Sabtu, 26 November 2016

INDONESIA DALAM RENUNGAN PUISI IVERDIXON TINUNGKI



DARI SEBUAH HUTAN MASA

di hutan masa.di harihari yang silau. di laju  kereta
yang bertalu. di gaduh wajah benalu. kudengar. kudengar
suara harimau. suarasuara binatang buas. menggertak.
suarasuara licik merinsek. dan sebuah palu seakan runtuh
dari langit meledakkan kegemparan. meremukkan keadilan.
dan kudengar ledakkan kegemparan lain menyusul dalam
wujudwujud peluru, bom. dan gas airmata. dan pidatopidato
kembali terlontar membusukkan udara. menyesakkan
jalanjalan. menusukkan luka lama ke dalam kini yang tak
bersalah


aku di jalan sunyi ketika semua itu terjadi. karena sajaksajak
dipalang. jalanjalan dirimpang. bukubuku kembali dibakar.
kejernihan dicabikkan di rusuh katakata. tanpa arti. karena
hanya  atas nama. dan atas aturanaturan aneh. menyihir
ketakutan ke dalam hati yang sesungguhnya sudah lama
terpiuh dihantam keterasingan. daya hidup yang terasingkan.
tanpa waktu membaca. tanpa hari mencerdaskan diri. tanpa
kesempatan menghaluskan budi pekerti. semua seakan
dipaksa bekerja di atas lautlaut yang lama mati. tanahtanah
yang lama mengering. petakpetak kebun yang lama dilalap
banjir. kotakota yang lama terbiasa meledek kemurnian hati
nurani. dan kudengar jeritanjeritan telah tumbuh seakan bibit
api. menangisi ceruk tanah. menyusupi lipatanlipatan diri

ketika semua itu terjadi. beribu bayi baru dilahirkan kembali
dalam sajakku. mereka menatapku seakan meminta matahari
ditegakkan kembali. buat masa mereka. buat dini hari di esok
pagi. di sinilah sajakku menolak mati.



ANAK ANAK DUSUN MINAHASA

hari itu, udara bagai keringat merambati jariku. barangkali
tawa riangku didengar akar pohon. dan seribu bidadari dari
dongeng purba menggetarkan cabangcabang. sebuah bait
tak cukup untuk pemandangan ini. karena anakanak dusun
yang berlari meriangi humanya itu lebih cerita dibanding
puisiku yang bakal tidur di sebuah buku

langit dan dandanannya serentak merentak gadah
saat aku menulis anakanak dusun Minahasa
di atas petak sawah yang bersemi
dalam warna tengguli dan katakata berbunga

padahal baru kemarin di lembah utara semua kataku merana
oleh pesona suara gerisik daundaun padi. tujuh angsa putih
di telaga dan bangaubangau yang mengepaki udara. semua
turun memasuki sajakku bersama gembira anakanak desa

di tengah tanah Tuhan ini bagaimana mungkin sajaksajak
melampaui kemuning dan sayapsayap burung kecil yang
berpesta. aku seperti sebatangkara yang mengupacarai bau
kana, bau tanah bertubitubi mengaji ruapan makna pelukan
tersaji bagai gelombang saat aku pulang, saat aku hilang



AKU YANG SERBA BERLATAR LAUT

aku yang serba berlatar laut ini adalah pasirpasir
terempas dari gelombang dan bukan gelombang.
arus yang kau janjikan telah sampai di rumah suram
merasuki dinding dengan horror sentimental
dongengdongeng raksasa. aku bukan protagonist di sini
semua protagonist sudah mati dalam cerita ini. hanya
entah nampak sebagai sosok menahkodai ombak kian
hari kian hitam kian ke mari

dan saat entah tiba di Bandar. semua sudah pikun ternyata
hutan benton yang dipuja, astaga! memerangkap berton
liur dan airludah.kuyup tertimba dari sumursumur entah lain
yang kumal yang limpahruah

mari bicara sebuah gembok! hanya dusta yang bisa
membukanya! dan aku yang serbah berlatar laut ini
tumpah bersama wujudwujud sampah  rumah suram
berdinding horror sentimental dongengdongeng raksasa

“sudah usai jaman pahlawan petualang” tulis korankoran
di kota para pikun itu. semua adalah mesin pejajan iklan,
pelahap beritaberita murahan, agama rumah suram
berdinding horror sentimental dongengdongeng raksasa

dan semua kekacaubalauan muncul dari dongengdongeng raksasa
itu. raksasa yang menjakartakan semua tempat, yang
menyumbat mulutku yang entah. dan aku yang  serba berlatar
laut ini adalah pasirpasir terempas


ORANG ORANG TIMUR

di bawah langit. di paras awan gemilang. aku mencari diriku
dengan sebilah kapak. karena ingin kuhacurkan kegetiranku
jiwaku berserakan dalam udara rawa. dalam cengkerama
jentik berwarna jambu, memercik air kelat ke mukaku. aku
membaun harum rumput liar yang membasuh kesedihanku
tapi di bawah pohon, di gundukan akar pikiranku terbakar

aku tak punya tempat di pondokan. bersila di tengah kawalan
zirah dan tombaktombak berjejer mengintai matiku.

orangorang menyanyikan kembali suara Wage di sana
tapi siapa aku di bawah patungpatung gagu itu. aku
tak punya tempat bertukar pandang. apalagi bertukar
pikiran. aku selalu bukan yang  terundang. aku berdiri
di tepi samudera menghayati kehilangan yang luas ini.
semacam orangorang permesta dan  kereta
pertempuran mereka yang masih tersenyum melewati
tanjakkan sejarah begitu perih

aku tak punya tempat di perahu. semua diberati ruwatan
bunga melati dan bayangan kami bersedih di sepanjang
timur dengan punggung terus dilecuti cemeti. lihatlah
aku bersajak seperti seseorang di luar tembok. para penjaga
yang galak dan anjinganjing mereka yang terlatih
memelototiku. o sungguh angkuh kalian padaku! kapakku
sudah terhunus untukmu! karena aku tak punya tempat
di bawah kubah berhias tenunan suci yang kau keramatkan.
biar aku mati di bawah pohon yang tahu gaduh hatiku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar