PIDATO
KEBUDAYAAN DI HADAPAN KUNANG-KUNANG
(Sekadar Catatan Dalam Rangka
Hari Puisi Indonesia)
Oleh: Iverdixon Tinungki
Setiap
penyair punya kesunyiannya masing-masing, kata Chairil. Demikian kehidupan,
punya kemuliaannya masing-masing. Di antara dua kutub itulah aku hidup, dan
merayakan hidup. Karena hidup terlalu megah untuk tidak dirayakan, kata Umbu.
Dengan puisilah aku merayakan hidup. Merayakannya dengan cara memuliakannya
sekaligus mengkritisinya.
Sepanjang
ini aku baru menulis seribuan puisi. Dan aku ingin menulis sepuluh kali lipat
dari apa yang sudah kutulis. Karena puisi adalah cahaya diri, cahaya kehidupan
itu sendiri. Puisi tak akan pernah kehilangan cahayaNya, kecuali kita
membacanya dengan jiwa dan perasaan yang mati. Puisi adalah ujung dari
pergulatan pikiran dan medan terdalam dari perasaan yang dikelola untuk
mencapai kemampuan dan kekuatan elektis memperagakan kebebasan.
AKU PERNAH SAMPAI DI ARANGKAA
aku pernah sampai di Arangkaa
di dusun kering
di tempat mimpi selalu tak mungkin
dan
luka api masih berdarah
seuntai
lagu di langit
dari suara seekor kunang
dipantul dinding batu
mengkremasi kujur tua bulan kesepian
aku pernah sampai di Arangkaa
di
padang puisi yang luput ditafsir penyair
dan
senja lenyap di tanjung
bagaimana
membedakan riang dan kabung
di bawah patung Larenggam*) letih setua abu
dan sudah senyap perayaan suasa pemetik tradisi
hanya bau angus catatan sejarah
tengkorak hancur dalam gua
seorang nenek tua bungkuk mengayam pandang
dengan kemerdekaan irama jarinya
ia tak punya sehelai bendera
buat dikibar bersama duka
Sejatinya, jalan
menuju puisi adalah jalan tanpa ujung berhenti. Semacam upaya terus menerus
membongkar diri, mencari penghayatan yang dalam dan sublim tentang hidup dan
kehidupan. Karena ada yang selalu menarik untuk diburu, ada yang selalu meminta
untuk ditulis. Kesadaran dan perasaan ini barangkali yang muncul dalam
ungkapan, “puisi yang baik dan indah selalu berupa puisi yang belum ditulis”.
Setiap kali aku
menyelesaikan sebuah puisi sebagai titik pencapaian dari pencarianku, selalu
terpampang kembali rute lanjutan dengan setangkup keterpesonaan yang baru.
Sebab, pada akhirnya seorang penyair akan berusaha menempatkan puisinya dalam
situasi yang bebas, dimana ketika penyair mencapai titik kehidupan manusia yang
bebas pula, menjadi individu yang memiliki kemampuan impulsif yang serba
spontan. Di rute inilah menurutku seorang penyair tumbuh dan berkembang dengan
seluruh pengalamannya yang disebut sebagai proses kreatif kepenyairan. Proses
kreatif inilah yang barangkali dimaksudkan semiolog Roland Barthes dimana
penyair adalah subyek yang terkonstruksi secara sosial dan historis.
ANAK BILALANG
di Bilalang seorang anak bertanya kepada menikulu
pantai itu apa. suaranya bak pekik hutan rimba di siang hari
ketika dering telepon genggam mengajak percakapan
tanpa batas antar benua. di siang hari saat pesawat ruang
angkasa sedang menjelajahi bimasakti. di siang hari ketika
bandarbandar begitu sibuk meladeni kapalkapal datang pergi.
seorang Guhanga menjengkal bambu di tanganya. mencari
jawab pantai itu apa. anak itu kemudian berjalan ke sekolah
melewati jembatan bambu yang terpacak di atas rawa dan
kuala. mereka ke sekolah karena ingin mencari jawab Bilalang
itu di mana.
di sebuah rumah Sigi para
penari tayok berdiri. mereka letih
bertanya pada leluhur sakti dimana matahari tidur malam nanti.
gerimis menyaput Bilalang. bunga liar mengambang di bentang
zaman. makanan tersaji di palapag diriangi siuran kutilang dan
angin yang mendengking. namun lengang itu
seakan jimat
dikolom yang melingkar lengan.
o… aku harus menyebut Mongondow dengan cermat saat
anakanak itu bertanya kembali pantai itu apa. pantai itu, kataku,
tempat dimana kita bisa melihat Ketegi
Bontong membawa matahari
mengembara ke manamana
Menurutku,
puisi yang baik dan indah itu lahir dari seorang penyair yang tahu apa yang
akan ia tulis, mengerti apa yang akan ia tulis, dan memiliki kemampuan teknis
untuk menuliskannya. Hal inilah yang disebut sebagai kemampuan impulsif seorang
penyair dalam melahirkan puisi secara spontan bahkan kadang tidak disadari sang
penyair sendiri.
SUATU HARI
DI PULAU KAWIO
siapa menyangka
pernah tiba di sini
Juan Sebastian del Cano*)
atapatap hijau mangrove
dan laut yang kutatap
diramaikan ikan bersirip dan kakap
kubayangkan kesepakatan Tordisalles*)
semua samudera baiklah disusur
sebagai bukti bumi bulat bagai bola
dan di tebing batu pasir putih ini
kapten del Cano pertama kali menyakini
manusia tak bisa lari dari peta hidupnya sendiri
aku mendengar ada musik hispanik
diramu malam dusun
mengiringi penari
di pesta hari anakanak bumi
aku ikut bernyanyi
dan menghanyutkan lamun
jauh ke sana ke layar masa lalu
yang berarak mencariku di sebuah pantai nan bisu
Kesadaran
yang mendasari proses penulisan puisiku yakni dimana puisi merupakan cerminan
sekaligus kritik atas realitas. Puisi sebagai sesuatu yang berkaitan erat
dengan jiwa sebagai resepsi emosi manusia dari realitasnya, juga sebagai
representasi realitas, dan ekspresi manusia dalam menanggapi realitasnya. Puisi
tak sekadar permainan kata tanpa makna, tapi penggalian dengan diantaranya
spirit merevitalisasi ruh ibu budaya dengan wawasan estetik penyair pada konsep
puitika yang tak dapat dilepaskan dari ibu budaya yang melahirkan dan
membesarkan penyairnya. Menulis puisi harus dicapai dengan kesungguhan, kedalaman,
dan semangat meraih capaian estetik sebagai bagian inheren dengan proses
kreatif penyair.
Kadang
secara seksama mencermati, merekam, mencatat, dan menumpahkan segala pengalaman
hidupku berhadapan dengan realitas keseharian, latar sejarah, kisah dan
kehidupan masyarakat ke dalam puisi. Kadang juga aku menulis karena
keterpukauanku pada alam, pada pohon, tumbuhan, burung-burung, pergerakan awan,
matahari, bulan bintang. Aku sering terangsang untuk segera menuliskannya
sebagai puisi, seperti seorang pelukis yang langsung melukis impresi-impresi
itu pada kanvasnya. Aku mempelajari nama-nama tumbuhan, hewan, memperhatikan
morfologinya, anatominya, tingkah lakunya untuk bahan-bahan puisiku. Setiap
terjadi gejolak dalam masyarakat, aku berusaha untuk memahaminya apa latar
belakangnya, faktor apa yang mencetuskannya, apa akibatnya, lalu kucatat dalam
puisi.
CATATAN MUSIM
hari
itu musim yang luar biasa
kau
mentraktirku kopi Afrika
di
café bernama Cabana
di
luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan
gemanya yang merana
perahu
nelayan
dan
burung layanglayang
meneguk
duka
sebilah
puisiku masih terluka
seorang
pemetik gitar
mengonserkan
lagunya;
Killing Me Softly
--entah kepada siapa ia
berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum
tumbuh dan bernyawa
tapi
kubaca matamu
bagai
etalase esok dipenuhi musim semi
sejumput
rumput bisa seindah melati
aku
pun ingat fotomu saat di Eropa
ada
yang menggerah di tepi dada
jejak
buram sepi sebuah jalan
tak
bisa kulalui
kecuali
kususun rapih
--kendati
barangkali kisah ini bakal dilalap api
lalu perlahan kau
bernyanyi
dengan petikan musikmu
sendiri
lagu
itu tertelan sebagai ampas pahit
dari
gelas bakal kukenang
bakal
kubawa pulang
--sebagai
kopi dan maut yang menagih
Sebab,
aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui
biografi rambutmu
dan
kecemasan
gegas
menusuk setajam panah
aku
bakal mati di rambutmu karena;
“begitu
cantiknya kau”
sungguh
aku luput menyimak
betapa
puitisnya sayap Balam
ia
menyempurnakan kitab senja
harusnya
kukecupkan jelang pulang
Dalam
proses penulisan tidak selalu kerjapan-kerjapan inspirasi, atau
percikan-percikan imajinasi yang kutemui dan kudapatkan itu langsung kutulis
menjadi puisi yang selesai. Ada tahapan mengendapan, kontemplasi, dan studi
refensi terlebih dahulu, baru menuliskannya menjadi puisi. Tahap akhir adalah
melakukan selfcritique atas puisi
yang sudah jadi. Tahapan selfcritique
merupakan finishing dengan melakukan
aktivitas pengeditan dan atau melakukan pertimbangan akhir pendiksian.
Seperti
seseorang yang berperahu di atas samudera syair ilahi yang luas. Kian ke sana,
kian terasa baru sedikit saja yang kuketahui. Tapi, sebagai penulis puisi, aku
ingin merayakan kehidupan di tengah pengetahuan yang sedikit itu. Sambil
menyadari dalam menjalani kehidupan selalu ada yang patut dikritisi, dan ada
pula yang patut dimuliakan. Ada yang patut dikenang, ada yang patut dibarukan.
Dengan seluruh kegembiraan kumiliki, aku menumpahkan perasaan-perasaan itu ke
dalam puisi. Dalam menulis aku berusaha dengan caraku sendiri, dengan bahasa
kumengerti, dalam suasana akrab dalam keseharian kujalani. Aku berusaha keluar
dari romantisme sejarah, dengan kesadaran bahwa masa lalu tak mungkin
dihadirkan ke dalam kini secara persis. Disinilah tafsir dan pemaknaan kembali
menjadi penting.
DI SUATU WAKTU SAAT MUSIM TERASA DINGIN
di
suatu waktu saat musim terasa dingin
engkau
bertanya; siapa yang menunggu kita
di
tepi usia beranjak tua
engkau
lalu merasa begitu piatu di tengah hiruk pikuk
terbakar
oleh mau yang melepuh
hariharimu menjadi bait petir
menghujam dasar kalbu
lautan
hati semacam ini sudah pasti sesesak stasiun
digemuruhi
taufan suara gila
plangplang
penanda lintasan watak ganjil
merayakan
penyesalan yang siasia
engkau
telah lama terpenjara bayangbayang
janjijanji
palsu bakal lenyap di jamban peturasan
padahal
betapa sungguh luas tanah air kita
siap
merengkuh semua yang meretih di dada
tapi
apa yang tumbuh di ladang usia
kalau
bukan ingatan samar tentang segala memar
engkau
telah lama menyarungkan pedang
membiarkan
gelombang lelap sendirian
hingga
semua sejarah ketajaman pikiran terlupakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar