CERITA RAKYAT TALAUD
MANNATTA – LARROSSA
(Kisah Batu Puang Katoan di Pulutan)
Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki
Di Pulutan zaman dulu, ada sepasang suami istri bernama Mannatta dan Larrossa. Konon mereka berdua
mendiami puncak gunung Piapi. Di puncuk gunung yang cukup tinggi itulah tempat
mereka melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai pandai besi. Penduduk desa yang
bermukim di lembah dan pesisir setiap hari mendengar lenting bunyi besi beradu
dari puncak gunung Piapi sebagai tanda mereka tengah menempa besi menjadi
pedang, keris, atau peralatan perang lainnya.
Mereka
berdua adalah sosok Puratangnga
atau pandai besi Kedatuan Pulutan di masa itu. Di
pulau itu tak ada yang bisa menandingi kehebatan mereka menempa peralatan
perang. Setiap pedang dan keris yang mereka buat selalu memiliki kesaktian yang
luar biasa.
Sebagai dua
orang sakti Mannatta dan Larrossa juga punya kemampuan memandang jauh ke
sekeliling laut dan samudera dari beranda rumah mereka. Setiap hari mereka
selalu menyempat diri memandang laut untuk mengamati jangan-jangan ada perahu
musuh yang datang menyerang penduduk yang mendiami pesisir pulau Karakelang dan
lembah Pulutan. Mereka berdua tak pernah membiarkan ada sesuatu yang mengganggu
dan mengancam kehidupan orang-orang di pesisir dan lemba itu. Bila ada, selalu
mereka tumpas habis. Mereka berdua begitu mencintai penduduk dan desa mereka
Pulutan dan desa-desa di seantero Pulau Karakelang.
Suatu ketika, Jauh di seberang lautan
terlihatlah sebuah perahu yang melaju dari arah Utara menuju Selatan. Perahu
itu seakan tidak peduli dengan terpaan gelombang dan badai. Perahu itu datang
dari daratan Cina, ditumpangi satu keluarga yang berjuang mati-matian melarikan
diri dari kejaran seekor ular besar bernama Atoanna.
Saking
besarnya sang Atoanna itu, pulau-pulau
yang merintangi jalannya terbelah oleh
kibasan ekornya. Beberapa pulau termasuk pulau Sara hancur berkeping-keping. Tubuhnya
yang merayap di atas air menimbulkan gelombang besar. Auman suaranya terdengar
begitu mengerikan.
Ular itu ternyata mengejar seorang putri kecil bernama Arrussuello yang telah
ditetapkan dan disumpah untuk diberikan
padanya. Tapi ternyata dilarikan oleh sanak keluarga mereka dengan menggunakan
perahu.
Sebenarnya putri Arrussuello yang cantik itu,
punya enam saudara laki-laki yang terbilang sakti. Tapi dalam pertarungan
sebelumnya, kesaktian mereka tak mampu menandingi apalagi mengalahkan sang Atoanna
yang besar itu. Bahkan pedang sakti Ratuadio yang berkekuatan magis milik
mereka, hanya mampu melepaskan beberapa sisik saja. Tapi pedang itu tak mampu
menggores tubuhnya.
Mereka sebenarnya telah meminta bantuan
orang-orang sakti dari beberapa negeri seperti Sulu, Tabukan, Malesoeng, dan
Ternate, tetapi para sakti dari berbagai negeri itu juga tak mampu mengatasi
amukan dan keganasan si ular. Kemana pun mereka pergi bersembunyi, Atoanna
terus mengejar mereka.
“Kemana lagi kita akan sembunyi kakak,” tanya Arrussuello
kepada kakak sulungnya.
“Tidak tahu lagi adikku! Tapi, kita harus
terus mencari cara, siapa tahu ada yang bisa menolong,” hibur kakaknya.
Meski sudah mulai dilanda putus asa,
Arrussuello bersama keenam kakaknya mencoba memutar perahu dari Selatan
kembali menuju Utara, siapa tahu di pulau-pulau Utara ada yang bisa menolong
mereka. Ketujuh bersaudara itu sangat
menyayangi adik mereka, itu sebabnya mereka tak mau menyerah begitu saja.
Dalam
pelayaran yang tidak mengenal lelah ini, akhirnya Arrussuello dan keenam
kakakya melihat pulau Araallan (Pulau
Karakelang). Dengan cepat mereka menuju salah satu teluknya. Di hadapan mereka
tampak puncak gunung Piapi. Dari puncak gunung terlihat ada asap membumbung.
Sesekali terdengar bunyi besih beradu.
“Di sana pasti ada manusia,” ujar salah
seorang kakak Arrussuello.
“Apakah mereka mau menolong kita Kak?” Tanya
Arrussuello dengan hati cemas.
“Kita harus mencoba minta tolong. Siapa tahu
mereka mau menolong kita,” ujar salah seorang kakaknya dengan nada berharap.
***
Di puncak gunung Piapi, Mannatta dan Larrossa
sesungguhnya telah melihat perahu yang tengah merapat di teluk. Mereka juga
melihat ular besar yang kian kemari mengejar perahu tersebut.
Sesaat kemudian, tampak dari arah perahu ada
seseuatu yang dilontar dengan tenaga
yang kuat ke arah puncak gunung Piapi. Dengan kesaktian ilmu mereka, Mannatta
dan Larrossa melesat tinggi menangkap benda yang dilontar itu. Alangkah
terkejutnya mereka. Ternyata benda yang dilontar itu adalah seorang anak gadis.
“Tolonglah aku tuan,” ujar gadis itu.
“ Siapa namamu dan ada apa denganmu,” tanya
Mannatta.
“Namaku Arrussuello. Aku berasal dari daratan
Cina tuan. Aku datang dengan perahu di teluk sana bersama keenam saudara
lelakiku. Kami lari dari kejaran Atoanna yang mau mengambilku,” jelas
Arrussuello dengan sedih.
“Mengapa sampai ular itu mau mengambilmu,”
tanya Larrossa.
“Sebenarnya keluargaku telah bersumpah untuk
menyerahkan aku kepada ular jahat itu. Ia selalu mengambil anak gadis dari
penduduk kami untuk dijadikan isterinya. Itu sebabnya keenam kakakku mencoba
melindungi aku dari ular itu,” jelas Arrussuello.
“Kalau begitu, kami akan menolongmu.
Bersembunyilah di rumah kami,” kata Mannatta.
Melihat Arrussuello telah dilontar ke puncak
gunung Piapi, Atoanna langsung bergegas mengejar ke arah puncak gunung. Dia
tidak mau kehilangan gadis itu. Dengan kesaktiannya, hanya dalam waktu singkat
saja ular itu telah berada di atas puncak gunung Piapi.
Kedatangan Atoanna yang diliput amarah ini,
justru disambut Mannatta dan Larrossa dengan ramah.
“Tuan Atoanna, ada apa gerangan datang ke
tempat kami?” tanya Mannatta dengan sopan.
“Jangan banyak tanya, kalau kalian tidak mau
mati, serahkan Arrussuello kepadaku,” kata Atoanna mengancam. Namun begitu,
Atoanna sudah merasa aura kesaktian dua lelaki di hadapannya itu.
“Jangan marah-marah begitu bertamu di tempat
orang. Tenangkan hatimu Tuan Atoanna. Sudilah tuan menerima penyambutan kami
ini dalam suasana yang tenang dan bersahabat. Makanlah dulu sirih dan pinang
yang akan kami ramu sebagai jamuan kami menyambutmu, sebab, itulah kebiasaan
kami di sini,” bujuk Larrossa.
“Kalian jangan menunda-nunda waktu. Kalian
jangan mencoba membuat tipu muslihat. Serahkan Arrussuello kepadaku,” ancam
Atoanna lagi.
“Semua perkara pasti ada jalan keluarnya. Dinginkan
hatimu. Mari kita bicarakan masalah itu dengan baik-baik,” bujuk Mannatta lagi.
Dibujuk dengan sikap yang baik itu, Atoanna terpaksa menyanggupinya.
***
Larrossa menyiapkan tiga buah batu besar
memerah dalam api sebagai sajian yang akan disuguhkan kepada Atoanna.
Di lain sisi, Atoanna tidak merasa takut atau
gentar. Ia tahu kedua sosok manusia itu akan mencoba mengadu kesaktian
dengannya. Atoanna sangat yakin kesaktiannya tak mungkin dikalahkan oleh kaum
manusia. Tapi ternyata malang baginya, setelah menelan tiga batu yang
sebelumnya telah dipanaskan dalam api hingga memerah dan dibumbui rapalan
mantra, perutnya dan tumbuh diderah rasa sakit yang hebat.
Sang Atoanna menggelepar dan terlontar ke
mana-mana. Ia tergulung-gulung hingga ke pesisir. Empedunya pecah dan bercecer
menggenangi tanah. Tubuhnya melemah, kemudian mati dan berubah menjadi batu.
Batu tersebut oleh penduduk Pulutan disebut
dengan nama Puang Katoan atau Batu
Kepala Ular. Batu tersebut terbujur beberapa ratus meter di tepi pantai dan
empedunya tergenang menjadi danau kecil. Orang-orang Pulutan menyebut danau
kecil itu dengan nama Melam artinya
Biru. Danau Melam dan Batu Puang Katoan hingga kini masih ada di tepi pantai
Pulutan.
Kisah ini memberi pesan secara khusus dimana
setiap manusia harus tolong menolong ketika berada dalam kesulitan. Secara umum
mengingatkan dimana setiap kejahatan pasti ada pembalasannya.
Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar