DARI SEBUAH
HUTAN MASA
di hutan masa.di harihari yang silau. di laju kereta
yang bertalu. di gaduh wajah benalu. kudengar.
kudengar
suara harimau. suarasuara binatang buas. menggertak.
suarasuara licik merinsek. dan sebuah palu seakan
runtuh
dari langit meledakkan kegemparan. meremukkan
keadilan.
dan kudengar ledakkan kegemparan lain menyusul dalam
wujudwujud peluru, bom. dan gas airmata. dan
pidatopidato
kembali terlontar membusukkan udara. menyesakkan
jalanjalan. menusukkan luka lama ke dalam kini yang
tak
bersalah
aku di jalan sunyi ketika semua itu terjadi. karena
sajaksajak
dipalang. jalanjalan dirimpang. bukubuku kembali
dibakar.
kejernihan dicabikkan di rusuh katakata. tanpa arti.
karena
hanya atas
nama. dan atas aturanaturan aneh. menyihir
ketakutan ke dalam hati yang sesungguhnya sudah lama
terpiuh dihantam keterasingan. daya hidup yang
terasingkan.
tanpa waktu membaca. tanpa hari mencerdaskan diri.
tanpa
kesempatan menghaluskan budi pekerti. semua seakan
dipaksa bekerja di atas lautlaut yang lama mati.
tanahtanah
yang lama mengering. petakpetak kebun yang lama
dilalap
banjir. kotakota yang lama terbiasa meledek
kemurnian hati
nurani. dan kudengar jeritanjeritan telah tumbuh
seakan bibit
api. menangisi ceruk tanah. menyusupi lipatanlipatan
diri
ketika semua itu terjadi. beribu bayi baru
dilahirkan kembali
dalam sajakku. mereka menatapku seakan meminta
matahari
ditegakkan kembali. buat masa mereka. buat dini hari
di esok
pagi. di sinilah sajakku menolak mati.
ANAK
ANAK DUSUN MINAHASA
hari itu, udara bagai keringat merambati
jariku. barangkali
tawa riangku didengar akar pohon. dan
seribu bidadari dari
dongeng purba menggetarkan cabangcabang.
sebuah bait
tak cukup untuk pemandangan ini. karena
anakanak dusun
yang berlari meriangi humanya itu lebih
cerita dibanding
puisiku yang bakal tidur di sebuah buku
langit dan dandanannya serentak merentak
gadah
saat aku menulis anakanak dusun Minahasa
di atas petak sawah yang bersemi
dalam warna tengguli dan katakata
berbunga
padahal baru kemarin di lembah utara
semua kataku merana
oleh pesona suara gerisik daundaun padi.
tujuh angsa putih
di telaga dan bangaubangau yang
mengepaki udara. semua
turun memasuki sajakku bersama gembira
anakanak desa
di tengah tanah Tuhan ini bagaimana
mungkin sajaksajak
melampaui kemuning dan sayapsayap burung
kecil yang
berpesta. aku seperti sebatangkara yang
mengupacarai bau
kana, bau tanah bertubitubi mengaji
ruapan makna pelukan
tersaji bagai gelombang saat aku pulang,
saat aku hilang
AKU
YANG SERBA BERLATAR LAUT
aku yang serba berlatar laut ini adalah
pasirpasir
terempas dari gelombang dan bukan
gelombang.
arus yang kau janjikan telah sampai di
rumah suram
merasuki dinding dengan horror
sentimental
dongengdongeng raksasa. aku bukan
protagonist di sini
semua protagonist sudah mati dalam
cerita ini. hanya
entah nampak sebagai sosok menahkodai
ombak kian
hari kian hitam kian ke mari
dan saat entah tiba di Bandar. semua
sudah pikun ternyata
hutan benton yang dipuja, astaga!
memerangkap berton
liur dan airludah.kuyup tertimba dari
sumursumur entah lain
yang kumal yang limpahruah
mari bicara sebuah gembok! hanya dusta
yang bisa
membukanya! dan aku yang serbah berlatar
laut ini
tumpah bersama wujudwujud sampah rumah suram
berdinding horror sentimental
dongengdongeng raksasa
“sudah usai jaman pahlawan petualang”
tulis korankoran
di kota para pikun itu. semua adalah
mesin pejajan iklan,
pelahap beritaberita murahan, agama
rumah suram
berdinding horror sentimental
dongengdongeng raksasa
dan semua kekacaubalauan muncul dari
dongengdongeng raksasa
itu. raksasa yang menjakartakan semua
tempat, yang
menyumbat mulutku yang entah. dan aku
yang serba berlatar
laut ini adalah pasirpasir terempas
ORANG
ORANG TIMUR
di bawah langit. di paras awan gemilang. aku mencari
diriku
dengan sebilah kapak. karena ingin kuhacurkan
kegetiranku
jiwaku berserakan dalam udara rawa.
dalam cengkerama
jentik berwarna jambu, memercik air
kelat ke mukaku. aku
membaun harum rumput liar yang membasuh
kesedihanku
tapi di bawah pohon, di gundukan akar
pikiranku terbakar
aku tak punya tempat di pondokan.
bersila di tengah kawalan
zirah dan tombaktombak berjejer
mengintai matiku.
orangorang menyanyikan kembali suara
Wage di sana
tapi siapa aku di bawah patungpatung
gagu itu. aku
tak punya tempat bertukar pandang.
apalagi bertukar
pikiran. aku selalu bukan yang terundang. aku berdiri
di tepi samudera menghayati kehilangan
yang luas ini.
semacam orangorang permesta dan kereta
pertempuran mereka yang masih tersenyum
melewati
tanjakkan sejarah begitu perih
aku tak punya tempat di perahu. semua
diberati ruwatan
bunga melati dan bayangan kami bersedih
di sepanjang
timur dengan punggung terus dilecuti
cemeti. lihatlah
aku bersajak seperti seseorang di luar
tembok. para penjaga
yang galak dan anjinganjing mereka yang
terlatih
memelototiku. o sungguh angkuh kalian
padaku! kapakku
sudah terhunus untukmu! karena aku tak
punya tempat
di bawah kubah berhias tenunan suci yang
kau keramatkan.
biar aku mati di bawah pohon yang tahu
gaduh hatiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar