SORE KETIKA KEGADUHAN SAMPAI DI PUNDAKKU
bilamana
aku gagal jadi ayah, setidaknya aku bisa jadi ibu.
aku
akan memilih riang di sore ketika semua kegaduhan
sampai
di pundakku. dan aku memilih menampung
gemagema
kecil yang memantul dari langit, mungkin
itu
suaraku sendiri dalam pengelanaan tak kuketahui.
barangkali
aku sudah terbiasa dengan hempasan kesakitan,
akhirnya
aku memilih riang kendati kegaduhan itu sudah
setajam
pisau di urat leherku. aku takkan mati. aku takkan
mati
oleh halhal sepele. sebab kematian yang kutakuti
adalah
kematian perasaanku sendiri. memang aku akan
mengikuti
diriku seperti seorang penurut yang dengan berani
menyongsong kegaduhan dalam wajah paling elok. dan
merangkul
semua kegaduhan itu ke atas pundak yang
sudah
mulai
sepuh ini, seperti seseorang yang baru kali itu merayakan
dengan
riang kepedihankepedihannya
dan
aku akan menyesap kopi dan menanti malam segera turun
dengan
perasaan ibu yang membawa gemagema kecil yang
baru,
dan kegaduhan lain kembali menyerbu pundakku. sebagai
ibu
aku memilih riang, karena hidup hanyalah riang. di balik
wajah
menangis selalu ada wajah lain yang tersenyum. di balik
diri
ketakutan selalu ada diri lain yakni keberanian.
harusnya
aku tidak gagal menjadi ayah, tidak gagal menjadi
ibu
karena itu diriku yang sejak sore hingga malam harus bisa
menyiapkan
pagi sebagai hari buat kekasihkekasihku tumbuh.
lalu
kembali menuliskan gemagema kecil suaraku sebagaimana
seharihari
aku berdoa dengan penuh kesal dan sesal. dan
bilamana
kegaduhan itu kembali matang kembali kuserahkan
pundakku
dengan segala kegembiraan
NELAYAN DAN OMBAK OMBAK PIATU
tak
ada yang lebih bersedih dari matahari yang termangu
sepanjang
hari di atas laut kosong. tak ada nelayan
bernyanyi
ombakombak
piatu melanglang buana dengan gusar
kabar
nelayan sudah mati. seperti apa mereka mati?
seperti
kau lihat, mereka tak melaut lagi
KETIKA KOTA MENJADI HANTU PENGERAT
DAGING
kota
telah menjadi hantu yang mengerat dagingdaging
kehidupan.
kota telah menjadi pembantai paling sadis
dengan
pedang pembangunannya yang menjerumuskan
kita
kedalam pemandangan hutan beton yang menjulang
dengan
hati sekeras besi, kota telah mengubah semua
keindahan
dari halhal palsu yang begitu beringas merampas
kita
kepelukannya
YANG BERSEDIH DI PESISIR
yang
bersedih di pesisir adalah pasirpasir lenyap itu
karangkarang
berantakan tertindi bangunanbangunan
angkuh
dari zaman yang terus menggila
digilai
kisahkisah komik yang hero, yang bergelantung
ditemali
teknologi, yang lambat laun merampas seluruh
udara
yang kita hirup di pagi hari
KEMATIAN NELAYAN YANG MENGGEMPARKAN
yang
paling menggemparkan dari kematian nelayan karena
kematian
itu dirayakan sebagai keberhasilan aktoraktor
dungu
di panggung politik. sedang para tehnolog jadi rakus
karena
asuhan kekuasaan yang gagap menafsir kemajuan.
yang
paling menggemparkan dari kematian nelayan karena
kematian
itu merampas hal paling sederhana dalam hidup
mereka
yaitu sesuap nasi yang dikaruniakan Tuhan
untuknya.
tapi
kegemparannya telah runtuh di bawah
kegemparan
lebih raya yaitu dustadusta yang dirayakan
dengan
arakarakan begitu masif di atas mayatmayat
kebenaran
yang terlindas
BILA KAU TAK PUNYA KEKUATAN MENGHARDIK
bila
kau tak punya kekuatan menghardik ketidakadilan
segelah
tangisanmu. kalau tidak kau anjing
yang
mondar mandir dengan ekor kecut
di
bawah menara kuasa dibawa lolonglolong
percuma
bila
kau tak punya kekuatan elektis mendobrak
kemegahanmu
sendiri. telanlah katakatamu. kalau tidak
kau
anjing yang terlampau jinak oleh kepasifan. bagai
anak
pejabat memujimuji pekerjaan bapaknya
yang
durhaka
bila
kau tak lagi menyadari adanya barisan kemiskinan
di
jalanjalan hari ini. menyingkirlah dariku. karena kau siasia
lahir
bahkan untuk sekadar menjadi seekor anjing
KEPADA SAHABATKU SANG DEMONSTRAN
--Jimmy R Tindi
kita
telah kenyang memamah jerami dalam barisan kemiskinan
di
suatu siang yang begitu pengap oleh perasaan sunyi
kehilangan.
kita telah kenyang menyusuri gegap keributan
di
pucukpucuk gagasan memanusiakan atau melenyapkan. kita
telah
kenyang oleh tombak kekuasaan yang begitu buas
menancapi
benibenih kebaikan
kita
telah kenyang menyulut kebaikan itu di lolongan yang
tertimbun
di tengah kota di tengah menaramenara di tengah
pusatpusat
perbelanjaan saat hari begitu panas dan air mata
tumpah
di mata kita. karena ternyata kita harus menangis
memandang
kebingungan muncul dari detakkan langkah. entah
ke
mana orangorang itu melepas kemalangan
kita
telah kenyang dari jauh menatap pusat perbelanjaan. sedang
di
kantong kita hanya tersisa uang angkot untuk pulang. kita
telah
kenyang jadi penyair dan demonstran yang cuma punya
tabungan
renungan kehidupan tapi diganyang oleh ruparupa
perlawanan.
kita tak bisa membelanjakan tabungan itu. meski
hanya
untuk oleole buat cucu kita
kadang
kita duduk dan berpikir. kita telah kenyang hidup
dikesunyian
yang terpinggir. dari pinggir itu kita menatap
pusatpusat
perbelanjaan menengok lebih dalam ke
akar
kehilangan.
dan kita kenyang oleh haus saat deras hujan belum
juga
datang. kita berlindung di bawah pohon di pinggirpinggir
jalan.
kita kembali dikenyangkan hingar bingar yang lalu lalang tak
saling
memandang. kita akan kenyang oleh semua itu hingga kita
menjadi
tua dan tertimbun di bawah zaman
MUSIM ANGIN DI SAYAP ROMBONGAN BURUNG
di
lubuk pulau
rombongan
bangau dan elang terbang
ke
laut mandul dan pilu yang dalam
begitu
menjemukan memandangnya
tapi
mereka seperti ingin bicara langsung pada sejarah;
“pulaupulau
telah menjelma batu nisan kelabu raksasa
deretan
ilusi kosong dihiasi janji yang sampah”
di
sini aku memandang cinta dan kesedihan itu
saat
ia menyerat semua orang menyusuri jalan
sebagai
bukan siapasiapa
aku
menengadah ke langit
seperti
seseorang memohon wangsit
di
atas sana
seriti
mengetuk dinding
dengan
dongeng perahu lonceng
dikayuh
maut dalam gema yang berseri
di
bawahnya, orangorang kelaparan
menanti
seseorang
melemparkan
sekeping uang logam
ke
saku masa depan
dan
harihari begitu risau
oleh
kicau kelelawar
saban
angin bertiup
kupandang
pucat ribuan sayap rombongan gagak
mereka
seakan mengepak
memburu
pikiran terlanjur berkarat
sedang
di pantai
ribuan
nelayan tampak seperti pemeran
memerankan
mayatnya sendiri
di
ribut dramatisasi laut mati
tak
lagi punya sepotong hati
PULAU
DAN NELAYAN
anjing terbaring, kucing berkeliaran
sepanjang dongeng, sepanjang pulau nelayan
mereka duduk berbaris
bagai tunastunas kesepian
kadang termangu, tepekur
memeluk tengkuknya yang cemas
tak jauh, hanya beberapa depa*) ombak
para pemabuk
meneguk nasib:
Pargo…
Pargo…
irama berlayar terasa pejal
perahuperahu pecah labuh di hulu dada
Pargo menangis
tempias sendu ke bisu pasir
bulan memintal air mata
menganyam temali pasir
menyambung musim teduh lewat siasia
lalu cecer kembali ke tanah yang menangis
pemandangan melegam kemudian
dan kemudian senja jadi berawan rawan
beradu susunan gelombang
mengucap salam perpisahan
sebagai nelayan
Pargo hanya bisa menggumam
di kedalaman diam saman
lalu, seluruh pesisir dikepung batu
temboktembok kota
persis di jejak perahu
*) Depa : Ukuran serentang tangan
dalam bahasa melayu Manado.
SUATU SORE DI KEDAI PANTAI
kuteguk
tuak dan asap
meja
filsafat
rutinitas
ombak
lalu
kesaksian super blok
tumbuh
berderet jauh ke selatan
membatasi
mata
bagaimana
kita memadu makna
matahari
tenggelam
dan
burungburung
mengupacarai
lengang senja
di
utara
rumah
lepra
dan
gereja menjalar bagai gurita
mencekik
leherku
pedagang
dan buruh pelabuhan
mengauh
bayangnya
mereka
tak bisa ke manamana
kecuali
gelisah
semua
gelisah
juga
puisi yang berbaris dalam kepala
percakapan
meninggi
melumpuhkan
pijakan
tumpah
ruah sebagai kota
sebagai
kota
riuh
dan bertanyatanya
ada
bunyi tabrakan
hari
sudah sore, Jane
mari
pulang melintas malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar