CERITA RAKYAT TALAUD
BUNGA
LAWA MANONGGA
(Kisah
Pohon Lawa di Pulau Kakorotan)
Diceritakan kembali oleh: Iverdixon Tinungki
KAKOROTAN, sebuah pulau kecil yang indah, di
kawasan utara Kepulauan Talaud. Sangat dikenal karena penduduknya masih hidup
dalam tradisi tua mereka, “Mane’e”.
Mane,e? Ya,
Mane’e, tradisi menangkap ikan dengan hanya menggunakan janur (daun) kelapa. Di
hadapan daun berbalut magis tradisi lama, ikan-ikan seakan tunduk dan patuh
untuk ditangkap. Tak hanya seekor duaekor, bahkan gerombolan berjenis ikan
dalam jumlah ribuan ekor seakan pasrah menanti tangan manusia datang
menangkapnya. Palagis atau demersal, sama saja, mereka bermakna ikan
diberkahkan Tuhan kepada manusia.
Bagi banyak
orang, menangkap ikan dengan daun kelapa seakan sesuatu yang mustahil. Tapi di
Kakorotan hal itu nyata. Cara manangkap ikan yang unik ini sungguh
menyenangkan. Siapa pun bisa ikut bersama. Menangkap dan menangkap ikan dengan
gembira. Sebuah budaya lama yang masih terpelihara dan terjaga.
Banyak wisatawan
terpikat uniknya Mane’e. Ini sebabnya, Kakorotan beserta pulau-pulau karang di
sekitarnya setiap tahun selalu dibanjiri pengunjung dari berbagai negara.
Mereka datang menikmati festival Mane’e
. Ya, Mene’e! Mane’e mereka yang setia menjaga luhurnya budaya.
Di negeri tradisi
inilah konon dahulu kala, dari masa moyang-moyang tua, pernah tumbuh sebatang
Pohon Lawa. Pohon ajaib yang ditumbuhkan Ruata
(Tuhan pencipta semesta alam) sebagai berkah dari doa para moyang tua.
Karena dimasa
itu, penduduk pulau kecil ini sangat miskin dan merana akibat perang tak
berkesudahan dengan para perompak dan bajak laut yang datang dari pulau Lanun
Mindanau, Filipina, yang mereka sebut orang-orang Balangingi.
Para tetua
terpaksa mengunci pulau ini dengan mantra, agar
perompak dan bajak laut tak melihat mereka. Hanya orang-orang berhati
baik sajalah yang bisa melihatnya dan boleh datang ke sana.
Setelah menggelar
doa yang sungguh-sungguh ke hadirat Ruata
di puncak bukit Manongga, maka bersinarlah tempat itu. Sebuah pohon ajaib
mulai tumbuh di jaga seorang lelaki bernama Wando
Ruata (Manusia Suci) .
Bergiranglah para
moyang tua, atas kehadiran pohon berkah itu yang kemudian dinamakan Pohon Lawa
(Pohon Karunia). Tapi para penduduk lebih suka menyebut pohon itu, “Bunga
Lawa”.
Bunga Lawa? Ya!
Bunga Lawa! Karena, bunganya sangat harum. Tapi bukan itu saja yang ajaib dari
pohon ini. Akarnya besi baja, batangnya tembaga, cabang dan carang-carangnya
emas, daunnya kain, bunganya mata uang. Wow…dasyatkan!
Lalu, bagaimana
wujud lelaki yang menjaganya? Wando Ruata, adalah makhluk suci berwujud
manusia. Lelaki muda dengan wajah tampan rupawan. Tegur sapanya santun dan
bijaksana. Matanya teduh seperti langit pagi hari yang memanggil datang
matahari. Alisnya tipis hanya bisa digetarkan oleh bayu yang bersemilir.
Rambutnya menjuntai bak puisi langit
yang terurai. Pipinya cerah seakan tak ada panas yang pernah menderah. Kumis
dan janggutnya tak mampu kusajakkan dengan kata, karena hanya Tuhan yang tahu
makna bijak di dagunya. Tinggi dan gagah ia. Pohon-pohon seakan tunduk
bertaklik setiap ia pergi melangkah. Tapi bukan semua itu yang menarik dari
Wando Ruata. Kehadirannya di masa pelik, ini yang lebih bermakna.
Di masa sulit
tersebut, Dialah yang mengatur pembagian kebutuhan penduduk yang diminta dari
Pohon Lawa lewat Datum Banua (Kepala
Kampung dan Pemimpin Adat). Dia memberi besi baja untuk ditempa jadi peralatan
yang dibutuhkan untuk bertani dan berperang. Dia juga membagi tembaga untuk
kebutuhan peralatan rumah tangga dan keris para pemberani. Setiap cabang dan
carang tua yang jatuh dari Pohon Lawa dalam bentuk batangan emas yang matang
diberikannya semua kepada penduduk. Daun-daun yang berbentuk lembaran kain
setiap hari berjatuhan dari pohon, karena itu penduduk tak berkekurangan lagi
bahan untuk pakaian. Penduduk juga tidak kekurangan uang untuk membeli
kebutuhan lain yang dibutuhkan lewat para pedagang yang bersinggah di pulau ini.
Uang? Adakah uang dimasa itu? Tolong pertanyaan tersebut simpan saja untukmu.
Karena lengenda ini sudah begitu dari sananya. Apalagi uang memang sekadar
bermakna alat atau sarana untuk bayar membayar. Maka setiap zaman tentu punya
alat atau sarana untuk bayar membayar yang semakna dengan uang karena punya
nilai tukar.
Lalu bagaimana
pembagiannya? Semua diatur dengan baik dan secukupnya saja. Tidak boleh ada
penduduk mengambil lebih atau menimbun hasil serta mencari untung dari berkah
Pohon Lawa.
Sejak Pohon Lawa
tumbuh di bukit Manongga, kehidupan penduduk sontak makmur dan sejahtera. Namun
ada yang jadi masalah!
Bau harum bunga
Pohon Lawa tercium hingga ke pulau-pulau yang jauh, ke tempat para perompak dan
bajak laut Balangingi. Balangingi penasaran. Bau apa yang semerbak dengan wangi
tak tertanding ini?
Balangingi segera
melarung perahunya. Mereka mencari. Mereka mencari seperti orang lapar yang
tiba-tiba disergap bau masakan enak. Pedang, tombak dan alat perang sudah
termuat. Perahu mereka berlayar dalam gambaran yang garang. Dasar otak perompak
dan bajak, yang dicari hanya harta dan uang semata.
“Sudah dekat!”
teriak seorang Balangingi.
“Iya, baunya
bersumber dari arah sini,” tambah lainnya meyakinkan.
Tapi mencari
pulau terbungkus mantra adalah kerja sia-sia. Seperti berharap cinta pada gadis
cantik yang tak sedikit saja menoleh pada kita. Ah…benar-benar sia-sia belaka.
***
Suatu
ketika sebuah perahu rompak Balangingi kandas di pantai pulau Kakorotan. Para
Balangingi mengira mereka hanya kandas di bentangan Napo (Karang) yang luas. Magis mantra membuat mata orang-orang
Balangingi tak bisa melihat wujud daratan dan rumah-rumah penduduk. Apalagi
melihat orang-orangnya!
Untuk
membuat jerah para perompak dan Bajak Laut itu, atas perintah Datum Banua, orang-orang
Balangingi ditangkap. Kepala mereka dikuliti, lalu kembali disuruh pulang ke
tempat asal mereka dengan pesan tidak boleh datang lagi.
Sejak
peristiwa itu, para Balangingi ketakutan. Mereka takut bahkan untuk sekadar
mendengar nama Kakorotan. Kesaktian orang-orang Kakorotan tersebar ke
mana-mana. Balangingi tak lagi datang ke sana.
***
Sejak
Balangingi menghindar pulau Kakorotan, mantra pembungkus pulau pun di buka oleh
para moyang tua. Kehidupan penduduk berlangsung normal, makmur dan sejahtera.
Tapi ternyata, ada melapetaka lain tengah mengangah. Apa itu?
Seorang
gadis cantik bernama Yoi jatuh cinta pada ketampanan Wando Ruata. Tak saja itu, gadis belia ini berharap
cintanya berbalas, maka dengan sendirinya hartanya akan melimpah.
Namun
cinta adalah terlarang bagi Wando Ruata. Para tetua adat dan Datum Banua telah
memperingatkan pada penduduk. Tapi Yoi tetap saja. Perasaan cinta yang menyala
di hatinya seperti tak terbendung.
Pada
suatu pagi, ia naik ke atas bukit Manongga membawa makanan untuk Wando Ruata
lalu berusaha memikat hati sang Wando.
Keesokannya,
Pohon Lawa lenyap bersama Wando Ruata dari atas bukit Manongga. Semua penduduk
sedih kehilangan pohon karunia itu. Tapi, semua telah berlalu. Adat telah
dilanggar. Apalagi yang diharap dari semua seduh.
Konon
Pohon Lawa telah di bawah Wando Ruata ke sebuah negeri di bawah air laut yang
bernama Negeri Odi. Negeri para bidadari dan Peri yang terletak di depan Pulau
Kakorotan.
Karena perasaan
kasih Wando Ruata masih saja ada tersisa untuk penduduk yang ditinggalkannya
pergi, maka ia mengirim ikan-ikan dari Negeri Odi untuk tradisi Mane’e yang masih terjaga
hingga kini.
Cerita
ini memberi pesan secara khusus kepada kita untuk selalu menjaga tradisi budaya
yang baik. Dan secara umum mengingatkan agar jangan serakah dalam menjalani
hidup.
(Diceritakan kembali oleh Iverdixon
Tinungki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar