Selasa, 08 Oktober 2013

UJUNG SEPTEMBER (Puisi Iverdixon Tinungki)



barangkali, ini kali terakhir menatap savana
atas pulau akan ditenggelamkan itu

orangorang tak bisa lagi menata waktu, meniti tahun
ketika batu kini berwarna empedu, terhalau. berdebu

cericit unggas pun menyeruak ngilu terakhirnya di dahan bakal kulai itu
melepas bau udara tersisa, bangkai hari tak bernyawa. Lalu, merantau
ke pulau baru dengan ketakutan lain. tak ada rumah lebih damai
di bentangan bumi. selalu akan datang bunyi mesin mengeruk,
menggergaji semua citacita, semua mimpi


di tengah asap perlawanan, masa kini heroik itu
terjerembab ke lumpur, tergilas buldoser  eskavator
merobek gunung.  semua kesakitan itu tumpah
menodai laut

di atas laut terluka itu kita akan melihat perahu. juga seorang bocah
matanya lirih, jarijari kecilnya memegang kayu dan belati
ia bugil, gugup, merasa sendiri di tengah orangorang kini berlari

ia masih mengenang jendelajendela terbuka
memampang ujung September yang cerah
tapi, cuaca memapar air mata ke dada
ke rumah sederhana, rumah yang harus dilupakannya

perahuperahu terus melaju membawanya
menempah bencana  ke dalam dirinya
serupa pintu kecil berderit
di luar hanya ada angin yang sakit

di wajah lugu itu ada dicemaskannya, mungkin nasib
jazirah pulaupulau sebelah utara dengan kisah orangorang  terdera
keserakahan memperoleh harta, diburu hingga ke liang tanah

ibunya, juga para perempuan mengenakan gaun perkabungan
tak lagi mau menoleh ke belakang. semua harapan ikut tenggelam
dalam kabut asin terperangkap di tiap sudut langit
dengan sinar oranye menakik segala nista dan pedih
diamdiam didekapnya, di hulu dari semua tangisnya

2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar