KEPULAUAN AIR MATA
sudah
lama aku tak mendengarnya
bahkan
sejak aku lahir
ke
mana perginya suara Sangir
dulu
Bitapapero mengemudi
perahunya
mengetari Sulu
kini
di Ulu hanya lagu pilu
syair
tua malu dimainkan penabuh
hingga
ke Manginitu puisiku
ke
Arangkaa kususuri jejak perahu
pucukpucuk
dahan mendekap garam
memandu
kesuraman
nyanyian
beriburibu balam
sejak
lagu ibu tenggelam di biru kedalaman
bapak,
aku memuisikan dukaku
dari
pesisir ke pesisir
apa
yang dapat kubuat abadi
seperti
pengali
aku
bertemu hanya sebongkah diri
di
atas jejak tangis sejauh mana pergi, bapak
pulang
aku di kepulauan air mataku sendiri
melanglang
ke pulaupulau ini
melanglang
ke luas sanubari
hanya
Tuhan saksiku
aku
tak bisa lari dari hatiku yang pedih
dan
batu kecubung berbagi umban ke dahi
di
ujung perjalanan paling letih
terasa
sedang
sejarah dan matahari hanya meniru usia
aku
tak boleh mati sebelum bertemu suatu pagi
PENYAIR
TUA DAN MUSIM BERLALU
rinduku
pada ukulele
serindu
aku pada aime
petang
datang, malam kian dalam menikam
aku
kuatir pada usia retak dan matang
pabila
kukenang
harapan
bagaimana ia mengalir
selalu
hanya segenggam pasir
apa
bisa disatukan ingatan dan angin
rinduku
pada ukulele
rindu
penyair
dan
musim selalu punya hulu dan hilir
petang
datang, malam kian menikam
tinggalah
aku di tepi pesisir dingin
memandang
nelayan, bau garam lekat di lengan
tapi
lidahku tercekik sepi
aku
kuatir pada usia retak dan matang
penyair
tua
dengan
angkatannya yang terdahulu
meninggalkan
tugutugu penghibur
tapi
rindu dan musim lalu berlalu
di
laut bertalu gelombang ragu
maka
kusajakkan pulauku
seperti
penabuh congga menghidupi tradisi
sambo
dan pelautpelaut lorca
mengawinkanku
dengan copla
di
balebale aku bersenandung
kendati
tak tahu apa mesti kuhibur
tak
jua hatiku, tak jua etape pelayar mati itu
sejarah
eskader kita menyusut ke ajal mimpi
dan
semua kisah perahu jadi semu
sesemu
rinduku, rindu aku pada aime
di
sini aku mengunyah pilu pulau dan laut
dalam
kelabu sajak mata camar
serindu
apa kau padaku
aime
PADA KATA LUKA MAHONI
--A. Syubbanudin Alwy
buku
yang kau tinggalkan
jadi
kembaran cahaya ibu
melahirkan
kita
pada
kata luka mahoni kaugubah
ia
menyematkan hujan arak di tenggorokan
dan
sepatah kata kotor muntahan
tergeletak
di jalanjalan
di
halaman panjang
di
beranda nakal tempat kita menghabiskan hari
tak
kutemukan perpisahan matahari
karena
diri adalah api dari cahaya itu sendiri
tak
jauh, sebuah pulau terpekur serupa dinosaurus
menunggumu
dengan punggung diliari ilalang
masih
di tempat lelapnya
menagih
janjimu kembali membangunkannya
badik
kauh asah dan jaket coklatmu
membentang
tanah lain dipenuhi ilham
lihatlah
aku menulis pertempuran dingin kecupan
di
halaman laut yang kesepian
aku
mulai dari batu
batu
penyangga dermaga tempat datang dan pulang
tempat
kita menunggu bulan menjadi tajam
menusuk
malam tenggelam bersama silam
lalu
asal usul perahu kau pertanyakan
selalu
pecah bersama pangkal akal yang tumbang
harihari
susah kita susupkan ke binar mata
di
harihari liar itu
sepatah
kata kotor memuai bak balon raksasa
terangkat
menuju sarang api lain yang kita takutkan
dan
telah mendidih semua kesakitan
datanglah
kembali ke tanah perjanjian nuh ini
dengan
topi bulu rusia dimusuhi anjing
lolongnya
telah sampai ke hutanhutanku
mengertaki
nuri di ranting mahoni
yang
sama kita puisikan
KUDA
KETIGA
sembilan
bulan di dataran tinggi
sejak
itu dongeng pulau
mengaji
cempaka dan melati
karena
tak ada yang lolos
tanpa
mengaji diri
di
sana kuda pertama dibesarkan cambukan
berlari
secepat rasa sakit menderah
debu
berhamburan
tempias
seolah diorama air mata
kuda
itu mengitari kota dan pedusunan
mencari
sampai letih, sampai rebah
sejarah
kesakitannya
dan
malam yang berduka
membuka
langit semua kata gelisah
kuda
lain datang
itu
kuda kedua, bukan siapasiapa
hanya
kuda balapan
kuda
para pemuja kepalsuan
melesat
cepat
dipacu
ledakan gairah palsu kegembiraan
seperti
kembang api mengungguni musim
kemudian
hilang sebagai diri
di
mana kuda ketiga?
hanya
ada kuda perang, kuda para ksatria
dengan
pelana agungnya
bertarung
sampai mati
persis
di siang hari
saat
mimpi tak dipertanyakan lagi
dan
lantana menjalari makna Naura Dava
api
tradisi cinta
menjulurkan
sayap malaknya
terbang
menuju pulau abadi
dengan
sembilan kuda baru lahir kembali
PADA
BURUNGBURUNG
aku iri pada burungburung
yang beterbangan
yang menakik bisikan musim
yang sayapsayapnya terus mengepak
pada camar
yang merayakan alam bebas
yang sepanjang tarikh
tak jua membenci kesunyian
bahkan yang mengendong anaknya
menyelusup
sejauh kedalaman
getar riang
yang mengolah koyak perahu
jadi buihbuih berpadu
dalam bau asin
dan lengan kekar arus
aku dan kotaku
hanya wujudwujud pelalap semua hari
bersimbah…
bila bukan debu
pasti katakata beku
TANAH LAHIRKU
aku menungguimu
serupa getar pohon ceri
dan puisiku
beterbangan seperti burung jalak
gontai bagai pemabuk meneriaki bayang penyamun
karena aku tak
ingin kehilanganmu
sedetik pun aku tak ingin
tak mencintaimu
tanah lahirku
sampai daundaun
ceri lepas
mengalas tanah cemas
bahkan ketika aku
sudah mati
cintaku terus
tumbuh bertunas
merenda musim dan
kedinginanmu
lihatlah harapanku
berperahu
di atas cinta berkilau
meresapi laut tibatiba
bersemi
seindah tiara memahkotai
hatiku
kendati…
lebih banyak anak
sepanjang saman
meninggalkan pulau
karena ragu mencintai
terpikat pesan
benua jauh
lalu terpuruk
dalam mati penuh penyesalan
karena tak merasa mencintai
tanahnya sendiri
mereka generasi
dengan paras bejat
tak ingin
menyentuhkan tangannya pada rumput
dan para pemimpim
dengan daya bayang tumpul
menyimpul tanah
lahirku seperti erena dadu
patung batang padi
mengitari sawah kering
dan pemandangan
orangorangan pengusir burung
semua bajunya
koyak
melambangkan
kemiskinan itu membuat untung
o…
sungguh menyedihkan
semua itu
dalam kesedihan
aku kian dalam
mengerti bagaimana longusei
dan melati putih
mengupacarai tali pusarku
saat pertama kali
menyatu dengan tanah kucintai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar