Jumat, 25 Maret 2016

MENDONGENG BAKENG, ESAI IVERDIXON TINUNGKI



MENDONGENG BAKENG

Oleh : Iverdixon Tinungki

Terkisahlah cerita lama di kabut mega
Selaksana anak taufan menghamburkan pasir
Menerjang mata para raja dan sultan

Sebuah dongeng, sebuah perlawanan! Sebuah daya yang niscaya. Sebuah creativity yang memungkinkan hadirnya entitas aktual. Karena di balik maknanya, --mengacu semiotika de Saussure -- terdapat suatu system yang rumit dan kompleks sebagai pembentuknya.
Maka tersebutlah di suatu masa, Ansuang Bakeng (Raksasa Bakeng) bertahta sebagai penguasa. Raja diraja, di tanah Sangihe. Permaisurinya Boki, perempuan suka pesta, dan hidup mewah. Ketika kisah ini dicipta, anaknya masih kanak-kanak. Diberi nama Watairo. Tapi rakyat hanya boleh menyapanya Batairo.

Entah apa penyebab huruf “W” menjadi “B”. Tak ada penjelasan. Tapi, terasa ada gelagat tersembunyi terbebat. Semacam kombinasi antara konsep dan citra bunyi yang melahirkan tanda (sign) sebagai penanda (signifie). Seperti guru dipanggil “tuang guru” (tuan guru), pejabat disebut “tuang labo” (tuan besar), pejabat tinggi, penguasa dan ninggrat disebut “manga mawu” (para tuhan). Dan ironis, kaum jelata disebut “manga dempuge” (para rumput), lebih leceh lagi, “manga nune” (para tak beradab).
Generasi kini barangkali menyangka, perubahan kata itu sekadar symbol perangai kekuasaan lama. Kekuasaan yang mendudukkan rakyat sebagai pihak yang selalu keliru dan salah. Bodoh dan tak berdaya. Sampai-sampai di mulut pun tak boleh ada kata terlafal benar. Rakyat dilarang berfikir dengan bahasa, dan kata-kata harus lumpuh sejak awal. Seperti gelagat polisi menghardik tersangka: “Diam! Kau berani melawan petugas!”. Tersangka, yang keliru dan yang tidak keliru sama-sama terpaksa bungkam. Terpuruk dalam “kebudayaan bisu”, sitir Freire.
Gelagat semacam itu memang tak semata tabiat masa lalu. Penguasa kini tak lebih sama. Kendati demokrasi yang menetas sejak zaman negara kota athena telah diasup nyaris seluruh negara, sebagai perekat kepelbagaian perbedaan. Sebagai anima pemecah kebuntuan musyawarah-mufakat.
Tapi musim semi penindasan belum juga surut. Kebenaran bukan milik rakyat. Kebenaran seakan hanya boleh tumbuh di lengan kekar kekuasaan.
Dongeng pun berlanjut; bila ayah ibunya gemar meminum darah manusia, dan mencabik daging-dagingnya dalam lauk jamuan pesta, Watairo justru menyukai bunga Karaluga (Laka), buat memerahkan kukunya. Ia ingin punya kuku seindah kuku harimau atau singa. Jauh di lubuk hati sikecil, bibit penindasan ternyata berkecambah. Singkatnya, Bakeng dan keluarganya adalah karakter antagonis, gambaran penguasa yang keji dan barbar.
Lantas siapa protagonisnya? Pangaia, Panggelawang, dua lelaki, beserta adik perempuan bungsu mereka, Kuko Polo Masidada (Gadis Kesayangan Cantik Jelita). Tiga bersaudara ini, yatim piatu. Tinggal di gubuk, di pesisir pulau. Berprofesi nelayan. Ayah ibu mereka sudah lama menghilang entah ke mana. Ketika itu, tiga bersaudara ini masih kanak-kanak, belum tahu apa-apa. Setelah dewasa, baru didapatkan kabar, ayah dan ibu mereka telah menjadi bagian dari santapan pesta kerajaan. Mereka marah, terhina, dan kehilangan. Tapi menghadapi penguasa dan kekuasaannya bagaimana caranya?
Pencipta dongeng ini, tentu membutuhkan tragika lebih dalam, untuk mematik konflik dan amarah. Untuk mengubah alur ketakutan menjadi keberanian. Untuk mengasah ketakberdayaan menjadi perlawanan. Untuk menempa apriori apatis menjadi tindak heroik patriotik. Untuk membebaskan perbudakan nilai kemanusia menjadi kemerdekaan yang manusiawi. Sebab tanpa alur itu, dongeng ini tak lebih sebuah kisah biasa. Tanpa epilog yang sublim dan megah. Tanpa pesan yang memiliki darah dan arah yang berharga. Inilah yang dimaksudkan Hegel dalam The Phenomenology of Mind, dimana hanya dengan mengambil resiko hiduplah, kebebasan dapat dicapai. Seseorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya, tidak akan mencapai hakekat kesadaran diri yang mandiri.
Menyadari manusia adalah subyek yang terkonstruksi secara sosial dan historis, maka terbetiklah gagasan pentingnya nilai manusia dan kemanusiaan. Sebab, tak boleh selamanya manusia menjadi budak kehidupan. Budak kehidupan adalah suatu keadaan masyarakat yang tenggelam dalam bisu dan ketakutan. Mitos yang ditiupkan kaum penindas harus diruntuhkan. Pendongeng tak kenan seperti apa yang dipersaksikan Kahlil Gibran, dimana betapa buasnya sesungguhnya perbudakan kehidupan mengisi hari-hari manusia dengan kesengsaraan dan kesukaran, dengan air mata dan kesedihan mendalam.
Dongeng ini pun bergerak ke arah elegi. “Raja Bakeng memerintahkan penangkapan Kuko Polo Masidada, untuk dijadikan bagian santapan pesta kerajaan”. Di sini, penindasan digambarkan bergerak di atas semua keagungan dan prosesi megah dari kebodohan kekuasaan. Sama seperti praktik kriminalisasi yang berlangsung di negeri kita. Lembaga tempat keadilan ditempa, saling menyerang dan membungkam. Lalu apa dapat ditimba dari gelagat kekuasaan semacam ini? Seorang nenek miskin mencuri ubi buat mengganjal perutnya yang lapar mendapat ganjaran hukuman lebih berat dibanding kuruptor yang menggasak miliaran rupiah uang rakyat.
Bila lagi meminjam matafora penyair lembah Cedar Libanon, Kahlil Gibran, maka perbudakan kehidupan tampak mencekik jiwa dan hati, menganggap manusia adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh, (The Treasured Writings of Kahlil Gibran, Castle Books).
Sungguh dua luka peristiwa telah mengangah dalam kisah ini, menyulut dua semangat kembar perlawanan. Pangaia, Panggelawang pun melawan. Tak ada lebih penting dari upaya membebaskan adiknya (nilai kemanusiaa) dari terkaman tirani kekuasaan. Tapi lagi-lagi terbersit pertanyaan; bagaimana caranya melawan?
Ketika Paulo Freire lahir pada tahun 1921 di Recife, Brazil, pusat salah satu daerah paling miskin dan terkebelakang di dunia ketiga, “Dongeng Bakeng” ini sudah berumur kurang lebih 300 tahun sejak dicipta. Bahkan sudah lebih dulu tampil sebagai model kesadaran kaum bawah mengkritisi perangai kekuasaan raja-raja di tanah Sangihe.
Paulo Freire, disebut pendekar kaum tertindas karena ia yang menemukan jawaban yang mewakili buah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya yang diungkapkannya pertama kali di Universitas Recife tahun 1959 dalam disertasi doktornya. Kemudian dituangkannya dalam buku “Pedagogy of the Oppressed” (Pendidikan Kaum Tertindas) yang terbit di Amerika Serikat di atas tahun 1967.
Metode pengajaran Freire itu menginspirasikan banyak bangsa Asia Afrika untuk mengadopsinya sebagai metode pengajaran untuk rakyatnya yang terkebelakang --termasuk diadopsi negara benua Amerika Serikat yang menyadari kondisi masyarakatnya yang terpuruk oleh dampak lecutan perkembangan tekhnologi yang membuat masyarakatnya tenggelam dalam kubang “budaya bisu” yang dalam.
Sementara Dongeng Bakeng dengan pesan sarkastiknya, bila diresepsi dengan pendekatan sosiologi sastra, dapat diperkirakan lebih dulu menghantam kekuasan raja-raja Sangihe era abad ke 16 yang disimbolkan sebagai raksasa dengan segala tiraninya.
Dongeng ini tak jelas siapa penciptanya. Yang pasti ia datang dari kesadaran kaum bawah. Kaum yang sama dirasakan Freire sebagai bagian dari “kaum rombeng dari bumi”. Karena memang kecil sekali kemungkinan kesadaran menemukan diri, semacam ini lahir dari kalangan atas, kalangan mapan, meskipun mereka adalah kaum cerdas. Sebab, orang cerdas yang miskin, jauh lebih peka terhadap keadaan disekitarnya dibanding orang cerdas yang kaya, begitu simpul Knut Hamsun, sang pengarang Norwegia yang masyur.
Pendongeng pun melanjutkan kisahnya; Pangaia, Panggelawang membuat jembatan jebakan di atas jurang yang dalam. Saat pesta tiba, mereka menyamar sebagai pelayan. Setelah membebaskan adiknya, mereka menyembeli Watairo sebagai korban pengganti menu jamuan makan. Pesta berlangsung, dan kekacauan tak terelakkan. Pangaia - Panggelawang diam-diam pergi ke ujung jembatan jebakan, merayakan kemenangan pertama yang diraihnya, sambil menanti kemenangan berikutnya. Tapi apakah itu bermakna sebuah kemenangan? Penindasan lama runtuh di atas kelahiran penindasan baru! Gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa! Begitu ketika kata, dilucuti dari maknanya. Semuanya menjadi semena-mena. Yang terdengar hanya gemerincing perang, dan bau darah dengan segala makna anyirnya.
Dengan logika apapun kenyataan di atas bukan suatu kemenangan! Tapi pelestarian selamanya rantai penindasan. Kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita mampu bangkit menuju pada titik yang setara. Bukan sebagai obyek penindasan, dan bukan pula sebagai subyek penindas. Pada kesetaraan itu, baru penindasan disebut selesai. Dan kemenangan sesungguhnya dapat diraih. Ini yang ditawarkan Freire dalam metode pendidikan kaum tertindas yang harus berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika.
Tapi pada kisah ini, pendongen ingin akhir yang lain. Raja Bakeng diceritakan mengenali kuku anaknya di atas pinggannya sendiri. Warna bunga Karaluga yang indah. Siapa lagi, kalau bukan kuku milik anaknya. Ia marah, terhina, dan kehilangan. Bersama istrinya, dikerjarlah si dua bersaudara. Tapi di jembatan jebakan, mereka terperosok, lalu terbuncang di dasar jurang. Maka punahlah sang raksasa dan keluarganya dalam babak paling memilukan.
Sebagaimana esensi satra adalah memuliakan sekaligus mengkritisi kehidupan, dongeng Raksasa Bakeng di atas, di satu sisi meresepsikan kita suatu pemahaman atas kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut. Tetapi di sisi lain, perlawan berlangsung secara radikal, dengan mengabai kesadaran (conscientization) kesetaraan, sehingga baik penindas dan yang tertindas berakhir dalam suatu situasi yang suram.
Disitulah letak menariknya dongeng ini. Dan dalam sejarah tanah Sangihe, tidak sedikit –untuk menghindar menyebut cantoh kongkrit-- raja yang tumbang dalam suatu perlawanan berdarah. Pada generasi kepemimpinan berikutnya, Raja Dalero yang berkuasa di Tabukan 1892-1898 membuka ruang dialogia antara rakyat dan raja. Membuka ruang kritik oleh rakyat untuk dirinya dalam symbol tari Alabadiri yang diciptakannya. Dan tarian ini menjadi dasar dan inspirasi bagi penghapusan aturan perbudakan di Tabukan sejak itu.
Dongeng Bakeng sangat popular di Sangihe. Dituturkan turun temurun dalam tradisi beke atau mebio (bercerita), juga dalam Kakumbaede (jenis syair sastra sasambo).
Di akhir dongeng, pendongeng memasukkan kisah gunung “Awu”, konon tercipta dari magma amarah Bakeng dan Boki istrinya. Tumbuh dari dasar jurang tempat mereka terbuncang. Dan terus melancarkan dendam amarahnya dalam letusan-letusan. Setelah sempat memecahkan lempengan pulau jadi pulau-pulau kecil pada letusan sebelumnya, di tahun 1892, letusannya melululantakkan wilayah Kerajaan Tabukan, Tahuna, dan Kendar dengan korban jiwa 2000 orang. Sungguh suatu kisah yang muram dari rana kekuasaan, dan dendam! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar