti memotong tangga itu.

RAPAR:
Bencana! Ini bencana Opo Mamarimbing!
Bencana untuk kita semua.

KEKE:
Betul itu Tua Rapar!
Lantas bagaimana kita mendapatkan beras Opo Mamarimbing?
Selama ini kita hanya bergantung pada beras milik dewi Lingkanwene
di khayangan, yang kita tukar dengan  telur burung Maleo
dari negeri Malesung ini.

OPO MAMARIMBING:
Berdoalah kepada Opo Empung.
Karena hanya Opo Empung Tuhan
yang bisa membawa kita keluar dari masalah ini

Mendengar kata-kata Opo Mamarimbing, orang-orang menjadi takut. Mereka kembali berkumpul  memanjatkan doa di sekitar api memohon perlindungan Tuhan. Sementara Burung Manguni terbang lagi ke luar.

ORANG-ORANG:
O Opo Empung…
O Opo Wananatase…
Lindungilah kami.
Lindungilah negeri kami.

Sementara orang-orang berdoa, tak lama masuk  beberapa Waraney menggotong seorang Waraney lain yang terluka parah. Orang-orang pun jadi gaduh melihat kejadian itu. mereka tampak prihatin. Keke tiba-tiba menjerit setelah melihat Waraney yang terluka itu ternyata kekasihnya yang bernama Wuri.

KEKE:
Wuri…apa yang terjadi. Kenapa engkau Wuri?
(Menangis terseduh)

SEORANG WARANEY:
(Memberi penjelasan)
Wuri terluka dalam pertempuran bersama Dotu Tumideng. Ia maju
Dengan berani ke depan menghadang pasukan Khayangan.

OPO MAMARIMBING:
Wuri telah membuktikan keberanian anak Tanah Malesung ini.
Keke, jangan terlalu bersedih, kau harus bangga punya kekasih
yang berjiwa satria seperti Wuri.

KEKE:
(Sedih)
Tapi Wuri terluka sebegini parah Opo Mamarimbing!
Kasihan dia, kasihan Wuri!

OPO MAMARIMBING:
Dalam perang hanya ada dua hal Keke:
yang kalah menjadi abu, yang menang menjadi arang.
Maka dalam hidup ini sesungguhnya, tak ada yang lebih berharga selain damai.
Siapa yang menyayangi kehidupan, haruslah menyayangi perdamaian.
Hal inilah yang dikehendaki Tuhan atas manusia.
Antarlah kekasihmu ke rumah Keke, carilah tabib untuknya.

Keke dan para Waraney serta beberapa orang yang lain ikut keluar membawa Wuri. Sementara yang tertinggal Opo Mamarimbing, Rapar, Toporundeng dan Turandang.


RAPAR :
Aku tidak habis pikir,
mengapa Datu Tumideng sampai pergi ke khayangan.
Hanya karena benih padi,
bumi dan langit bisa seretak ini.

TURANDANG:
Persoalannya, mengapa khayangan tak mau berbagi.
Padahal, itu hanya segerkah benih Padi.
Bukankah padi adalah benih dari tanah Tuhan
yang dikaruniakan untuk kehidupan semua makhluk.
Mengapa hanya khayangan yang menguasainya?
Bukankah padi juga bisa tumbuh di tanah Minahasa yang terberkati ini.

OPO MAMARIMBING:
Makanan dan harta selalu meruncingkan peperangan.
Kekuasaan dan harga diri ditegakkan sebagai senjata.
Dengan apa kita menautkan kedamaian yang retak ini.
Tapi sudalah Bila Opo Empung Tuhan berkenan,
pasti ada jalan lain untuk mendapatkan bibit padi yang kita impikan.

Tiba-tiba masuk lagi Burung Manguni dan hinggap di sebuah cabang pohon sambil mengeluarkan suaranya yang khas seperti menceritakan sesuatu.

TOPORUNDENG:
Apa yang dikatakan burung Manguni Makasiouw itu Opo Mamarimbing?

OPO MAMARIMBING:
Burung ini mengatakan, dari luka di kaki Dotu Tumideng,
telah ditemukan tiga butir padi yang terselip di sana.
Tiga butir padi itu telah disamai di sebidang tanahMalesung ini.

TOPORUNDENG:
Moga bibit padi itu akan tumbuh dengan baik. Opo Mamarimbing!

OPO MAMARIMBING:
Jalan menuju berkat, terkadang harus ditempu lewat
perjuangan yang sulit. Di ujung derita dan air mata justru
kabar baik itu berada. Terima kasih  Opo Empung Tuhan pengasih.
Engkaulah Juru Selamat bagi bumi.


Lampu redup lalu padam.



BAGIAN III:  MASA KINI

NARASI:
Dari tiga butir benih padi yang terselip di luka Dotu Mamarimbing,
sejak itulah ladang-ladang di tanah Minahasa dipenuhi padi.
Bibit di semai, sawah di bajak, padi tumbuh seakan pemandangan
berkah yang kemilau mengisi sembilan penjuru mata angin Tanah Melesung.
Moyang yang gembira, generasi baru tumbuh bertabur tawa.
Padi dirayakan sebagai kurnia. Bunyi gadah para penebah bertalu
melepas butir beras dari sekamnya. Perempuan-perempuan menapisnya
dengan gembira. Lumbung-lumbung penuh.
Namun sejarah punya liku yang baru.
Para perompak silih berganti
menyerang negeri Malesung ini untuk menjarah lumbung-lumbung padi.
Kapal-kapal kolonial berlabuh,
 memerangi Minahasa karena tanah ini
dipandang sebagai lumbung logistik yang penting.
Perang demi perang menghibahkan air mata,
luka, kesedihan, dan kehilangan di atas
sejarah padi negeri ini.


(Lampu menyala)

(Seiring narasi, di panggung tampak teaterisasi kejadian demi kejadian, babakan demi babakan dari catatan sejarah itu: 1. Masyarakat yang riang menikmati hasil kebun padi. 2. Serangan para perompak. 3. Kemelut perang dengan bangsa-bangsa kolonial seperti Spanyol, Portugis dan Belanda.)

(Lampu Padam)



BAGIAN IV: EPILOG
(Lampu menyala)

Di atas sebuah bukit (stage samping kiri panggung) seorang Anak bernama Alo sedang  melantunkan syair lagu LINGKANWENE (syair padi) diiringi alat tetabuhan tambur. Lagu itu dimainkannya dengan riang. Sementara kakanya Reumanen sedang membacakan puisi.

PUISI REUMANEN:

jangan tautkan lagi ketakutan
pada bangau, pada burung
pada sejarah yang menganyam tarian riang
di wajah ladang, di wajah  persawahan

jangan biarkan mereka terbang ke liang kepedihan
ke liang kusunyian, ke liang kecemasan
dengan tulang sayap yang retak

di tepi parit, alangalang berkibar
ritus musim  mengalir

aku ingin berlari menikmati petak-petak impian ini
dalam budaya yang mensyukuri bebiji
terus tumbuh berdenyut di esokku nanti


Di suatu dataran  (kanan panggung) Seorang Pendeta sedang menatap ke arah Alo dan Reumanen dengan kagum. Berapa saat kemudian Pendeta memanggil Alo dan Reumanen.

PENDETA:
Alo! Reumanen!

ALO DAN REUMANEN:
Ya. Pendeta!

PENDETA:
Turunlah ke sini!

ALO:
Baik Pendeta!


Alo dan Reumanen turun mendekati Pendeta.

ALO:
Ada apa Pendeta!

PENDETA:
Dari mana kalian belajar syair yang dinyanyikan dan dibacakan tadi?

ALO:
Dari buku sejarah padi di tanah Minahasa Pak Pendeta.

PENDETA:
Apa yang dikatan dalam buku itu?

REUMANEN:
Padi adalah benih dari tanah Tuhan.
Dikaruniakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia.

PENDETA:
Bagus Alo, bagus Reumanen.
Kalian telah membaca cerita kebaikan Tuhan bagi manusia lewat kisah padi.
Tapi, jangan lupa baca Alkitab juga.
Karena lewat Firman Tuhan di Alkitab,
kalian akan tahu betapa Tuhan sangat mengasihi manusia,
sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal
yaitu Yesus Kristus Tuhan
sebagai Juru Selamat Manusia.


Lampu meredup kemudian padam.

Tamat.

Manado, 17 Novermber 2016
Iverdixon Tinungki. Hp. 085343976992
--DILARANG DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar