SETUA
APA SEJARAH O AYAH
aku masih menyeduh kepul kelabu masa lalu
pasir, kopi dan perahu bagai halaman buku
dan masa depan tak tumbuh sendiri
burung pipit
mencantelkan harapan di cabang
pohon asam dan manggis setiap pagi
mendapati daunnya gugur tanpa permisi
tanpa gairah mengaji tradisi
apa yang mengepak di lengan hitam bumi
di paruh kelelawar yang gigih merayakan kegelapan
kita adalah penambang manis di lipatan pahit
di sana kubaca sebuah pertarungan
dan tanda tanya
dini hari yang lena
ketika aku pergi ke tepi pulau
laut membawaku sejauh mata
tapi rasa tetap saja sesepi cerita orang kalah
masih di pulau sebagaimana sebutir pasir
menggelinding dari benua ke benua
di bawah sepatu pedagang sejak dulu berdatangan
mengambil nyanyian alami pohonpohon
dan mewariskan baitbait kepedihan
dan aku tumbuh darinya
dari asuhan kepedihan itu
dengan batang raga yang payah
dengan keping hati tercabik
pada perahu kesakitan inilah aku berjuang
berjalan. dan tetap berjalan
hingga kudapati bandar sejarahku
cahaya dini hari yang baru
GELOMBANG MASA KECIL
gelombang api
semerta melekat
mengecup gema masa
kecil
bagaimana aku bisa
lari darimu
kecuali bertanya
mengapa hidup
begitu memesona
bagai anak
telanjang
berbaring atas
dunia
berlatar rumah
kayu dan pedusunan
rahasia laut dan
maut begitu halus
muncul dari takdir
tatapan
aku takjub di
hadapan pemandangan pelanginya
dan wujud kecilku
mulai menafsir apa
melintas datang pergi
pada sejarah yang
sekadar mewariskan kisah pedih
kukenang masa lusuh
angin turun dari gunung
membisiki sepasang gelombang pasifik
menanakku makna perahu
dan kini aku tahu
kemenangan tak saja di ujung peluru
mengalahkan arus, itu kemenangan lebih sungguh
DARI CERITA PELAUT
Malgahaes
*)
membaptis
dua raja pesisir pantai
lalu
dilepasnya paristera ke atas pulau;
lihatlah kesetiaan burung itu
seputih sayap
mengepak
sejauh harapan meraih batang awan
lalu ia duduk di tepi kali Jengki
catatan Clemens Alexandrines di
tangannya
mengisahkan serdadu;
lelaki mensojakan kepala dipenggal
karena tunduk pada kuasa
tak membuat kita tahu makna
bijaksana
sejak itu, aku mendengar kematian
lain
menjalari harihariku di abad ini
masih di jalur rempah
jalur menghubungkan Bagdad, Sirya,
dan anakanak Palestina yang menangis
kematian seakan jalur lain menuju
Tuhan
pohonpohon ikhlas bertumbangan
di jalanjalan hari ini
di jalanjalan kita yang mereka
cintai
di jalanjalan mereka yang kita
cintai
dan barangkali engkau belum
mendengar
ada kapak halberd berujung logam
runcing
menghujam batang leher
berhala serapis lama
berhala kekuasaan baru
sama punya taring pilu mengangah
tapi iman sekuat apa
membenihkan Malgahaes dan beribu
pelaut
berani mengarungi maut
perahunya melabuh beratus tahun lalu
persis di pantaiku yang masih
menjagai bisu
*) Malgahaes: Peter
Jesuit Diego De Magelhaes, seorang pelaut dan misionaris Eropa yang datang di
tahun 1563 ke Manado membaptis 1500 orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang
Damopolii dan Raja Siau Posuma. Bapatisan itu dilakukan di muara kali Tondano
(Kali Jengki), atau tepatnya di tepi pantai Sindulang.
MIMPI PERTAMAKU
di
pedusunan tak selalu dilintasi kapal terbang itu
di
sanalah aku pertama kali menerbangkan mimpiku
sesosok anak tak dikenal
meluluhkan nasib
di balik tatapan samar
ia pergi ke seluruh penjuru
dengan kisah tubuh terbenam pasir
dan bau anyir
ia bagian orangorang dalam syair
terasing
tercecar tanya yang bising;
serupa apa wujud cinta dan
kemalangan itu
sejak ayahnya berhenti menggendongnya
dihabiskannya pemandangan tepi pulau
kilauan pohonpohon, kicauan burungburung
juga lagu para penggergaji dan
pembuat sagu
dan ia merasa lega
karena bangsa pelaut semuanya tahu
bernyanyi
mengandai perjalanan air sungai
kecil
dan rahasia awan di pulau tak
mendustakan diri
di sana ia dikejutkan nyala unggun
pengetahuan
dan mimpi mungil memberi arah
kehadiran
ketika suatu pagi
ia memandang kecambah kacang
kian hari kian tinggi merayap
memanjat gelagar ranting bambu
ia berpikir akan ke langit
ke laut milik bidadari rahasia ibu
KETIKA AKU MULAI BERMAIN
o bidadari
perempuan bersayap menakutkanku
engkau membuatku berlari mencari
lengan ibu
barangkali lima tahun
aku sudah tahu perahuperahu bersauh
dekat bandar batu
kemahkemah kain para pedagang
mengeluarkan
bau pisang sayur dan ikan
tapi aku tak lupa bau daun sirsak
entah tahun berapa aku memanjatnya
kuingat hanya jeritan bayi
dan inang biang memanggilku melihat
adikku
setelah itu, tak jauh dari pasar
kicauan burung camar
seperti ada kabar dari jauh
hinggap di pohon besar
akarnya berwarna susu
sepanjang sejarah menaungi raja
rumah tua dari masa kerajaan lalu
semua mengkilap melewati batas pasir
kemudian terenggut senyap
masih pongah di atapnya
ketika itu aku belum pandai menafsir
kutahu banyak orang sombong di sana
menghardik penduduk seperti
menghardik babi dan anjing
di sana aku mulai bermain dengan kepiting
menghindari capitnya yang lihai
lalu menari klikitong*) dengan tambur kaleng
sebagai anak bumi yang rombeng
*) Klikitong: Musik
tradisional masyarakat Siau yang terdiri dari tambur (Tagonggong) dan Kulintang
besi (Nanaungan) untuk mengiringi para penari dalam mengekspresikan rasa ucapan syukur masa panen.
PERAHU DARI KENANGAN IBU
aku
lahir di atas rawa
dengan
sirene dari mitologi perahunya
kayukayu
mas yang lembut mempersembahkan
bau
getir lumpur yang karib mendekap
bahwa
tak kebetulan aku ada
di
jembatan puisi yang ia gubah
apa
yang belum kunjung tiba
diangkut
sungai, dihempas ombaknya
perahu
berlabuh di kenangan ibuku
tak
menunggu hingga hilang bisu
karena
di sana aku mencicipi efoni
air
matanya masih bernyanyi
di
tirisan warna warni pekat langit malam
gerbang
angan dan kenangan tak mungkin terkunci
walau
waktu berlalu dan mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar