Minggu, 07 Oktober 2012

5 Sajak Iverdixon Tinungki Untuk Antologi Pinangan


TELUK DAGHO

berapa puteri mandi di sini
hingga lembah dan gunung
berlapis menyimpan wangi
bakao air payou
kerikil cangkang siput
mensajakkan cahaya
teluk sewarna perak
dalam kitab kemaharayaan
kedatuan Manganitu
Inilah lembah selatan jazirah raja
Tari benko mengacungkan pedang
saat laut menarikan perang Kora
dalam keberanian naga


ikan maha warna di hamparan karang
rambut gadisgadis menjuntai di kilatan pagi
kakikaki baja menderap di atas tanah merah
seakan mantra Pananaru dilafalkan langit
buat pangeran siap bertarung

berapa panjang abad buat teluk ini kekal
naga di tanah runtuh
pedang emas selatan
pertapa tua pintareng
menuru bebalang
menanti polo mengayu bininta
seperti kisah tua tak terkalahkan

29 -9- 2010

BANDAR JENGKI

selalu saja berawal dari cerita kali agar waktu kita tak tercecar
di muara sejarah bermula, mengarung atau mengendap
abad-abad adalah perantauan  tak pernah usai
cakrawala senantiasa mencipta yang baru
mengaburkan bandar yang dulu kita labuh

kita akan mengenang jengki, kali yang tenang
perempuan dengan pinggul mengangkang
dalam sejarah leluhur Toar Lumimuut dan pelaut utara selatan
di hening kita mendengar Adzan dari muadzin yang baru datang

di sini kita tak sekadar membaca kisah pecinaan atau saudagar Arab
Portugis, spanyol dan belanda juga menyejarah dalam katrili di tarian keke
Hussen Mulachele juga penyair blengko merias Manado
dan kita mesti mengenang puisi Baginda Tahar di tepi pantai yang hilang
bersama kana lampu soma dampar memberkas di tiang dulu pasang belo

siapa  mau menggatang nasib di puncak klabat
biar mercusuar wenang terus mengkilap dari laut kita tatap
genderang bertabuh mengiringi pedang tanchi menguji kulit
sampri melantunkan simfoni buat langit terus biru

di boulevard moyangmoyang tua menjagai ceruk senja
hingga cucucicit bermimpi indah tentang abad yang segera tiba

11-10-2010
                                   
MENTAWAI

di suatu hari yang muram adikku,
Uma-Uma lantak bersama ratusan mayat
saat itu baru kubaca sejarah Sekerei menjagai laut Mentawai
airmatanya berhamburan ke udara seperti buibui tua di pucuk ombak

ini duka Sipora, Pagai dan Siberut adikku… dan dukaku
tsunami berbagi kisah manusia tetap saja manusia
Tuhan yang Itu, selalu rahasia. yang mulia
mengurai sejarah panjang Tua Pejat yang tua
di rinai airmata Mintaon'peta migrasi bangsa-bangsa

mari berbagi airmata adikku di tanah duka ini
biar Mentawai kuat melafal Arat Sabulungan
Syair-sayir Taikaleleu di keharmonisan alam
dan nenek moyang gagah tetap menguncupkan daun
buat puja Tai Kabagat Koat dan Tai Ka Manua
di jantung peradabannya

di sini,
pemburu membuat penatoan seperti matahari adikku
dalam sakramen sikerei dan rimata, kerena lelaki mestilah lelaki
ia berangkat dari Sipatiti hingga John Crisp menulis
sajaksajak ombak Poggy buat peselancar bertemu dunia
laut mendidih di sejarah moyang Mentawai

para lelaki dan primadona menari Turuk Uliat
meragakan gerak binatang alam
“uliat bilou, uliat manyang
turuk pok-pok, galagau”

mari menari adikku….
di gelombang pasang menghujam
biar Mentawai terus bergerak
dalam bebunyian syairsyair keindahannya

28 Oktober 2010



IRONI DARI TANAH HITAM


adikku, aku ingin berbagi sembab denganmu:

di sini lelaki dengan bahasa gerak tubuh Marokaahe menari
orang Marind, sejarah tua kapal uap di sungai Maro
mengusung gasing Izakod Bekai Izakod Kai
seperti resital indah kisah surga di tanah hitam

harusnya waktu berada dua jam di masa depan
di Wamena, dan mata cekung orang Dani.
rasanya mundur ribuan tahun
ke belakang membawa Jayawijaya

Adikku......
di Obiah ada tempat acara purba bakar batu
Seorang Onduwafi berdiri di puncak menara kayu
mengintai jauh di kesuraman Papua
ia berteriak memanggil para lelaki dengan panah dan tombak
melontarkan bebunyian ritmis dari mulutnya
mengekalkan sajaksajak langit dan tanah muram

pria berkoteka, pilamo di pintu gerbang
umma berjajar di sampingnya
perempuan dan anak-anak berdandan
melumuri tubuh dengan lumpur
menyanyikan lagu terdengar seperti masa lalu

kamupun akan tahu, di sini adikku...
Sang Onduwafi akan menyuruh dua orang pemuda
membawa seekor babi
pemanah tua menembakkan sebuah panah kayu
menusuk jantung buat alirkan darah ke udara
seperti suara nyanyian purba penduduk nan riuh
semakin keras dan cepat di nguikan babi merenggang ajal
Sepasang pria dan wanita muncul
mereka berlarilari melepasan roh di tarian mistisnya


pernahkah kau baca hot plate purba
babi dan hipere terpanggang di atas tumpukan batu panas
ditahan tumpukan daun segar dan rerumputan basah
yang menutupi tungku tradisional

beginilah aku berbagi denganmu di senyap Papua:
Pepera seperti prasasti sunyi pusaka terlara

Di sini engkau dapat menyaksikan Musamus
gundukan tanah rumah rayap yang tinggi
Kangguru, tikus pohon. Kasuari, Rusa
pada piguru usang riwayat penjarahan dan perusakan

lalu kau dengar adikku...
di Teluk Wondama, ribuan pengungsi banjir Wasior
apa yang mereka makan di ladang airmata itu
sungkawa gunung keramat
air turun dari tanah tersayat
mengirim ratusan jiwa sebagai pesan
di sini luka mengangahkan Papua
berdarah seperti babi yang tertikam anak panah

adikku, Papua adalah ironi
kemiskinan simiskin di atas tanah berlimpah ruah sumber daya alam
tambang emas dan tembaga terbesar di dunia
lapangan gas dan hutan biodiversitas, plasma nutfahnya luar biasa.
tapi Onduwafi yang berdiri di puncak menara kayu
berbagi airmatanya denganmu

29 Oktober 2010




CINTA DAUN RANDU

Cinta dan tubuhku seperti daun randu
ketika bunganya mengelopak ia menguning
lalu gugur di kaki musim
berserakkan melisut diurai waktu

pohon yang dulu kuhidupkan itu
menjadi ranggas meski tak mati

dengan jaket dan topi jerami
aku kembali menggali liang buat sepiku sendiri

sesekali aku menatap ke langit
bernas buah menggelantung dan pecah
dikeringkan matahari menjadi kapuk dan biji hitam
terbang dan jatuh menggelinding
menunggu daun yang baru
tumbuh dan gugur lagi

hidup seakan mendaur kenangan
yang pergi selalu datang kembali

tapi yang murung di langit kota ini sajakku
seratserat putih tipis terlepas
mencari rimbanya sendiri
dilayangkan nafas juga ia tak mengerti

aku menulis sajakku dari keringat dingin lusuh
darah mendebur di cekung ingatan  putusputus
tentang wajahmu yang selalu menoleh ke masa lalu
sajak itu menjadi bisu di saku malam
yang selalu menyimpan rindu

aku slalu kangen padamu
tapi slalu kehilangan dirimu

hurufhuruf dan kata gemetar
kulontar di atas barisbaris namamu
ia tumbuh cepat seperti batang randu
dan lapuk sendiri di tepi waktu

o...
sajaksajakku
pedangmu menikam jantungku
hingga malam yang di sini
erang cinta dan tubuhku menggelepar
dan engkau berpaling ke arah lain

Apa yang dapat kubagi padamu
selain menatap ke arah langit
awanan terus bergerak
menibakan malam di tapak kakiku yang kedinginan

2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar