Jumat, 25 Maret 2016

SEJENAK MANODONG SASAHOLA, ESAI IVERDIXON TINUNGKI



SEJENAK MANODONG SASAHOLA

Oleh: Iverdixon Tinungki

Dala Ulu, dala Ulu,
Indala, dala Indala
(Sana Ulu. Sana Ulu
begitu Indah, di sana begitu Indah)

Membaca syair tua di atas, saya jadi ingat Voltaire. Sastrawan, budayawan, dan filsuf besar Prancis yang hidup dan terkenal di abat ke 18, di samping Montesquieu dan Rousseau. Ketika menulis “L’Ingenu” (Si Lugu), para kritikus samannya langsung berujar; “bila ingin memahami dongeng Voltaire, seseorang harus melibatkan pengetahuan sosial budaya, pengalaman hidup, kematangan berpikir. Sebab, bila tidak, karya-karya Voltaire tak lebih dari dongeng popular biasa.”

Dengan cara memahami karya Voltaire, terasa ada yang menakjubkan yang disuarakan bait syair Sasahola di atas. Dan tidak sedikit generasi SaTaS (Sangihe- Talaud-Sitaro) masa kini yang tidak terperosok dalam lupa dan luput mencecap kelindan keindahan khazanah sastra purba negeri sendiri. Kendati, beragam puisi dan karya sastra atavisme yang penuh spirit dan makna seakan terkubur bersama semangat ke Nusa Utara-an yang konon masih terbaring koma dan bahkan mati suri justru ketika percaturan politik identitas lagi bernas-bernasnya.
Maka sangat mengharukan ketika muncul keluh kesah seperti diutarakan Sekretaris organisasi Forum Nusa Utara, Maxi Sidayang, SE yang menyoal keberserakkan semangat Nusa Utara. “Mengapa kita selalu sulit bersatu,” ujarnya dalam bentuk pertanyaan yang terasa menyayat. Apa yang hilang dari cara-cara hidup kita sebagai orang Nusa Utara?
“Takoae henane amang!” --Ada tapi tidak hidup, tidak bercahaya. Dan memang kalau pun ada, tak lebih sekadar prosesi ritual yang bersifat hura-hura, sarat kepentingan sesaat, ketimbang ibadat kutural bernilai spiritual.
Bahkan terasa ironis ketika kita menemukan manusia yang jauh di belaham bumi Barat seakan lebih menghargai budaya kita ketimbang kita sendiri. Puisi di atas sebagai misal, adalah petikan dari kumpulan Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola), yang direkam penulis Barat W. Aebersold, dalam buku “Sangirese tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1959).
Pada buku Aebersold, Sasahola Laanang Manandu, terdiri dari 88 bait sampiran dan makna dengan kanon puitik yang kuat dan dalam. Lewat syair itu, kita diajak melakukan tamasya historis cultural dari masa migrasi pertama suku bangsa Sangihe oleh klan Humansa Dulange – Tendeng Sehiwu (klan Sangil—Philipina Selatan), hingga ke masa berdirinya kerajaan – kerajaan orang Sangihe yang membentang dari Mindanao hingga Buol, Toli-toli. Pada Sasahola Laanang Manandu tersirat dan tersurat suatu identifikasi entitas cultural, bahkan untold story yang bisa direposisikan sebagai politik identitas.
Barangkali adalah sangat cerdas ketika Sosiolog kelahiran Laghaeng, Siau, Sudirno Kaghoo, S.Sos dengan jenial merumuskan politik indentitas itu dalam satu kata “Tutune”.
Tutune, --tak sekadar kata bermakna pribumi atau kaum bumi putra—sebagaimana kita temui dalam diskursus multicultural. Tutune adalah adagium yang membersit dari liang-liang citra cahaya nilai luhur manusia SaTas. Bila ditilik dari filsafat bahasa, Tutune merupakan alunan indah serat gelombang jati diri. Mengandung emosi dan gagagasan, tujuan dan harapan. Suatu realitas yang membutuhkan pemaknaan.
Pada “Tutune”, kita temukan oase falsafa hidup manusia SaTaS yang dirumuskan Kaghoo, sebagai: Mateleng: manusia yang punya sifat mau mendengar dan patuh. Matelang: Manusia yang dewasa berfikir, dan teguh dalam mengupayakan hidup. Mateling: Manusia yang arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan.
Bahkan pada abstraksi “Tagaroalogi”, John Rahasia, “Tutune” adalah puncak dari filsafat manusia Sangihe yang dicirikan lima unsur utama yakni: Pertama, “Tembo” (Kepala - Wisdom). Kedua, “Seba Kuihi”(Dada Kiri - humanity). Ketiga, “Seba Kuaneng”( Dada Kana - Believe in God). Keempat, “Tiang” (Perut – Power). Kelima “Manu Kadio” (Kelamin – regeneration). Sangat menarik sesungguhnya berselancar dalam gemuruh nilai “Laanang”, dan memetik makna-makna kehidupan di sana.
Setelah terkubur sekian lama, kata “Tutune” itu tiba-tiba muncul cukup kencang dalam dialog-dialog masyarakat SaTaS seiring momentum politik di Kabupaten Sangihe dan Sitaro beberapa waktu lalu. Di tahun politik 2015 (momentum Pilkada Provinsi Sulut dan Kota Manado) kata ini kembali didengung sejumlah kalangan untuk merekat kekuatan bargaining position dan atau barangkali bargaining power SaTaS di kancah momentum “sekedipan” (sengkakonda) mata ini.
Penunggangan pada emosi primordial semacam ini sebenarnya bukan fenomena yang tiba-tiba menjadi sesuatu yang lazim di era abad 21. Hal ini merupakan pilihan jalan di era tanpa jalan, pasca gagalnya filsafat pengetahuan merumuskan jalan “tol” untuk melanggengkan kehidupan paradaban umat manusia.
Pengkristalan kembali, bahkan bangkitnya semangat berciri etnik ini digambarkan secara sempurna oleh John Naisbitt dalam bukunya; “Global Paradox” sebagai fenomena yang akan menderas di aras abad 21. Ia menyebutnya sebagai fenomena tribalisme. Suatu exodus besar kembalinya umat manusia ke nilai entitas kultur masing-masing masyarakat.
            Di sinilah Nietzsche benar. Sang filsuf eksistensialis itu pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia. Inilah pembeda khas manusia dari binatang. Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan kebudayaan-kebudayaannya.
Getirnya, isu kebudayaan dan sejarah hampir menjadi isu marjinal di negeri kita. Padahal proyek modernitas sebuah daerah tak bisa lepas titik tumpuannya pada referensi kultural dan historiografi hidup masyarakatnya. Orang-orang SaTaS masa kini cenderung teralienasi dari sejarah dan kebudayaan lokalnya sendiri. Lantas bagaimana kita menginklinasikan arah pembangunan daerah kepulauan itu tanpa horizon pinjakan sejarah dan budaya yang kokoh. Siapa orang SaTaS? Bagaimana spiritisme hidup orang SaTas? Bagaimana perilaku dan moralitas orang SaTaS? Seperti apa local wisdom-nya? Rentetan pertanyaan di atas semestinya menjadi kegelisahan yang patut mendapatkan jawaban segera sebagai landasan pijak bagi perumusan kebijakan pembangunan daerah itu.
Sejarah dan kebudayaan daerah bagi orang SaTaS masa kini harus menjadi akar yang kokoh dalam pembentukan karakter dan jatidiri menuju teraihnya kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan itu. Kenyataannya, terpuruk menjadi sekadar tradisi memuja makam-makam keramat. Di satu sisi kita mengagung-agungkan nilai-nilai sejarah budaya dan kesenian tradisional sebagai aset kebudayaan daerah yang terwaris dari sejarah panjang kehidupan orang-orang sejak masa lalu. Di lain kenyataan, eksistensi kehidupan kebudayaan daerah sudah layu. Nyaris mati atau tidak terpakai lagi dalam kehidupan masyarakat kita. Kenyataan pahit itu makin didukung pengaruh globalisasi dan sikap generasi masa kini yang makin rapuh menerima arus kebudayaan asing dengan jalan telan mentah.
Sejarah dan kebudayaan daerah yang sebenarnya tempat orang SaTaS dilahirkan, dipelesetkan dalam sinisme mistifikasi tak patut: “kebudayaan daerahku ketinggalan zaman.” Sebuah stigma anakronistik terhadap kebudayaan daerah sendiri. Yang terjadi selanjutnya, kebanyakan orang mulai menelantarkan nilai-nilai luhur sejarah dan budayanya. Di sini, nilai-nilai sejarah dan budaya daerah yang mengedepankan berbagai nuansa filosofis (kebijaksanaan) hidup terabaikan. Sikap yang merendahkan sejarah dan kebudayaan daerah/tradisional tampak sebagai sebuah ironi.
Hal ini tampak dalam ketakacuhan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Sering muncul penilaian miring dalam kemasan komentar sarkastik yang merendahkan kebudayaan daerah. Ketika orang tua menasihati anak-anaknya dengan petuah-petuah leluhur, banyak kali anak-anak menolaknya dan mengatakan kuno, gak gaul, dan out of date. Tradisi-tradisi warisan masa lampau di Nusa Utara hanya dijadikan sebagai sebuah artefak, menjadi pajangan museum untuk sekedar bernostalgia tanpa relevansi dengan kehidupan generasi saat ini. Muncul juga olok-olokkan ”Dunia Timur itu inferior dan irasional. Dunia barat lebih rasional dan superior. Maka, alangkah lebih baik berkiblat ke dunia barat”.
Sebuah kutipan menarik dari gagasan apologetis Levi-Strauss mengedepankan: “kebudayaan tradisional adalah khazanah kebijaksanaan dan patokan etis bagi umat manusia dewasa ini.” Untuk tidak menjadikannya sebuah ironi dan lelucon, tapi bagaimana memulai sikap menghargai, menggali, menemukan, dan manaruh respek yang tinggi terhadap aneka khazanah sejarah dan kebudayaan lokal kita yang terangkum dalam serentetan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di masa lalu, religi, mitos, bahasa, seni, sastra, dan teknik yang berurat akar di jazirah negeri kepulauan ini.
Kembali mereferensi sejarah dan kebudayaan daerah adalah sebuah imperatif-persuasif aktual generasi SaTaS masa kini. Sejarah dan kebudayaan daerah dimaksud melingkupi segala tradisi konstruktif (local wisdom) yang dihayati oleh para pendahulu demi perkembangan kemanusiaan dan kemajuan peradaban, diantaranya: budaya Laut “Sasahara”, budaya Darat “Sasalili, heroisme patriotik dan nasionalisme masa kerajaan-kerajaan hingga ke masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
 Tanpa tradisi, menyitir Rendra, “pergaulan bersama terkacaukan dan kehidupan manusia biadab.” Berakar dalam kebudayaan sendiri bukanlah dimaksud untuk membentengi diri dari benturan budaya Barat yang kian mengglobal, tetapi sebuah upaya penyeimbangan demi sebuah filter bagi kebijaksanaan hidup. Baline Keree ringang? (bukankah begitu kawan?). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar