Jumat, 30 Agustus 2013

RITUS KELAHIRAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



hari kesepuluh, bulan kesepuluh
ia meraung, ia mengerang, menyibak leluhur legam
begitu erat mencengkrami malam di pucuk dedaunan

tibatiba sehelai daun nangka jatuh di simpang penyeberangan
menggegar keributan. Tapi, malam  seperti sepeda begitu lambat
membisukan teriakkan

ia berperahu dengan penampang dingin dari tempahan baja
derit mesin pembaca detak nadi, kain putih dan semua rasa sakit
berhamburan ke langit tinggi. sesekali terbenam
sesekali mencengkram. igauigau liar berkejaran


Tuhan, ini detak keberapa di jantungnya
ketika itu, malam begitu bundar tiada ujung pangkal
sekadar menggapai, sekadar melambai
bulan murung letih memanggil bintang berlarian
ke bilik tertinggi dari semua doa dipanjatkan

nafasnya terbang bergelantungan, bayangbayang rapuh berkesiuran
ia hanya mendengar suara enya berbagi ruh padanya
sejak hari pertama, bulan pertama. Ia tak ingat lagi  asam pada mangga,
manis pada nangka. pohonpohon itu kuyuh menanti kabar tangisan siapa
pertama akan menyapa. Hingga tak percuma daun kesejuta gugur
buat sejarah benih buah yang akan dibesarkannya

di ujung langit teratas, cucu pertama begitu lihai merekatkan bisuku
ke tunggku penempahan gelisah, saat aku memandang awan merambat
di langit tampak datar menggambar sebentuk bayangan kereta

perempuan pada akhirnya akan mendengar tangis pertama anaknya
ritus dongengan tua harus tunai dibayar dengan pekik dan ceceran darah

jam 23.24 cucuku lahir dengan kegirangan yang nyaring
“ada cahaya maha luas di mata segemerlap andromeda”
tibatiba berbaris sebegitu rapi bagai prajurit langit
mengantar sang pemberani ke medan laga harus ditunainya sendiri

di matanya tertampung semua rintih kesakitan, riwayat engah nafasnya,
menjelma bujuran cinta tak terbilang angka, tak termakna kata
semua yang mencintainya merasa adaNya

2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar