Jumat, 25 November 2016

TIGA PUISI IVERDIXON TINUNGKI TENTANG CINTA



PUISI IVERDIXON TINUNGKI

 MENYAJAK MALAM YANG  TERTINGGAL DI OIKANO

sudah kita bawa pulang
segenap cinta yang matang
balun gelombang
dan kecupan tak berkesudahan

lebih seperempat abad
kita berpelukan dalam hati yang nanap
dengan perasaan musikal
lagulagu dan masakan, juga pertengkaran kecil
yang timpas di atas kudus pembaringan


bila hari ini, kita tinggalkan malam gembira di oikano
malam lain tetap saja sentilan yang manis dikenang

dulu di pulau,
kita berperahu dengan ceracau lucu
kita bernyanyi, menyamak terpaan angin
di atas laut tak letih menjungkit gemersik

bukit karang menjentang
sepasang elang bercinta menjelang malam
kita kembali pulang dengan kenangan yang matang

di hari lain aku menggendongmu menyeberang kali
dan anakanak kita tertawa mendengar cerita menggelikan itu

seyogianya, rumah tangga itu bagai lakon
yang antagonis adalah kita yang gagal melawan lupa
dan pelukan pertama tak lagi kita ingat itu merah

di hari bergerimis seperti ini
di restourant oikano, di bibir fasifik yang menderu
kecupanmu serasa kantata
menyajaki malam jangan sampai hilang
jangan sampai kita lupakan


BUAT RAHADIH GEDOAN

di dunia ini, penyair mana tak punya luka
sejak puisinya tercipta. bahkan aku butuh sebuah payung
untuk menafsir tangisan di bawah hujan yang tajam

karena penyair adalah seseorang yang lahir dari rahim empedu
dua belas bulan mengambang di bawah matahari dan malamnya

pabila engkau mencintai gadis rekaan
seperti Daenerys Targaryean, bersiaplah terbakar.
karena perempuan adalah salju api
ia naga paling liar di bumi yang mesti kita cintai

tapi bagaimana caranya kita takkan mati dalam tafsir
sebagaimana Arya Stark membiarkan hidupnya mengalir
karena apa yang bukan sungai api dalam jiwa penyair

kita berkalikali membuat rekaan wujud kita sendiri
kita berkalikali menyangkali bahwa kita bukan
Ramsay Snow  Bolton, sementara tak sedikit mayat
terbujur mati dalam kata yang kita kenduri


BUAT VICK CHENORE

bukankah kata yang kau tajamkan dalam peluh
akan jadi peluru, dan peluh yang terlukis dalam rahim
adalah penjelmaan kekasih dan api

sejak tercipta diendapan nama kita,
rumah seniman itu air mata. pisau, dan bahkan
harihari kelabu dari sebuah jubah abu

tapi, tak ada yang bisa melukai tangisan
ketika ia menguntit cara kita yang berani
mencintai detikdetik yang mati

bukankah yang paling bersedih adalah kekasihmu.
karena ia kanvas perjamuan paling suci dari gebalau
untuk kembali melahirkan kita dengan nyawa
kesakitan semua makhluk

dan kita akan selalu tiba di hari seperti: Lahiri
menghaluskan pucuk bunga yang sebentar merekah,
dan menjatuhkan  segala yang kisut dan tua
ke dalam liang makna


Tidak ada komentar:

Posting Komentar