TENTANG
SYEKH DAN PADERI
ada syekh dan paderi
merekahi pagi pada kisah cengkih
dan beribu kalibri
sudah lama
burungburung sudah jauh pergi
suraunya telah jadi kota
muara pemandian kubang limbah
kecuali petani di ladang
buruhburuh penambang
nelayan kelelahan
menadah nyanyian camar usang
dan rumputrumput membilas
menemukan nafas bumi merubungi
pulau dipenuhi bular air mata
o sangirku, seperti biji sesawi putih
di balik makna kelabu
jalan Ilahi dan bau cendana
tersuji di panji sejarah
KEMBALILAH
RAS NAGA
kembalilah
ras naga
kembali
ke laut
nyanyian
camar
jangan
sampai samar
di
sajakku lembayung mencair
rupa
kata menetas di altar air
ia
mengalir bersama perahu cadik
mencari
bandar dan hilir
sejarahkan
padaku bau rempah
barus
dan damar
buat
sejakku
kembali
berlayar
kembalilah
ras naga
kembali
ke Tamil, ke Madagascar
orangorang
menantimu
muncul
kembali
di
kabut laut berwarna hijau toska
kembalilah
dan
penari menyambutmu
dalam
pesta copla*)
karena
sejarah kusajakkan ini
kisah
nira di tembikar tua
menuai
kembali penghibur
cadik
perahumu yang gemerlapan
kembalilah
ras naga
kembali
ke timur jauh sajakku
*) Copla:Puisi rakyat Spanyol yang mirip dengan Puisi
rakyat Sangihe Sasambo.
PETA
PERTEMPURANKU
aku mau mengayu perahu warisan moyang
bukan ke Tugis, bukan ke Bugis
bukan ke Sulu, bukan ke Maluku
tapi ke jiwa bahariku
siapa berani datang menambat perahu
pada batu mantra pejalku
selain sejarah laut dan penjelajah gelombang
yang berkarib dengan maut
karena cahaya masa kini lebih bisa
lebih bisa dari benih silsilah bisa kalajengking
maka moyangku meruwat bumi dengan benih para arifin;
--ual pata ual, kau pata siri!
bajak laut…
dari masanya
hingga jakarta dihuni beriburibu maling
kita jangan berharap mata angin lain
berlayar aku ke tujuh belas haluan sendiri
mantra…
dan jantra kita
arus laut tiada henti merekah
dan bintang disisip Ilahi
pada semua sisi langit
bukan tugutugu kesepian
dipecahpecahkan
dan ditambang
oleh perompak
dan keji kekuasaan
sejak Sangir menjadi Sangir
ia bara kipung*)
yang terlangir
landasan hati bersinar sembilan purnama
bungabunga. dan burungburung
semuanya bersuara seperti kidung;
mari merapikan pungung bukit. mari
yang lama cidera dan membusuk
sedalam luka menusuk sanubari, mari
mari menjahitkan laut tercabik
seluas sakit hati ditegukkan ke diri
bukan dari legenda sanghein*) kawanku
bukan! bukan karena itu
aku jadi lempeng pulau menangis. bukan
logamlogam tajam sejarahlah yang melukaiku
lalu harihari, seperti mengurai bandar banal
kapal intan berlayar lampin. tersuruk
diarak beribu burung gagak
menguasai kota
hingga tebing paling curam dari desa
tapi, para sundal keras bernyanyi
memuja harapan kosong
langit gosong
di atas istana
di atas menara istana
desing bedilbedil lena dan durhaka
ketika malam menyusun ketabahan
kita menyusuri ratapan
sudah pasti politik itu wajahnya seperti babi
mengoyak ladang petani
mengoyak, dan mengoyak
hingga semua harapan runtuh dan boyak
kadang
ya kadangkadang
kita merasa seperti di masa lampau bajak laut Sulu
atau kolonialisme para pemburu rempah
merdeka itu apa
bila merdeka hanya berhenti sekadar katakata
o… jangan diterima begitu saja!
bertempurlah
hingga pertempuran jadi takdir
tak bisa ditawar dalam hidup atau mati
*) Kipung: sebutan untuk Pandai
besi dalam bahasa Sangihe. Sanghein: Burung Walet dalam bahasa Sangihe
yang juga diartikan sebagai tangisan.
SAMPAN
sampan meluaskan aku pulang
sampan itu telah hilang
tergulung gelombang semu
tangan penyair kelaparan
duhai
para rasismus yang mencampakkanku
kamu
yang terjebak di kamar mimpi
lihat
timurku mengantang api gelora abadi
dengan
cadik dan kemudi
aku
masih perahu
mengawinkan
lagu dan gerak timurku
ke
lekuk sejarah
tak
mungkin remuk oleh nama dan berhala rasismu
pulau
amat suci ini pohon kerinduan
sampansampan
gagah
perahu
yang diucapkan dengan rendah hati
melabuh
kalbu
karena
cinta, beribu sampan datang pergi
melayari
abad yang tak bisa mencampakkanku
sebagai
diri
AKU DILAHIRKAN
LAUT SAJAK
aku
dilahirkan januari
bersolek
topan
dan
malam melalap ibuku
sepedih
jeritan
perahuperahu
kecil di mataku tertatih
sarat
sinar ketakutanku sendiri
tapi
aku terus belajar berdiri
dan
sayap balam kukenang
di
lima puluh dua tahun perantauan
masih
berdarah di jejak keramat
pertarungan
nenek moyang
masih
kukuh di cakarnya
gema
ricu nasib anak kepulauan
aku
digendong kecemasan
ditindas
keraguan
dan
kesanggupan diarak untuk susut
memantulkan
daya giur yang jantan
di
bandar
kapalkapal
kertas terbakar
tiang
layarnya sengkurat
menikam
bisu gelombang
aku
sekadar penumpang bimbang
di
geladakgeladak petir
para
pelaut berlarian
sedang
di pesisir
duka
duduk berjejer
memeluk
tengkuknya yang gemetar
aku
dilahirkan laut sajak
pada
januari yang bersolek topan
moyangku
ketika itu
telah
melintas Horn of Africa
dengan
perahu
jejak
perahu cadik para naga
di
malam ketika ibuku menjerit
memuisi
di pusarku yang berdarah
sebagaimana
tradisi
aku
dicebur ke luhur hati
di
keluasan kalbu punya ombak sendiri
apa
bisa kaurimpang
saat
hati mencair sebagai samudera
panggil
beribu pemahat
apa
bisa kauubah pada air mengalir
selain
kapalkapal melaut
perahuperahu
melayari
panas
arus
membuai
bagai lengan kekasih
di
petapeta samudera kuno
pengembara
laut mengasah diri
bagaimana
mencumbu laut
sedalam
kemistri
di
hutanhutan bakau
sinar
toska
menanti perantau;
cecaplah
bazar samudera ini
biar
mendidih frasa paus hiu dan tenggiri
o
harum mata angin
o
harum kayu manis dan cassia
dalam
sejarahnya
ia
menyeduh air mataku yang bahagia
kendati
di pantaipantai
burungburung
jengah dan kocar
bertanya;
masikah
gelombang semakna mawar
selembar
perahu daun
di
senja kelima puluh dua tahun
membawa
getir puisi
pada
layarnya yang samar
tapi
ibu yang laut itu
tak
bisa tawar
di
asin mata yang mawar
ia
membentukku dari getah pohon cakrawala
pada
beribu purnama tak dapat kaubelah
HUTAN DAMAR
di
hutan damar
masa
lalu berlalu dan samar
getah
hitam di tanah
getah
luka
getah
sejarahku yang menganga
di
sana lelaki anoa
tumbang
di atas rawa
memuntahkan
getah yang sama
luka
jalur rempah
tak
jauh gaduh batu
entah
mengubur siapa
bertebaran
di bawah
pinus
melelehkan
getah baru; seperti nanah
o
betapa pedis gerimis
menyeduh
pucuk pinus
manguni
yang luka
memanggil
malam tiada bernama
beberapa
lelaki tertatih menuju puncak bukit
mencari
suara tersembunyi itu
tapi
kembali dengan hampa lebih tinggi
kembali
dengan ratap lebih perih
KEPADA JUPITER
MAKASANGKIL
Kasili di sini duhulu ada letusan musket
anak muda pemberani terhuyung
anak muda pemberani akhirnya mati
sungguh pucat hari itu
hari daundaun memeluk perasaan luka
akarakar menangkap api meresapi genang darah
langit terseduh ibu paling nestapa
o saman
kau selalu punya penakluk dan pahlawan
meski hanya sondang di pinggang
tak ada ketakutan menembus diri
di hutanhutan Lamauge diri telah jadi api
dan puluhan marsose
kembali mencari putra Tubui
ia tak berhitung dengan mati
ia rebah Kasili
ia rebah dada koyak
tapi tak menangis Kasili
kerena mati lebih mungkin demi harga diri
ANTARA LATEA TANJUNG ALANG
-- Kel. Polnaya –Tomasoa –Timisela--
batubatu
bergambar pelangi
lebur
jadi keping hati
di
kali
tempat
matahari merendam perih
dan
kutabung kebaikan Latea
dalam
kisah perahu timur
utara
dan selatannya umur
manusia
adalah pelayar
hingga
jariku meraih tanjung alang
gelombang
surut dan pasang
di
atas sinar mata mematang
moga
kenangan
purna
kubawa pulang
di
suatu malam barangkali
kita
akan sama merasa keluarga hikayat
makhlukmakhluk
berumah di bawah atap ajaib
tiada
ujung pangkal bersangkal
dan
dongeng akan tumbuh di tempat singgah
doadoa
membiara dengan ribuan prajurit ingatan
berjaga
di pintu depan kenangan paling dalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar