Sabtu, 03 Desember 2016

SASTRA BERLATAR MINAHASA EMPAT IVERDIXON TINUNGKI



 PUISI-PUISI KARYA IVERDIXON TINUNGKI


 HARI ITU DI LADANG KRISAN

hari itu di ladang krisan
wangi bertaburan menaklukkan kecemasan
tapi mengapa aku tak bisa membedakan hening dan riang

aku hanya terngiang  riuh kabar ribuan massa
di jalanan mencari wujudwujud keadilan
yang mereka dapatkan lontaran gas air mata
kawatkawat melukakan ditebar, dan pelurupeluru menghujam


seperti di manamana politik selalu membusukkan manusia
tapi:  sebuas inikah kita?

hari itu 21 agustus
di tomohon, di tengah ladang bunga
aku memandang nyanyian hati  petani berkesiur
membersihkan sulursulur berlumpur
saat langit mengecupi mereka dengan cahaya
dan  seakanakan ada suara kecapi dari pohonan
pohonpohon tak pernah mendoakan kematian manusia
kecuali membawakan mereka galurgalur nafas jernih
lebih indah dari seratserat warna leli

di sini
aku teringat kisah josé mujica dan isterinya lucía topolansky
dua manusia serupa buku bahagia
mereka gembira meski hanya punya sepotong kasur
sebuah rumah ladang dengan jalanan tak beraspal
di situ aku mengerti arti hidup memadai dan mandiri

tapi di sebentang tanahku
decit batu tergilas rodaroda sapi melewati jalanan pinggir hutan
memberiku hari itu 21 agustus disisipi kekecewaan, dendam berkobar
sejarah manusia kembali tumbang
keinginan bebas dari takut, terhina ideologi maut
aku berkabung!
bersama duka cita kabut perlahan mengundak di bentang ladang
krisankrisan tibatiba mengurai warna kecemasan
keadilan terapungapung seakan tugu putih di mana kebenaran bermakam

oh…
aku ingin bernyanyi mengsantankan hati
dari sebentang wilayah masih saja merasa terkebiri

2014


TUGU BATALYON WORANG

di suatu waktu aku kembali ke bawah tugu batu
memandang pahit masa lalu
di atasnya berdiri sebatalion patung
mematikan ingatan ribuan nama tak berutung
dalam tragedi permesta menguarkan haru

tapi kebenaran tak selalu dikehendaki kuasa
sangkursangkur itu datang mematikan suara
di mata patungpatung itu terbetik pesan:
“mustahil kamu menang”

sebagai alkisah, 
apa sesungguhnya belum tuntas dalam kepal peperanganmu
peperangan tak jua henti melucuti kebanggaanku
bukankah manusia adalah penyemai kebaikan
penyemai  bibitbibit nafas di sulursulur sejarah
kelak terbaca sebagai jejak dengan segala lebih dan retaknya

tapi engkau memberiku pelurupeluru abadi
melontarkan umpat geram ke atas kota
mengisi harihari dengan mesiu terus meledak
dan anakanak tumbuh dengan kebanggan membunuh
bangga mengibar pesan lamamu dengan parasparas remuknya

2014

MENYEBERANGI PEMATANG

di bentang pematang penyeberangan
kutemukan lagi  cahaya tua tirus di atas pelepah
sebuah masa membawa pergi sesuatu pernah kita reka
pucukpucuk gabah tubuhtubuh bernas
mengering dilisut gamis senja

tinggal bau sawah, bau rawa membawaku juni yang basah
bunga tilansia, pohonpohon nuclea
memunculkan kembangnya
jernih seperti mata cinta, masih sama
seperti saat kita menari dengan sepi duka bajak petani
satwasatwa pemburu madu menyerbu kenangan itu
saat runtuh satusatu dari hatiku
ke pematang rapuh oleh air mataku

aku melewatinya bersama beberapa pengerik
melintasi desadesa sepi
wajahwajah menyimpan letih di keranjang berisi benih
burung bulbul di ranting cempaka sesekali mendengung
mengingatkan aku desis rambutmu:
--kenangan itu seakan punya kaki membuntutiku---

lalu aku menemukan kota tua tondano itu lagi
temboktemboknya terkelupas lembab
juga selintas kisah sejarah berani sungguh boyak
malam dulu berbaris di keningmu menjelma hutan
merimpangi suluruh rindu tibatiba memaksa mencari jalan
capungcapung kuning lelap di semak
sesekali mengeriapkan sayap
aku bertanya;
masikah mereka merawat warna matamu saat lindap 
di sebuah hari ketika kita samasama menadahi riang

tibatiba ada yang berlari dengan cepat
di bentang pembandangan luas mega bintang
masih dengan syal berwarna kuning kemerahan
meninggalkan bau parfum sangat kuhafal
diribuan hari kita berdekapan

waktu ternyata terus beranjak
menyelusupkan garis api meteorit
melesap ke eter sebegitu legam di hulu dada

2014


BAYANG BELIBIS

mengingatmu, mengingat belibisbelibis di hamparan rawa
gulungan kabut dan debu hari mengubah kita setipis udara
menguap seperti senja berakhir di tirus ranting
hanya desah nafas menangis
tapi aku tak bisa lagi mengikuti kenangan itu
ia  lebur di tasik tawar menjambakku lesap ke tengah sepi hambar
hanya ada belibisbelibis liar sebegitu nyaring bersiul
menenggelamkan rasa ampas harus dihempas

di pelantar ranting, aku hanya melihat belibis lainnya lagi
paruhnya kelabu menyuji kenangan baru
jalan terang dan kegelapan kupilih
meski kita tahu pasti tak ada pernah lolos
selamat meninggalkan waktu

sawah dan rawa menyimpan jejak sayap capung beterbangan
hanya menyisihkan sedikit hari buat aku memanen penyesalan
selebihnya harus pergi mengikuti jalan
mengarahkanku ke titik perhentian
bulat digenapkan

2014


MOKUPA

menyisir pesisir mokupa, menyambangi katakata
benarkah laut tak pernah tua
teduh dan ombak ternyata masih saja
amuk dan semilir sebagaimana keanggunannya
seperti semasa angkatan terdahulu mendapati bahasa mereka
menulis keikhlasan tak pernah rentah

penyairpenyair tua itu mewariskan aku beriburibu nyanyian
memaknai biru dalam bisu keteguhan
dan aku melihat ombakombak dari masa mereka
menempa cahayacahaya perak ke atas samudera
membangunkan imaji baru menuliskan pohonpohon nyiur
dengan nyanyiannya memanggil
waktuwaktu hilang buat kukenang

di pundak bebukit tanawangko
masa lalu mereka masih saja sempurna
seperti sediakalanya saat lariklariknya berkejaran  
mengisi ingatan tak cukup merekam
pantaipantai yang pernah kita hitung
dalam bilangan rakitrakit mengapung

setelah 30 tahun
laut berwarna perak itu masih dilintasi burungburung
orangorang menari salsa dalam ratusan tahun sejarahnya
tapi musiknya tetap saja perkusi senar tunggal
bersama bebunyian nada potongan bambu
suarasuara menyeru dari bau nira
menguak selera rasa
dimana tradisi tumbuh di atas waktu
hanya tradisi yang mau menerima halhal baru

aku menari bersama mereka di atas pasir
menjemput kapal pesiar membawa orangorang asing
baru kembali memandang balam mengantar matahari tenggelam
ikanikan kecil bergaris seperti sebra bermain di celah masir
menandai surut sedang memanggil  arus pasang utuh kembali

2014


TEMBANG PINGGIR LANGIT
di sini aku mendengar langit mendesis
sayapsayap murai mengurai pertemuanku dengan diri
di sini aku mendengar tembang pinggir langit
wajahwajah baik memberi aku pagi

di sini aku merasa sahabat muraimurai bernyanyi
sawah, ladang, dan padang lalang menyambutku dengan senyum
saat kubangkit dari lupa dan luput

anastasia dan seorang kekasih langit tua
menyayangiku selebar bentang huma
juga kamu, dia, mereka; aku mau memeluk semua
tapi dengan apa
kecuali dengan puisi retak di bawah rumpun alamanda
merayap, menjatuhkan loncenglonceng embun
hampir memecah pada ladang mataku masih saja bertanya

Tuhan…
aku ingin menangis
tapi tak bisa
karena menangis sesuatu yang percuma

di sini aku mau tertawa
tapi bisakah aku semekar bunga cempaka

2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar