DI DEPAN KLENTENG BAN HIN KIONG
seekor
naga dari batu
di
hari tanpa daun menungguiku
tak
seperti lima puluh tahun lalu
kini
ia mengajakku berperahu
kami
pun mendayung
ke
sebuah laut
yang
tak pernah didatangi maut
arakrakkan pijar lampu
menembus asap dupa
dan panas kegembiraan membubung
membentuk tekstur terang ke bentang
gelombang
tak ada senja melampaui
keindahan senja kali ini
bahkan ingatan bau pohon pinus jadi
begitu samar
dan semua gema seakan tak mampu
berdiri
di bawah mantram seribu lilin yang
mengayuh doa api
naga itu menegak
riangnya tak mungkin kutebak
“ini laut benakmu
laut paling teduh
tak bisa ditipu oleh akal bahkan
ilmu”
-- di sini, kata naga itu
tak ada musim dan sejarah
yang menunggumu semata ketenangan
dan burung pelikan yang bersayap
nyanyian
saat kami kembali
seseorang bertanya; mengapa kamu ada
di sini?
aku baru kembali dari benakku
sendiri, kataku
menjinakkan diri yang liar dengan
sebuah kemudi
PADA JEJAK
YANG KUANDAI
memang hari akan selalu lewat
dan rumputrumput merunduk
merangkumi sepi
sepi yang menggaduh di atas semak
di atas tanah yang kucintai
loncenglonceng akan mendentang
menelusup
tapi apa berlindu di akar kematianmu
lagulagu berkilau dan berlarian
karena di permukaan kertas engkau kini kusajakkan
kusajakkan pula kelopak ciuman yang fana
dan maut berbisik dari kesunyiannya yang memesona
bunyi gerobak mendecit dari jauh dari padang suara
barangkali petani bakal naik ke pembaringan
menghadap ayunan mimpi bunga kol pertama merekah
menegak seperti bendera
dari sulur ke sulur
memekik dengan suara menghibur
barangkali pula aku ingat
aku terlalu ingin memanen cinta di selasar
yang dikuncupi beriburibu melati
juga linang suara yang mencandu di nadinadi gema bumi
tapi ini sore hanya jejak angin berbau pohon Waru
waletwalet tampak gelisah menatap gelap
kian kemari kian menusuk kalbu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar