CATATAN MUSIM
hari
itu musim yang luar biasa
kau
mentraktirku kopi Afrika
di
café bernama Cabana
di
luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan
gemanya yang merana
perahu
nelayan
dan
burung layanglayang
meneguk
duka
sebilah
puisiku masih terluka
seorang
pemetik gitar
mengonserkan
lagunya;
Killing Me Softly
--entah kepada siapa ia
berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum
tumbuh dan bernyawa
tapi
kubaca matamu
bagai
etalase esok dipenuhi musim semi
sejumput
rumput bisa seindah melati
aku
pun ingat fotomu saat di Eropa
ada
yang menggerah di tepi dada
jejak
buram sepi sebuah jalan
tak
bisa kulalui
kecuali
kususun rapih
--kendati
barangkali kisah ini bakal dilalap api
lalu perlahan kau
bernyanyi
dengan petikan musikmu
sendiri
lagu
itu tertelan sebagai ampas pahit
dari
gelas bakal kukenang
bakal
kubawa pulang
--sebagai
kopi dan maut yang menagih
Sebab,
aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui
biografi rambutmu
dan
kecemasan
gegas
menusuk setajam panah
aku
bakal mati di rambutmu karena;
“begitu
cantiknya kau”
sungguh
aku luput menyimak
betapa
puitisnya sayap Balam
ia
menyempurnakan kitab senja
harusnya
kukecupkan jelang pulang
SHUN FENG HSIN
SUNG MENCARI SHAO
di
lembah Hoangho mengalirlah sungai
mengalir
ke pucuk bunga Peony
di
musim semi seperti ini
aku
meretih api ke dalam diri
dalam
legenda Hou Yi
ia
memanah sembilan matahari
karena
cinta di bumi hanya butuh satu
cahaya
diri
di
bawah satu matahari
bukankah
aku dapat pergi
menyusul
delapan dewa bahari
berlayar
hingga mencapai diri
di
lembah Hoangho mengalirlah sungai
dan
aku Shun Feng Hsin Sung*)
perahuku
meluncur di air
melewati
teratai, krisan dan beku apricot
di
musim itu
aku
tak lupa tekstur rumah bata merah
pohon
bambu dan pintu berhias pahatan naga
sejauh
mana aku berlayar
tak
jua jauh dari tangan Pangu yang
mengejar
dengan
mantel kulit lusu
kujelajahi
peta Shui Jing Zhu
dan
Tuhan menyunggi kecapi ke lubuk karangku
lima
abad sudah perahuku
meretih
gelombang
meronce
puisi
dengan
guci dupa gaharu yang suci
dan
masih kukenang musim semi Peony
burungburung
mengambang
melunaskan
perjamuan samudera
meneguk
makna indah dan nila ke dalam hati
di
lembah Hoangho mengalirlah sungai
sudah
jauh Utara Cina
rumah
bata merah, pohon bambu
dan
pintu berias pahatan naga
aku
sudah berarus hingga ke Zamboanga
dan
tiba di Shao dalam wangi dupa kian bernyawa
di
langit dewi bulan Chang’e memijar
seperti
kisah catatan musim semi Tuan Lu
di
hatiku telah tumbuh kisah lebih sungguh
laut
dan pulau yang menunggu
*) Shun
Feng Hsin Sung: Pelaut Cina yang
menulis buku petunjuk jalur pelayaran
Utara Cina
melewati Zamboanga ke bagian timur Mindanao lalu ke selatan menuju
pengunungan Shao (Siau) pada tahun 1500.
Sejak itu, perniagaan Cina kian berkembang ke Timur Nusantara.
SAJAK BUNGA PEONY *)
DALAM CINTA SHUN
FENG HSIN SUNG
cinta
bagai sebuah peta
bunga
dan mata
di
luar alam katakata
ia
pengelana benak yang merekah
cinta
bukan harum dan warna
bukan
adat membuat kita terpisah
peony
juga tumbuh di tanah tak bernama
di
sini di sana kita berciuman bagai magma
di
bawah langit tempat kegembiraan membubung
Shun Feng Hsin
Sung
mengembara
sejauh
laut membawa jiwa dan nyawa
bila
warna bisa merah
kadang
ungu menunggu dengan sepeta kisah
bagaimana
masa lalu tak boleh luluh
sedang
kita selalu bicara bahasa air mata
di
Ulu
seorang
gadis Cina mengenang
moyangnya
di tanah utara yang jauh
bagaimana
kau menutup pintu
dengan
mata cipit yang jambu
--bukankah
benakmu telah berhulu
di
luas hari dan bahari itu
bila
dipuja dupa satu diri yang sungguh
tak
ada keliru menanggalkan rikuh dan ragu
*) Bunga Peony: Bunga yang punya makna
spiritual dalam peradaban Cina sejak zaman
kuno. Menjadi motif utama gaun kaum
wanita. Merefleksikan perasaan cinta. Sejak Shun Feng Hsin Sung tiba di Shao
(Siau) tahun 1500, sejak itu peradaban Cina kuno ikut menyebar ke dalam hidup
masyarakat setempat dan menjadi bagian dari system nilai budaya.
MINAHASA 1644
10 Agustus 1644*)
pertempuran itu meledak
dari kesakitan
dari ketidakadilan dari perkosaan
karena sebuah
bangsa tak boleh menangis oleh ketakutan
ketika kemarahan
punya alasan: berperanglah!
hari ini hari dimana kita mengenang keberanian
beriburibu perempuan menunggu kemenangan
beriburibu anak akan menceburkan diri
ke medan erang penuh keluh kesah
hari ini hari dimana kita membagikan
gelombang pesan kebebasan ke jendelajendela
ke sulur harapan
ke kebunkebun ke bentang hutan
ke kotakota yang meringkuk dalam takdir abadi sebuah
penjara
hari ini hari yang harus terbit di atas api
tombak runcing
logamlogam tajam
dilontar ke atas waktu yang harus dimenangkan
10 Agustus 1644
pertempuran itu meledak
di atas padi di atas
rawa di atas nyawa yang meletup
oleh buas niaga
Eropa
baiklah kita mengenang lahar suci dari kepundan Minahasa
itu
bahwa Waraney dan
peradaban tua kita tak bersalah
bahwa Spanyol yang durhaka karena beras dan rempah harus
enyah
tapi hari ini hidup baru harus melabuh dikejernihan
cahaya
hari dimana hati kita menjelma telaga kehidupan
di huni mekaran pelajaran meraih citacita
hari dimana gerak akan menampung keagungan kita
ke sebuah kapal gema yang diucapkan dengan berani
dengan penuh daya
*)10 Agustus
1644: Pecah perang Minahasa-Spanyol yang berakhir dengan kekalahan bangsa Eropa
itu di tanah Minahasa.
PADA
CATATAN ANTONIO PIGAFFETA*)
di bandarbandar
banyak orang tak tahu ke mana pergi
ke mana menemukan diri sendiri
kuli
masih saja kuli
memikul kemalangan
seorang Pigaffeta
dan beribu penjelajah
seakan saman
wujudnya bagai kapak
menebang makna samudera
hingga seluruh layar dan impian
berderak patah
orangorang hilang
arah, hilang harap
setiap kali sauh menjangkar
setiap kali kapalkapal jauh berlayar
kecuali malam mendenyar itu
melahirkan ibu pada sepatah puisiku;
puisi tumbuh digemuruhnya sendiri
umpama burung dengan mata tak berkesip
mengepak gusar dan dengkingku ;
--musim rempah telah berhenti di lautku
*) Antonio Pigaffeta: Pelaut yang menulis
catatan perjalanan Laksamana Magelhaes melewati kepulauan Sangihe dan
Talaud pada bulan Oktober-November 1521
dalam buku “Primer Viaje en Torno del Mondo”
DENAH LOYASA
ada
sisa denah Loyasa*)
di
bandar Malahasa
lima
ratus tahun sudah usia peta
bertukar
rempah dan nyawa
bagai
sebuah pita
disunggi
batu
ke
rambut ibu yang telah tua
inilah
sepi dan abu
menyimpul
laut yang ngilu
karena
berlayar adalah mencari
hingga
hidup tak sekadar uzur yang bisu
di
ujung tanjung beberapa perahu kecil merayap
seakan
bandar punya sejarah tersembunyi
di
atasnya burung dan angin bertarung
melunasi
hutang di buku matahari menunggu
itu
sebabnya tugu tak sekadar batu bagiku
karena
yang tumbuh di laut biru;
elegori ibuku
lalu
apa tumpah di pantai selain ombak berderai
tanpa
berkayuh di arus
hidupku
hanya catatan sehelai
*) Loyasa:
Catatan harian Pigaffeta berupa laporan bandar-bandar penting yang disinggahi
kapal niaga mereka dalam ekspedisi Loyasa tahun 1537.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar