Jumat, 25 Maret 2016

PUISI ROMANTIK IVERDIXON TINUNGKI



CATATAN MUSIM

hari itu musim yang luar biasa
kau mentraktirku kopi Afrika
di café bernama Cabana

di luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan gemanya yang merana


perahu nelayan
dan burung layanglayang
meneguk duka

sebilah puisiku masih terluka

seorang pemetik gitar
mengonserkan lagunya;
Killing Me Softly

--entah kepada siapa ia berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum tumbuh dan bernyawa

tapi kubaca matamu
bagai etalase esok dipenuhi musim semi

sejumput rumput bisa seindah melati

aku pun ingat fotomu saat di Eropa
ada yang menggerah di tepi dada

jejak buram sepi sebuah jalan
tak bisa kulalui
kecuali kususun rapih
--kendati barangkali kisah ini bakal dilalap api

lalu perlahan kau bernyanyi
dengan petikan musikmu sendiri

lagu itu tertelan sebagai ampas pahit
dari gelas bakal kukenang
bakal kubawa pulang
--sebagai kopi dan maut yang menagih

Sebab, aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui biografi rambutmu
dan kecemasan
gegas menusuk setajam panah

aku bakal mati di rambutmu karena;
“begitu cantiknya kau”

sungguh aku luput menyimak
betapa puitisnya sayap Balam

ia menyempurnakan kitab senja
harusnya kukecupkan jelang pulang


MEMORABILIA

hari itu
hari di mana hujan berderai
sekawanan sapi mendengus di hutan pinus
dan tawamu terhunus

aku menyiapkan dadaku
seandainya kauingin menusukku

aku baru meletakkan sepeta dingin
dari sekian banyak jalan tertutup semacam silybum  
dan engkau menatapku dengan aroma dengking
persis ke mataku

aku tertangkap dan remuk!

karena aku memang bukan sosok zillionaire
aku tak bisa jadi sebungkus dongeng untukmu

tapi hari itu
hari di mana hujan berderai
aku datang padamu

aku ingin melihat matamu
biar ia melucuti semua puisiku
menjadi semacam ringkik kuda
dengan penunggang yang tak berzirah

kau tak berkatakata
hanya tersenyum
dan udara dingin kian merana

aku duduk di teras
dekat sebatang pinus muda yang gagah saat basah
ringkik kuda dan dengusan sapi
terasa bola api yang tibatiba membakar

kelenjarku dikerubuti sekaligus dingin dan panas
dan masa lalu
seolaholah semuanya gegas menetas

bau geranium yang harum
dan rambutmu yang terasa mencibir itu
tibatiba menjelma bukit
mejambakku ke tengah gema risau yang bertalu

aku seperti sepotong sepi yang terperangkap
di tengah tanah tinggi yang tandus

burungburung beterbangan tampak bagai batu
ke sana kemari mengancamku

kau akhirnya menyentuh pundakku
dengan tangan yang masih dulu
tapi musim itu begitu bisu di keningmu

hari itu
hari di mana hujan berderai
aku pulang tanpa sepotong sorak sorai


BUNGA BIRU ATAS NAMAMU

sebutlah ini petualangan menanti malam kembali
pada sebuah pena yang tergilagila
merangkum getaran kalbu 
dari bunga biru atas namamu

atas nama itu akhirnya yang jelita sebuah kehilangan
bersumpah akan hidup setelah lahir
sebagai jalan terbaik dari luka usia

atas nama itu luka usia dirasuki cahayacahaya
bertaburan oleh jerit kesakitan yang ditebuskan

yang tak terbanding bahkan oleh pukau danau
atau jejeran pohonpohon puitis kegemaranku

sebutlah aku akan membusuk
di sebuah batang melangkoli
tempat sang nafas kucintai berpendar
dan mengintai dengan kecupan paling bisa

karena aku hanya meminta menatap
bagaimana legenda ini akan mati
sebagai harga yang lunas

sebagai mata yang tuntas menanggalkan gaun
di setiap lekuk percikan api
pinsaupisau yang mendekap dengan mesranya yang tajam

dan senyumanmu menusuk kian dalam
ke dalam lukalukaku yang terhina oleh saman


DI TIKUNG MERAH

keterpukauan apalagi
kau tegukan ke angin
sudahlah!
telah kutelan semua katakata paling maut

kita adalah cerita getir
berkembang biak di mulut kegelapan
gemercik adalah
sungai busuk mengalir dari mata
sebagai anak kandung keburukan dunia

aku menyerah!

bendera putih dari ludah paling durhaka
berkibar tanpa pesona
dulu kita bertualang di dunia yang tiada
dan cermin tak memperlihatkan muka

entah siapa kita?

sebagai catatan
rayuan dihuni bisikan tanpa huruf
di lembar itu dunia telah hangus
sudahlah…

bahaya apalagi yang ingin kau susupkan
liang tembikar ini sebegitu tua
sebentar pecah
bahkan pecah ketika tanpa sebab

tidak ada lagi yang ingin kucintai
apakah ini omong kosongku
aku telah piatu diakhir kisah cinta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar