Minggu, 29 September 2013

MORAYA*) (Puisi Iverdixon Tinungki)



aku tak mencari  Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung
lengking suara burung manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya

ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usia, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya

ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasar
sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara


tiangtiang palisade terpancang di sekeliling
batangbatang sagu, kisahkisah hantu danau
dalam bayangan parit, amis
bau tubuh hangus
hanyut menembus abad
di pucuk mimpiku

mereka belum mati dalam 204 tahun pertempuran
benteng sesungguhnya masih kukuh
disiangi  sawahsawah rawa Minawanua
dimana unggasunggas mengawinkan padi
dengan nyawa yang gugur
pada sebuah pagi dan malam buta
kembali ditetasnya ke dalam dada pada telurnya

di atas kawah danau, air hidup mengairi sawahsawah itu,
mengaliri  jiwa, memerciki peristiwa, merayapi sebongkah luka
ketika menimang  sebutir padi dalam legenda moyang
perang anti kolonial itu tak sekadar perebutan ladang
tapi letupan  harga diri melawan

portugis, spanyol , Belanda, juga abadabad lebih tua
UkungUkung mengirim pedang tumbak terhunus
menggemetari lembarlembar sejarah  menderasi arasaras
dimana kebebasan tak mungkin tunduk pada ajal, pada senapan
kebebasan terus menegak meski tubuhnya tersungkur dalam lumpur

aku membaca sejarah kau samak itu
ketika angsaangsa menumpahkan semua kenangan, keluhnya
ke wajah danau dengan arakarakkan menjalarkan gaduh;

residen Marinus Balfour pada Juli 1809 mengutus Lodewijk Weintre 
bersamanya  beratusratus serdadu Belanda Ternate
beratusratus perahu, rakit, korakora
bersenjata lengkap. mengepung!
Minawanua sebenarnya tak bisa mereka rengkuh

di sana walakwalak setia berpegang sumpah
terjaga, serupa suara manguni mengabar makan
hanya tempat perebahan jasat
sedang sebuah nama abadi di matanya

gempuran meriam  berdentum menggema
di subuh Agustus  terpiuh itu

 “I ayat un santi!”
seru waraney dalam derap serdadu Minahasa
juga suara perempuan jadi gelombang tak pernah diam
meriaki danau, menggetari rawa, seakan semua nyawa menyeru;
 “Rumungku’ se Maesa!”

peperangan di danau menggertak, miris tak memandang siapa
sesekali serangan berani mati pun tumpah  
mengejutkan arwaharwah yang berduka
 Weintre tersengat. menderita

dengan panas hati dan seluruh kebencian
Weintre mengobar serangan lagi
di malam 5 Agustus 1809
ketika penampangpenampang daun
baru mulai menampung embun

1400 pasukan melawan 4 perahu perang
menenggelamkan Moraya
dalam kobaran api dan anyir darah
pekik suara berdesing
di hembusan nafas terakhir para pemberani
 memilih mati demi sesuatu yang diyakini
ruyup di embun dini hari

ada yang memasuki hutanhutan
suara tangisan anak, ratapan ibu
mengoyak  air mata ke atas danau,
tak saja oleh musuh, tapi juga khianat
menyayat luka ke rahimrahim perempuan
terjarah dengan seluruh kisah kekayaan alamnya

 foso ya foso
mengangkat sumpah
Ukung Lonto
tak pernah menyerah

laskar menguasai medan rawa penuh jebakanjebakan
hantuhantu danau dari pohon sagu dalam bentuk manusia,
dibungkus  lumut dan tanaman melata
pada malam hari perisai ini dibiarkan mengambang di permukaan air
menyiutkan hati  musuh mau mengoyak  Moraya
kini dan di abad belum tiba

serupa Prediger  yang terluka kepalanya
di atas tanah nenek moyang
dalam sejarahnya yang tak bersalah

di ujung peperangan
Weintre menulis laporannya;  --temanku Balfour
Tondano telah mengalami nasib naasnya di tengah malam tadi
seluruhnya menjadi lautan api
tidak ada sisa lagi
mereka tidak sempat menyingkir 
yang selamat dari amukan api
akan kami dihabisi--

debudebu beterbangan ke atas surat itu
menyuburkan hutanhutan
di semua seluk barisan gunung
mewarisan jejak gerilya
ke ujung langkah
menyeretku ke altar
 “luminga ko’oko”
seekor manguni bertubuh
dalam nafasku
merangkai moraya lebih utuh


2013

*) Moraya: Benteng pasukan Minahasa dalam perang Tondano 1908-1809.
*) Teterusan: Pahlawan atau Panglima Perang  Minahasa.
*) Waruga: Makam leluhur orang Minahasa
*) Ukung: Kepala Walak (Kepala Suku) Minahasa.
*) Walak: Suku.
*) Minawanua: Perkampungan di tengah rawa Danau Tondano
*) Foso: Upacara adat pengambilan sumpah.
*) Waraney: Pasukan atau pejuang Walak  Minahasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar