Kamis, 12 September 2013

UBAN (puisi Iverdixon Tinungki)



pada perjalanan kesejuta kau tiba kembali di rumahku
membawa kisah uban melebat seakan waktu
tak lagi bersahabat. di matamu pohonpohon pucat melukisi
dena penjelajahan tersisa seunjung nafas

kau mengeluh ujung sepatumu tak lagi utuh
seperti batuk di mulutmu menggerami bauh tanah sangat kau kenali ini
berlimpah bangkai kematian tanpa pesta pemakaman, pun luput dikenangi


“apa patut dimuliakan?”
katamu ke langit yang tabah merawat dingin dipucukpucuk mahoni
ayamayam berkelakar dengan kokoknya  riang
detak jam serupa kemarin mengirim sinyal waktu tak jua berhenti
mengantar menit terakhir  takkan kau ingat lagi

tak mungkin mencabuti uban di seluruh kepala
cuma karena menggerutui tak bisa menyaksikan lebih banyak
dari yang dinginkan, mengatakan lebih ruah dari harusnya dicakapkan

bagiku sepata kata cukup
bila tinggal itu kita percaya
sebab menyerup seluruh lautan, dahaga tetap saja ada

kau membatin, seperti lelaki kalah di arena lari
tak mau menyudahi pertandingan sesungguhnya telah selesai
bukankah mengejar angin lebih siasia dibanding pemancing

lihatlah hujan terperangkap di akar rumput kurawat itu
ia tak merasa lebih berarti kalau menjadi sungai
di sana katakata menjelma pemandangan hijau
hidup adalah memaknai bukan menyesali

2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar