Kamis, 31 Maret 2016

PUISI SEJARAH DAN KEPAHLAWANAN IVERDIXON TINUNGKI



TUGU

Karya : Iverdixon Tinungki

tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru
angin  menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut


begitu getir kudekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata
semua  meruyup kisah gelisah
ke dalam asap  meratapi nyanyian hati
aku mengambang tanpa temali
di atas laut yang dulu membawa kita kenduri

orangorang kehilangan kekasih
mengisaki hujan dengan segala kegemetarannya
menyelinapkan darah mereka ke tubuhtubuh sepi
seorang bayi, ibu, saudari, bapak, dan masih banyak lagi
tak bisa disebut lagi, dimaknai lagi
--karena mati tak akan membawa  mereka kembali--

begitu saja tumpah ke atas tugu ini
bah peperangan, nyawanyawa cahaya
lingsir ke dalam cadar kabut
gugup menyelesaikan erang dan riang yang remuk
pada detikdetik tanpa cuaca

doadoaku pecah dalam raung
tibatiba menderam bersama ngilu kemboja
kehilangan seluruh pucuknya
ketika bungabunga bergelantungan begitu sanwa, begitu merah
di tengah udara seakanakan melepas seluruh nyawanya

dan kita membuatnya hidup kembali
pada analogi tiang, kotak dengan bola bumi yang miring
dalam berpasang mata tak mampu menangkup 
kisah lampau itu ke dalam kini lebih maut lagi


BIOGRAFI TANAH MOYANG

Karya: Iverdixon Tinungki

di tanah air subur inilah kita menyambung
garisgaris peta manusia dan kebaikannya
memaknai waktu dan saman
bangkit kembali menegak merayakan hidup
karena antara masa lalu, masa kini, masa depan
ada garis elok mesti ditaut
jadi kekuatan bersatu bangkit melangkah

dalam imaji nyiur melambai memanggil
kita akan menyusuri apa yang kita miliki
tanahtanah ke atasnya seakan
seluruh keringat bisa tumbuh

dan para pendahulu mewariskan negara
mereka bangun dengan jerih lelah dan darah

lalu, di atas masa kini yang ramai ini
ada mesti kita benah dalam kisah menjaga tanah air
kian lama kian rentah, kian luka, kian terjarah
oleh nafsu kita yang alpa

bukankah kita hidup untuk menghidupkan yang lainnya
di masa inilah seseorang akan melarung perahunya
para petani pergi ke ladang dan sawahnya
menanam memanen
semua harapan terkurnia dalam alam

kotakota akan tumbuh merajut kisah niaga yang maju
dalam semangat rakyat bersatu
meraih damai disetiap tetes peluh

lalu, kita melangkah ke masa depan
dalam hutan terjaga hijaunya
dalam laut terawat nyawanya
karena kita mencintai tanah air ini
dalam hidup atau mati

bungabunga akan keluar
menghamburkan wangi ke garisgaris masa
burungburung serentak
beterbangan mengikuti garuda
mengabar kegembiraan dalam satu kata
kata merdeka lebih nyata

di tanah air inilah akan kita raih masa depan itu
laksana burungburung hidup
mendapati  rumahnya kembali
membawa kita terbang
ke citacita lebih tinggi

saatnya kita tuliskan dongengdongeng kita sendiri
tentang masa depan yang tahu
dimana letak pagi lebih bercahaya
kita semua akan memandang
bendera dikibar deru angin
di tiangtiang kapal, di tiangtiang masa
dalam kisah rayanya Indonesia
terus tumbuh di liang hati

GUA JEPANG

Karya: Iverdixon Tinungki

pada batubatu kapur beku
riwayat peperangan masih utuh
bayangbayang kempetai
kepalakepala menggelinding
ibuku dulu menyanyikan hinomaru dengan pedih

ia mencucurkan air mata
betapa dalam laras kebencian tertikam ke dadanya

di sini aku memasuki luka sejarah
betapa mahalnya harga masa lalu
dalam kini yang samar dikenang

bonggol kayu, bau para opsir
kembali mengoyak dadaku
ketika orangorang baik tak sempat menjerit
menjalani maut di ujungujung pedang pancung

para shogun mengikat kepalanya dengan pita matahari
tak mampu membayar nestapa ini meski dengan sepuku


DONGENG PEPERANGAN
Karya: Iverdixon Tinungki
dalam 1656   jam
tahuntahun merangkai buku
sebuah biografi  katakata
 tumbuh dari satu kata

dengan kata itu kita menulis asap dan nyawa
mengenang debu dan kehilangan
menyambung garisgaris peta dan kebaikan
memaknai waktu dan saman
untuk bangkit kembali tegak

siapa mereka bila ada tanya
siapa kita bila ada langkah
karena hidup bukan bergerylia sepanjang umur
bukan melata oleh perasaan terhina dan terkutuk

antara raffles dan dekker
ada garis elok   dan sisi kumal
adipati pengabdi dan pangeran pemberontak
candicandi  abadi dan ladangladang cemas
tangga ke surga dan laut yang luka

perantauperantau 
tak menemukan rumah di tanah lain
semua mau kembali ke tanah lahir
ke imaji nyiur melambai memanggil

pukul sepuluh di sebuah desa
ditemukan dirinya dalam bentuk segenggam padi
seonggok laut sobek bagai kain
menanti bintangbintang yang teguh mencahayai
bangkaibangkai pesisir remuk ini

di jam itulah ia melarung perahunya
saat bungabunga hutan keluar dari kerudungnya
menghamburkan wangi ke garisgaris masa
burungburung serentak beterbangan
dalam satu kata. satu kata itu saja!

semua mendengar dan menyaksikan
keilahian alam dikata itu
sontak  dari benak  ibu bumi yang diam
menumbuhkan padi 
mayangmayang
kian  sarat  oleh  bijibiji bernas dan pekerti

di sini burungburung hidup mendapati  rumahnya kembali
saat hujan mengalungkan air matanya 
ke  serambi diramaikan  gelak anakanak
tanjungtanjung menjorokkan tubuhnya memeluk bandar
terus menanti yang masih ingin pulang ke sini

kereta pertama bergerak diwaktu usang
telah didaur jadi paku  dalam kenduri relrel  dari masa lalu
ketika tiba di stasiun
orangorang telah menyetel jam ke 1656
waktunya kita kembali ke rumah sendiri

kanakkanak  menunggu   dengan tangan gemetar
menggenggam sebilah keris
entah mau ditikan ke dada siapa

jangan biarkan waktu tercecar ke tanah
yang begitu lama kehilangan makna

sebagai sebuah rumah
dongengdongeng pun lahir di sini
di tangan ibu yang mencuci bercak darah tuban pecah
di bukubuku bacaan ayah
mencari letak pagi lebih bercahaya
dikeriuhan anakanak nakal  membakar kepatuhannya

tibatiba semua tinta ingin menulis tak lagi satu  kata
kata  yang dahulu jadi pedoman

mereka lupa sejarah bergerak ini
tak saja oleh orang terpelajar
orangorang kecil  pun ikut memutar tuasnya

ada mencari karno
ada mencari hatta
tan malaka dan rumahrumah bencana
tapi ditemukannya potretnya sendiri, munafik

sebilah bayonet  dan sangkur terhunus
siapsiap membela timur barat dalam tafsir yang kabur
chairil yang aku itu telah letih dan gugur

satu kata yang luhur  hilang di stasiun kereta api  manggarai
ketika musuhmusuh sejati sesungguhnya diri sendiri

selamat pagi kawan
selamat malam tuan
apa yang kalian ingin tinggalkan dalam gestapu September
menghidukan pesing di bukubuku sejarah
dengan potonganpotongan bianglala tak berwarna

dimana tukul yang ingin pulang ke kata merdeka
sajaksajak sederhananya masygul dalam nisan tak bernama
barangkali ia sedang merayakan mati yang maut itu
ketika sebuah orde menggebuk dalam mimpi paling buruk

maka ada saman
penyairpenyair berkutat dengan air mata
sepanjang hayatnya
seakan air mata bahasa satusatunya
dengan kemuraman dilukis sedemikian detilnya

kotakota pun menyerbu
menggulung dusundusun
tanahtanahnya ditanami racun

kotakota melucuti tradisi
dan kampungkampung jadi wujud yang mati

aku di sini di jam ke 1656
memandang bendera dikibar deru angin
di tiangtiang kapal membawa pergi
harga diri kita ke benuabenua lain



MANADO

Karya : Iverdixon Tinungki

ketika Simao d’Abreu di tahun 1523 menjumpai sebuah kota
moyang kita telah menetas pulau ke atas  punggung burungburung

ribuan tahun sayapsayapnya
menerbangkan kesunyiannya
ke didih gelombang, ke ribaan saman
di sejengkal laut  mitos naga

sejak itu perahuperahu tiba dalam bau kopi, kisah sutera
juga Sharif Makdon lelaki bersorban menabur kalam
ke atas petapeta pelayaran
adzan menggema dengan takbirtakbir indah
ke tubuhtubuh sejarah setiap incinya teralas sejadah

dari barat Pedro Alfonso mengirim tiga kapal layar
mensitir mata lahar sejarah itu, menampilkan sinar baru
di atas pucukpucuk ilalang, bungabunga rempah
mekar sepanjang musim mengharumi lembah, laut
dan mantramantra abad dengan segala epiknya

binatangbinatang kecil berupa shishi dari kisah purba
membentuk  ayunan di lapislapis angin
dalam jalur pelayaran kian ramai
kian kemari, kian ke sini, ke pesisir
ke hutanhutan dipenuhi lebah madu
getah pepohon yang diburu pada pelayaran
pada pertempuran

kapalkapal asing, pedagang cina
hingga Peter Diego de Magelhaes mencelupkan jejari
ke kali jengki memurnikan kepala rajaraja dengan  air suci
dari kisah pasang surut musimmusim
yang  juga tibatiba menyulut api peperangan

api tumpah ke dalam kota
ke dalam guciguci sejarah yang pecah
ketika graafland menulis parasparas murung
dilegenda burungburung hutan keramat
orangorang sangir jadi penduduk pertama
para Walian dan misionari
mentengkarkan panenan gagal dalam murka dewa
hingga terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda
di kitab tua injil yang terengah
menabur biji sesawi ke kedalaman hati manusia

air  mata jatuh dari langit ke atapatap kisah itu
meresidu keperkasaan pedang sakti Danangbala
perkasa merakit perang demi perang
untuk sesuatu yang samar di matanya
dahulu, kini, dan selamanya
kemulian tumbuh di anyir darah

sebuah benteng spanyol berdiri di pesisir kota
dibangun dari kayukayu balok
jadi sengketa Spanyol – Belanda
di tubir laut Sulawesi, diperlintasan
benderabendera kerajaan se nusantara

dengan dua kapal perang Molucco dan Diamant
meruntuhkan Spanyol di tahun 1661
De Nederlandsche Vastigheit jatuh
Ford Amsterdam tumbuh di bawah kisah yang juga runtuh

kini tumbuh lagi kisah baru, bentengbenteng lebih kukuh
mengisi seksi boulevard dengan menaramenara asing
tak kita kenal, bersama legenda penyamunan yang dilegal

sebagaimana sejarahnya kota ini pernah diserang gerombolan kera
seperti VOC menguasainya dalam ratusan tahun yang kalah
ternyata dibutuhkan epik lebih perkasa di ujung sebuah pena
sebab dalam kata merdeka pun penjajah punya beribu wajah

 



PANTAI MANADO 2014

Karya : Iverdixon Tinungki

tiangtiang gelagar kayu ting
bau jaringjaring kering
batubatu kian kemari
membantai tradisi pantai

di sana, di laut
pukatpukat harimau menebar maut
benih benih ikan, benihbenih kegembiraan diledakan

apalagi dapat aku larung
soma dampar sudah usai berhitung dengan burungburung

tak ada lagi musim pasang belo
subuh sembab, senyap oleh lendir, oleh maut

teriakan; hela haluang kamudi
derap kaki para penarik lasau
ramai pesta bau bakaran ikan di tubuh subuh
lesap kedalam makam bebatu
abad sudah 21

di tahuntahun 1980-an
masanaimasanai menyesap semua kesedihan sejarah pasir
tandusang hilang, kana padam diabadi kegelapan

pesta volka katrili polines yang anggun
nelayannelayan mengenakan kemeja lengan panjang
dasi hitam, rambut pipih ke kulit kepala tak lagi mengangguk
perempuanperempuan dengan taklim disuguhkan  peradaban

saman aneh telah tiba berbagi mabuk dansadansi

cekung teluk, jalan boulevard
borjuisborjuis hidup bagai kelelawar
memamah habis pagi tak berdenyar



MORAYA*)

Karya: Iverdixon Tinungki
aku tak mencari  Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung

lengking suara manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya

ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usiaku, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya

ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasarku;

--minahasa sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara--

tiangtiang palisade terpancang di sekeliling
batangbatang sagu, kisahkisah hantu danau
dalam bayangan parit, amis
bau tubuh hangus
hanyut menembus abad
pucukpucuk mimpiku tertanak

mereka belum mati dalam 204 tahun pertempuran
benteng sesungguhnya masih kukuh
disiangi  sawahsawah rawa Minawanua
dimana unggasunggas mengawinkan padi
dengan nyawa yang gugur
pada sebuah pagi dan malam buta
kembali ditetasnya
ke dalam dada para leluhurnya

di atas kawah danau, air hidup mengairi sawahsawah
mengaliri  jiwaku, memerciki peristiwa,
merayapi sebongkah luka
ketika menimang  sebutir padi dalam legenda moyang
perang anti kolonial itu tak sekadar perebutan ladang
tapi letupan  harga diri melawan

portugis, spanyol , belanda, juga abadabad lebih tua
UkungUkung mengirim pedang tumbak terhunus
menggemetari lembarlembar sejarah  menderasi arasaras
dimana kebebasan tak mungkin tunduk pada ajal, pada senapan
kebebasan terus menegak meski tubuhnya tersungkur dalam lumpur
luka dan nanah

aku membaca sejarah kau samak itu
ketika angsaangsa menumpahkan semua kenangan, keluhnya
ke wajah danau dengan arakarakkan menjalarkan gaduh;

residen Marinus Balfour pada Juli 1809 mengutus Lodewijk Weintre 
bersamanya  beratusratus serdadu Belanda Ternate
beratusratus perahu, rakit, korakora
bersenjata lengkap. mengepung!
Minawanua sebenarnya tak bisa mereka rengkuh

di sana walakwalak setia berpegang sumpah
terjaga, serupa suara manguni mengabar makam
hanya tempat perebahan jasat
sedang sebuah nama abadi di matanya

gempuran meriam  berdentum menggema
di subuh Agustus  terpiuh itu

 “I yayat un santi!”

seru waraney dalam derap serdadu Minahasa
juga suara perempuan di gelombang tak pernah diam
meriaki danau, menggetari rawa, seakan semua nyawa menyeru;

“Rumungku’ se Maesa!”

peperangan danau menggertak,
 miris tak memandang siapa
sesekali serangan berani mati pun tumpah 
mengejutkan arwaharwah berduka
 Weintre tersengat. menderita

dengan panas hati dan seluruh kebencian
Weintre mengobar serangan lagi
di malam 5 Agustus 1809
ketika penampangpenampang daun
baru mulai menampung embun

1400 pasukan melawan 4 perahu perang
menenggelamkan Moraya
dalam kobaran api dan anyir darah
pekik suara berdesing
di hembusan nafas terakhir para pemberani
memilih mati demi sesuatu yang diyakini indah
ruyup di embun dini hari

ada yang memasuki hutanhutan
suara tangisan anak, ratapan ibu
mengoyak  air mata ke atas danau,
tak saja oleh musuh, tapi juga khianat
menyayat luka ke rahimrahim perempuan
terjarah dengan seluruh kisah kekayaan alamnya

 foso ya foso
mengangkat sumpah
Ukung Lonto
tak pernah menyerah

laskar menguasai medan rawa penuh jebakanjebakan
hantuhantu danau dari pohon sagu dalam bentuk manusia,
dibungkus  lumut dan tanaman melata
pada malam hari perisai ini dibiarkan mengambang di permukaan air
menyiutkan hati  musuh mau mengoyak  Moraya
kini dan di abad belum tiba

serupa Prediger  yang terluka kepalanya
di atas tanah nenek moyang
dalam sejarahnya yang tak bersalah

di ujung peperangan
Weintre menulis laporannya;  --temanku Balfour
Tondano telah mengalami nasib naasnya di tengah malam tadi
seluruhnya menjadi lautan api
tidak ada sisa lagi
mereka tidak sempat menyingkir 
yang selamat dari amukan api
akan kami dihabisi--

debudebu beterbangan ke atas surat itu
menyuburkan hutanhutan
di semua seluk barisan gunung
mewariskan jejak gerilya
ke ujung langkah
menyeretku ke altar

 “luminga ko’oko”

seekor manguni bertubuh
dalam nafasku
merangkai moraya lebih utuh


PENIUP HARMONIKA

Karya : Iverdixon Tinungki

para peniup harmonika malang
penjantanpenjantan blues yang kebingungan
kerbau tua di landang mati
burungburung pematuk kutu telah pergi

semua ke gunung mencari rumah Tuhan

Leo yang zuhud tamat di sebuah rel
tak sempat naik ke  gerbonggerbong
melaju meninggalkannya

peron menjadi makam, toltol menjadi dendam
buah beri membusuk di sebuah dusun
harusnya kelak dilihatnya
saat salju mencair,
darah menemukan titik didihnya

semua penyair sesungguhnya pungguk
tanpa kerinduan apa dapat kita muliakan
dari chairil, tarji, dan widji

begitulah bang…
jakarta tak melihat apaapa
ketika kabutkabut ingin kuledakkan itu
membebat  kesadaran
bahwa tanahtanah Tuhan adalah tempat di mana
seorang bayi kelaparan.
ayah ibunya hanya punya tangan buat bertahan
dari sergapansergapan  ilusi palsu sebuah kebijakan

sebelum menembakan batok kepalanya
setidaknya hemingway pernah berperang dibeberapa medan
tapi barat tetap saja ladang mati yang subur
memeluk penyairpenyairnya tersungkur

aku tak ingin harmonika bila siulan telah cukup
melindungi diri dari tentakel kemiskinan mengintai itu
blues apalagi bila laut lebih ritmik

aku telah tua dengan improvisasi membijaksanai badai
saat melintas dari satu pulau ke pulau lain

pungguk di sini adalah pungguk lihai
lebih taktis dibanding garuda
terperangkap kerangkengkerangkeng mimpi

di sebuah desa kami
seorang anak berjuang menggambar sepatu
buat dikenakannya ke sekolah
tak saja itu, mereka harus mendayung perahu
melintasi gelombang
buat melihat dunia di sebuah buku sejarah
berisi catatan matinya

apache hanya indah dalam sebuah film
begitu aku manangisi semuanya
ketika blues, harmonika,
pelanapelana para koboi
memberi mereka mati lebih merah
dari warna tubuhnya sendiri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar