Jumat, 30 Agustus 2013

PERAHU (Puisi Iverdixon Tinungki)



laut biasa kuseberangi menyeberangi hatiku
seketika hatiku tersebak arus di segulungan ombak
tibatiba membentuk kapak menghujamku
tapi aku tak akan berhenti berperahu menemui perangku

aku tak akan meninggalkan lagaku sendiri
meski sebenarnya pikiranku begitu letih
menerjemahkan hulu dan hilir dari mimpiku
yang terus mengalir


pada lengking suara jelaga resahku terasa memar
menjelma pemandanganpemandangan asing dan samar
benderabendera sepasukan musuh
mereka muncul dari kedalaman palung tak bercahaya
penuh siasat datang mau menusukku

apa tersisa di tengah arusku, di tengah ombakku
kecuali perahu di dadaku itu. perahu warisan moyang
dengan segala sejarah pertarungan dimenangkannya
perahu sejak aku lahir telah melabuh di jantungku
menunggu aku menuju perangku

di depanku selalu ada perempuan paruh baya
matanya lentera. begitu siaga ia menepis kabut turun dengan
seribu lembing mengarah ke jantungku

tangannya mulai lemah, jemarinya tetap saja lincah menjahit
sobekansobekan layar perahuku dengan doa meski terbatabata
dua anaknya begitu sigap memacak batang citacita seperti layar
layar dijahitnya selalu mengembang

“kami mau mengarung dan bertempur bersama ayah,” kata mereka

seorang cucu betapa manis senyumannya
ia merangkak di tengah jantungku mendegup lemah
kecuali tangisnya selalu membuatku terjaga
ia butuh susu tak saja sayang ternyata

seorang menantu juga di sana setia mengasah kesabarannya
seperti penganyam letih memahami polapola selalu baru sepanjang saman

semua mata itu menghujamku. hingga kutemukan tubuhku
teronggok dalam pecahan airmata mereka
sementara malam sehitam tubir dalam menenggelamkan cahaya
di pucat bintang dulu tempat moyangku menentukan haluan

laut biasa kuseberangi menyeberangi hatiku
memaksaku menentukan jalan dan tujuan

“semua awak kusayangi mari kita pergi
ke medan laga kita sendiri. Hidup atau mati ternyata
ditentukan pertempuran hari ini”

Juli 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar