SEUSAI
MUSIM TIMUR
seusai musim timur
di bandar, Baabullah
Daud Syah*)
terkenang amanat ayahnya Hairun:
“alaslah seluruh tanah timur dengan sejadah”
dari laut baru pulang beberapa perahu Kora
tamburnya menggema hingga relung istana
o Baabullah sultanku, kata seorang kapiten
bulan sabit kini merekah di Nusa Utara
dan tanahtanahnya sujud
hanya kepada Allah
tetapi…
Baabullah mengangkat dagunya
ia menangkap mata murung serdadunya
tak sedikit…
tak sedikit darah tercurah,
tercurah di jejak kami!
air mata membersit
mengisi telaga hati manusia
“begitu hati yang manusia”
aku berduka, kata Baabullah
karena berduka itu irama sanubari manusia;
yang mencari rempah akan mendapatkan rempah
yang mencari Allah akan mendapatkan Allah
usai berkata, Baabullah kembali masuk ke istana
kembali mengenang amanat Hairun ayahnya
*) Baabullah Daud Syah: Sultan Ternate ke empat (1570-1580)
mengantikan posisi ayahnya Sultan Hairun yang terbunuh dalam benteng Portugis
atas perintah Musquita. Ternate adalah kesultanan Islam yang tangguh dan
merupakan suatu kekuatan social di timur di jaluar paling marak perdagangan
rempah (Lada, Cengkeh dan Pala).
JEJAK
PELAYAR
ombak memukul lambung kapal
menanggalkan musim September
dulu dikeramatkan
dan aku membaca jejak pelayar
Tome Pires dan
David Haak*)
di jalur utara selatan
menamai pulau dalam catatannya
kapal dulu tiba
dan kini berlayar
masih di jalur memar
menggelayuti toponymy
arakarakan rempah dan budak
tapi jangan kaukira aku mau pergi
ke bandarbandar tak dikenal
perahu cadikku punya laut sendiri
tegar berlayar sejauh akar kalbu
di mana camar merumahkan keluh
kendati sejarah itu
seperti jarum arloji terus mengulang
detakan yang hilang
hati yang bimbang
*) Tome Pires: Sebelum dan sesudah jatuhnya Malaka pada 1511
eskader kapal niaga Eropa ini menulis kesaksiannya dimana kerajaan-kerajaan di
Sangihe Talaud sudah punya hubungan dagang dengan Jawa. David Haak:
Seorang perwira muda di tahun 1689 menulis catatan harian tentang kebaharian
orang Sangihe Talaud dengan perahu sendiri melayari jalur-jalur perdagangan
hingga ke Batavia, Malaka, Manila, Siam dan ke berbagai wilayah Nusantara.
SETELAH
BROWN*) MENULIS PULAUKU
o nusaku
yang seluruh gunungmu puisi
bila laut menitip buih ke paruh kalibri. terbanglah
terbanglah
kian jauh terbang
terbang ke gerbang cahaya dirindu pendaki
bila dulu telah tiba syekh dan paderi. biar
biar aku mendoakan diriku sendiri
dengan garis nasib dan kelabu tubuh
akan kurempah
dengan lautku yang biru
*) Brown:
Seorang penulis Eropa yang menamakan kepulauan Sangihe Talaud sebagai
“Archipelago of Tears” (Kepulauan Air Mata).
PELAGOS
moyangku pelaut yang tahu
di mana letak tujuh belas mata angin
luas cakrawala
persegi bintang
pembujur arah
dan arus tak bisa sembunyi darinya
perahunya menderap sebijak mantra
syair tubuh menjelma diri yang nyata
karena itu…
karena itu datudatu bernyanyi;
mendetaki laut ini
mendetaki gelombang dalam diri
begitu kami menebah pagi
pada semua suara burung
mengicaukan pulau
bagai katakata bestari
di puncak Cempaka dan Turi
mantra tak pernah mati
menegakkan tradisi
dari zaman flake
dan blade
setelah batu
moyangku menempa perunggu
mengolah lempung di sulur sejarah periuk
karena ia ingin menggarami hidup
--dan kami mau hidup
logamlogamku akan berdencing
serupa moyangku menghalau bajak laut
di medan perang yang kukenduri
aku dan moyangku pelaut
kami tahu di mana letak maut;
hanya sejauh khilaf
dan sungut
PERAHU
SAJAK
dan kuteguk perjamuan tradisi lautku
di bumi Bantane, di laut Kolokolo
melati dan angin
pusarnya dalam diri
di sanalah sajakku
menetaskan perahu
dengan gairah batang yang kokoh
kutembus tujuh belas mata angin
musim tak bernama
kurempah dengan bilah mata puisi
pabila bungabunga matang merekah
kukunyah wangi
dan akan terhunus ketajaman mata rajawali
mata bintang memancar kesturi
karena hatiku mencari
perjalanan
diri kembali
dan aku luluh di kisah heroik;
sepeta pertempuran
sepeta tradisi
kusisip di lubuk hidup yang kembali
TEPIAN
PERLINTASAN
di tepian perlintasan jalur rempah
sulit dibedakan bajak laut atau pedagang
mereka datang
samasama dengan agama dan pedang
saat perahunya tiba
suara geram dan garang bagai buku
mengabar Tuhan yang remuk redam
perang berkecamuk
dan abadabad melanjutkan
cacahan hasta
pada bahtera selalu runtuh
tak ada yang terselamatkan
arah dan tujuan tenggelam
selepas Malaka
mereka menebar katakata
seakan biji sesawi
tapi
tak ada kusuka dari bengisnya
kabar lain datang dari Pasai, Sulu dan Goa
meretaki doa lebih dulu merekah
di tepian perlintasan jalur rempah
moyangmoyang tabah
memberiku laut baru
mesti kutempa
PUSAKA ARUS
pusakaku
silsilah dan arus
adat
dan camar berkesiur
burungburung
dan penyair menetas
beriburibu
syair bayangbayang hilir
dilangir
ibu ke jiwaku yang Sangir
bilamana
arus menderas
seberdaya
apa aku di hadapan gelombang
jika
kekuasaan tak beguna
adat
istiadatlah yang mendekatkanku biru semesta
saat
petualang tiba
para
pedagang mencium bau rempah
dan
Marcopolo bertemu pelayarku
di
sebuah perahu dan buku
menyebut
perahu
bukan
besar kecilnya kuukur keberanianku
liar
dan hujaman gelombanglah guru
sejarahnya
memberi kita arah dan tubuh
laut
itu
tempat
silsilah adat dan maut
hanya
yang taat disebut peraya hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar