Jumat, 27 September 2013

45 (Puisi Iverdixon Tinungki)



--dari sebuah pasar—

serbuk terakhir menguar dari deretan pohon akasia itu
jatuh di tapal batas terjauh, ufukufuk baru sebuah subuh
membangkitkan  lagi magma liar lelaki, menapis fitrah diri
lama terbaring di bawah reruntuhan abad
menjelma pasar ini

sejak dulu sebuah pagar melingkar tanah beberapa depa
jadi ruang buntu bagi makrifat tumbuh
angkasa pecah kembar dalam imaji banal ke banal

atas nama sejarah pelacur menjinakkan malam
masih tersisa dalam pesta para pemabuk
menyulap area sebuah taman seakan tepi sebuah saman
dengan wajahwajah tirusnya yang gamang


lumrah. selalu ada orang datang
dari berbagai  udik dan arus  
menakik hidup di sebuah pasar juga stasiun

dengan beringas mereka menyerbu, menyetubihi kotakota
bagai bayang orangorang merdeka, membangun tendatenda
mendagangi tubuh ibu yang telah membuat mereka manusia

lelaki itu marah. tapi siapa ia?
lolongnya menyemburkan aroma darah

semua berlari ke arah  berbeda
hanyut tergulung residu lahar saman
alpa menulis angka di titik nol kota
tapi bermimpi maju tanpa sebuah peta

malam berhujan dengan beribu cahaya kunangkunang
menyeduh semua yang patut dikenang di jazirah laut
dipenuhi gemuruh mimpi dan angan

lihatlah: ia tak benarbenar tenggelam. Blengko ya Blengko
lelaki  memasang bulu manguni di kepala. itu ia!
menempah darah dan besi ke udara. peperangan belum berakhir
di ujung belatinya

gesit ia menikam tubuh bayangbayang  tak  bermakna
membuangnya ke selokan. pelacurpelacur mengeluelukan
darah hangat di sekujur tubuhnya
terpesona kewibawaan tersisa

kekasihnya meludahi halhal mewah
yang berbuah anak haram jadah

“aku lahir dalam kisah moyang
di sini berabad melawan perompak
kendati harapan tak membawa ke manamana
aku tak meratap, tak menyalahi siapasiapa
terus berjagajaga. tujuan bersama jangan sampai terhina”

gurunya peto syarif, malin basa
benteng tak harus dari baja
dengan tanah ia bisa membuat rumah

begitu ia tiba
udara gemeretak di gigi malam
takjub pada jubah juga getaran nafasnya
tancitanci  kebal ada di muka
anakanak pesamudera  telah tiba
anoaanoa usai mengasah taringnya

--semua butuh roman agung dari cahaya matanya
lelaki yang membukakan pintupintu amarah--

ternyata orangorang hanya merangkak menyelusupi
tubuh saman memantul beragam  pertanyaan

sebuah patung mengekalkan geram di pangkal pedang
ke tengah hutan bangunan tumbuh menjerat nafas
semua yang lalu lalang memenuhi emperemper
gagap menyingkap makna percakapan. juga nelangsa

-dari mana kita datang, kemana kita pergi—

yang baru dibarukan, tapi tak bertemu
liang kegembiraan
hanya bau coran semen, papan iklan
menawarkan ruparupa kepedihan  

dari sini sebuah diskusi dimulai
dari perhimpunan kaum peminum kopi
merekareka mimpi dari terali ke terali
tapi hanya ada jalan buntu menuju ruang buntu

--mimpi dan angan tak lagi  punya harga dan saman--

ada sekadar mengganti gaun menutupi gaduh hati
kebanggan palsu kekuatan ekonomi
sepenuhnya menyemai buahbuah celaka

Blengko melawan
kota dibersihkan dari tipu muslihat
yang beranak pinak kesemerawutan

hanya sekali kebas, atapatap runtuh
loronglorong terbuka
jalan raya sejarah tibatiba menjelma

orangorang seketika menemukan lelaki
paling pantas di puja

Blengko lupa musuh sesungguhnya seorang kawan
ia ditikam dari belakang, tepat menembus jantungnya
tubuhtubuh sejarahnya tumbang ke dalam kabut
penuh perangkap

“di sini cahaya menegak, perbatasan baru telah tersibak
esok aku mau jadi seorang permesta,” tulis orangorang
mengerti makna kebanggaan atas kematian
yang tak kuasa membuat ia menyerah, kucuali niscaya

di bawah prasasti 45, sebuah pasar,  sebuah stasiun
orangorang datang pergi mendagangi kemuliaan diri
dengan harga paling murah dan miris

2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar