PUISI-PUISI KARYA IVERDIXON TINUNGKI
FRAGMEN
100: Kantata Hari Tua
ada masa dimana kita akan duduk di bawah sebatang
hening
sebagai angin yang tumbuh dari dongeng kesunyian.
dengan
gagah mengenakan mantel serbuk dan abu yang digenapkan
sebagai wujud yang sulit dimengerti. ada
masa dimana kita
akan menyulusuri gunung dan lembahlembah
penantian
sebagai uapuap yang mengapung. penuh
perasaan senang
merayai bisu berlompatan di pucukpucuk
kembang. ada masa
dimana kita akan mencair dalam doa dan
ingatan yang
mengalir sebagai panahpanah tajam melucuti
gelombanggelombang kesedihan. dan burung
burung merpati
putih datang beriringan ke atapatap menjemput
nafas
gagap dan suara pasrah yang terselip dari
sebuah hari tak
bersayap. ada masa dimana kita akan melenting
sebagai bunyi
piano di tangan perempuan berurai airmata
dan anakanak
parau melontarkan kenangannya ke batubatu
diselimuti
lumut dan namanama tertutup cendawan.
sementara di
baliknya sebuah dunia terus berlangsung tak
dapat dihalangkan.
bahkan oleh tangan dan pikiran yang terus
saja mencoba
bila masa itu tiba, kabung
hanyalah daundaun lisut tanpa
katakata merayakan cahaya mengiringi
sesungguhnya
perjalanan rahasia yang diolah
dari tanah ke bentuk api abadi
di sebuah peta buta sebagai
rumah keheningan kekal bernaung.
bila masa itu tiba, tak ada
penyesalan lagi. tak ada percakapan
buat menggugah. semua akan duduk
sebagai butirbutir yang
telah kudus di sebuah etalase
yang tak pernah mengenal isak. dan
tangantangan kepastian terangkai
atas nama kemegahan yang
gaib meretih percikanpercikan
lagu tentang sungai tak pernah
kering itu. sungai yang kita
kenal sejak lahir di kitabkitab kebaikan
yang dicetak dari unsurunsur
bumi dan langit untuk satu nama
bagi kita semua
FRGAMEN
99: Kali Ini Dalam Sajakku
kali ini dalam sajakku pohonpohon tumbuh menjalari
gelombang kesunyian. dan kenangan kian lama
kian
asing dan engah. dari fasifik berhembus
angin tua
mengangkat sayap belibis seakan kain ringan,
melayang
tak terjangkau keinginan menggenggam.
padahal aku
mencarimu hingga ke barisbaris cahaya paling
tipis
manado lama tak membawakanku elok gerimis
di hamparan utara, sungai pucat mengalir di
bawah
jembatan. ia seakan seorang bajingan
menampar mukaku.
riuh tak lagi memberi aku gembira. mungkin karena
aku begitu rindu matamu anastasia
sejauh ini, sajakku adalah yang tergugu di
bawah pohon
maple membayangkan kau melintas sendiri di
tengah
udara kering. katakata rontok seakan ini musim
gugur
yang panjang. alangkah jauh kau menyisih
dariku. bahkan
baitbait sombong telah bangkit mengolok
larik
terakhir yang setia menghaluskan perasaan
ingin
memelukmu
FRAGMEN
98: Kenangan Pohon Maple
ceritakan padaku kenangan pohon maple juga
pinus dan
ginko. sebuah musim kausajak di Nami. ceritakan
padaku aku ingin mendengar sajakmu.
ceritakan padaku
kantata itu. kantata daundaun merah gugur di
helai nafas
mengejar sajak hidupmu. seorang penyair
telah
menyeberangi sungai Han memandang sekawanan satwa
dalam gerak air melambungkan kisahkisah
abadi. karena
hidup adalah perjalanan tak bertepi. ceritakan
padaku
bagaimana kau berperahu dari Gapyeong
sambil membawa Seoul dengan keindahan Redwind Trees itu
oh betapa menyenangkan anastasia
adakah seekor merpati tanpa tuan
bermain di tumpukan daundaun maple yang
lisut
adakah ia memungut rantingranting buat rumah
kesendiriannya yang bisu. atau bangkubangku
putih kosong
tak pernah lagi diduduki mengadu kesepiannya
karena
orangorang yang dicintai meninggalkannya
hingga harihari
menjadi gosong
di kelokan mana kau berjalan menyusuri
kisahkisah winter sonata yang puitis itu. ceritakan
padaku.
sesungguhnya aku ingin bertualang dalam suaramu,
dalam
baitbait cerita kehidupan kau tuturkan
sambil mengatupkan
mata. karena kau sudah pasti tak ingin aku
memanjat pohonpohon maple yang merimbuni
tawa tangismu
udara dingin dan pelukan yang selalu tak
sampai. pohonpohon
yang tak bisa disentuh karena membeku.
pemandangan laut
diserbu tumpukan sajaksajak menghempaskan
separoh
dari hidupmu. karena pohonpohon maple itu
telah tumbuh
menaungi jalanjalan harus kau lalui sendiri,
tanpa aku,
tanpa siapapun
pagipagi aku telah menggendong cucuku menuju
warung. ia
selalu suka sebongkah roti dari tepung. ia
akan sangat gembira
dengan roti kampung tanpa mentega. kami
duduk di beranda
sambil ngopi, berkelakar, dan memandang
burungburung
madu mencericit di cabang rambutan.
kisahkisah semacam
ini telah kutulis dalam ratusan sajak
untukmu. ceritakan padaku
kenangan pohon maple itu sebagai kisah
menyenangkan. dan
akan kuceritakan pada cucuku; bahwa seorang
penyair telah
menyeberangi sungai Han memandang sekawanan
satwa dalam
gerak
air yang melambungkan kisahkisah abadi di sepanjang
jalan winter
sonata yang puitis itu
FRAGMEN 97: Perempuan Berbantal
Sajak Angsana
ada hal tak bisa kulupakan bila
mengenangmu yaitu
pohon angsana, pesisir, dan kehadiranmu. ketiganya
seakan kemah tempat aku pulang dengan pikiran akan
menulis laut hari ini. lalu,
matamu menelan semua
katakata dengan kehadiran sebegitu dongeng. daundaun
angsana dan pesisir terbujur bagai perkamen menyimpan
rahasia pertautan hati tak bisa diterjemahkan oleh
baitbait sajak yang selalu tak sempurna di tanganku
engkau seakan asal segala buih menajamkan mata
karang. mengintaiku sebagai pemuja yang payah. aku
sekadar sajak ganjil. sajak yang menetas dibilangan prematur
sebuah kelahiran. cacat sebagai lelaki tak bisa mengejar
di lubuk mana kau tempa matahari yang menyajaki matamu
yang indah terbaring berbantal daundaun
angsana
yang lama mengering
aku hanya perenang yang puas di batasbatas karam
tak bisa merayakan basah yang anggun di pelupuk sajak
tak bercela itu. sajak yang kau nyanyikan. sajak yang
membawamu sayapsayap burung merpati, sajak dari
tenunan halhal bestari. dan aku
selalu pemuja yang payah
yang terbatabata mengucapkan namamu anastasia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar