Sabtu, 26 November 2016

KEHIDUPAN DAN NASIB NELAYAN DALAM PUISI IVERDIXON TINUNGKI




SORE KETIKA KEGADUHAN SAMPAI DI PUNDAKKU

bilamana aku gagal jadi ayah, setidaknya aku bisa jadi ibu.
aku akan memilih riang di sore ketika semua kegaduhan
sampai di pundakku. dan aku memilih menampung
gemagema kecil yang memantul dari langit, mungkin
itu suaraku sendiri dalam pengelanaan tak kuketahui.
barangkali aku sudah terbiasa dengan hempasan kesakitan,
akhirnya aku memilih riang kendati kegaduhan itu sudah
setajam pisau di urat leherku. aku takkan mati. aku takkan
mati oleh halhal sepele. sebab kematian yang kutakuti
adalah kematian perasaanku sendiri. memang aku akan
mengikuti diriku seperti seorang penurut yang dengan berani
menyongsong  kegaduhan dalam wajah paling elok. dan
merangkul semua  kegaduhan itu ke atas pundak yang sudah
mulai sepuh ini, seperti seseorang yang baru kali itu merayakan
dengan riang kepedihankepedihannya


dan aku akan menyesap kopi dan menanti malam segera turun
dengan perasaan ibu yang membawa gemagema kecil yang
baru, dan kegaduhan lain kembali menyerbu pundakku. sebagai
ibu aku memilih riang, karena hidup hanyalah riang. di balik
wajah menangis selalu ada wajah lain yang tersenyum. di balik
diri ketakutan selalu ada diri lain yakni keberanian.

harusnya aku tidak gagal menjadi ayah, tidak gagal menjadi
ibu karena itu diriku yang sejak sore hingga malam harus bisa
menyiapkan pagi sebagai hari buat kekasihkekasihku tumbuh.
lalu kembali menuliskan gemagema kecil suaraku sebagaimana
seharihari aku berdoa dengan penuh kesal dan sesal. dan
bilamana kegaduhan itu kembali matang kembali kuserahkan
pundakku dengan segala kegembiraan


NELAYAN DAN OMBAK OMBAK PIATU

tak ada yang lebih bersedih dari matahari yang termangu
sepanjang hari di atas laut kosong. tak ada nelayan
bernyanyi

ombakombak piatu melanglang buana dengan gusar
kabar nelayan sudah mati. seperti apa mereka mati?
seperti kau lihat, mereka tak melaut lagi


KETIKA KOTA MENJADI HANTU PENGERAT DAGING

kota telah menjadi hantu yang mengerat dagingdaging
kehidupan. kota telah menjadi pembantai paling sadis
dengan pedang pembangunannya yang menjerumuskan
kita kedalam pemandangan hutan beton yang menjulang

dengan hati sekeras besi, kota telah mengubah semua
keindahan dari halhal palsu yang begitu beringas merampas
kita kepelukannya


YANG BERSEDIH DI PESISIR

yang bersedih di pesisir adalah pasirpasir lenyap itu
karangkarang berantakan tertindi bangunanbangunan
angkuh dari zaman yang terus menggila

digilai kisahkisah komik yang hero, yang bergelantung
ditemali teknologi, yang lambat laun merampas seluruh
udara yang kita hirup di pagi hari


KEMATIAN NELAYAN YANG MENGGEMPARKAN

yang paling menggemparkan dari kematian nelayan karena
kematian itu dirayakan sebagai keberhasilan aktoraktor
dungu di panggung politik. sedang para tehnolog jadi rakus
karena asuhan kekuasaan yang gagap menafsir kemajuan.

yang paling menggemparkan dari kematian nelayan karena
kematian itu merampas hal paling sederhana dalam hidup
mereka yaitu sesuap nasi yang dikaruniakan Tuhan
untuknya.

tapi kegemparannya telah runtuh di bawah
kegemparan lebih raya yaitu dustadusta yang dirayakan
dengan arakarakan begitu masif di atas mayatmayat
kebenaran yang terlindas



BILA KAU TAK PUNYA KEKUATAN MENGHARDIK

bila kau tak punya kekuatan menghardik ketidakadilan
segelah tangisanmu. kalau tidak kau anjing
yang mondar mandir dengan ekor kecut
di bawah menara kuasa dibawa lolonglolong 
percuma

bila kau tak punya kekuatan elektis mendobrak
kemegahanmu sendiri. telanlah katakatamu. kalau tidak 
kau anjing yang terlampau jinak oleh kepasifan. bagai 
anak pejabat memujimuji pekerjaan bapaknya
yang durhaka

bila kau tak lagi menyadari adanya barisan kemiskinan
di jalanjalan hari ini. menyingkirlah dariku. karena kau siasia
lahir bahkan untuk sekadar menjadi seekor anjing


KEPADA SAHABATKU SANG DEMONSTRAN
--Jimmy R Tindi

kita telah kenyang memamah jerami dalam barisan kemiskinan
di suatu siang yang begitu pengap oleh perasaan sunyi
kehilangan. kita telah kenyang menyusuri gegap keributan
di pucukpucuk gagasan memanusiakan atau melenyapkan. kita
telah kenyang oleh tombak kekuasaan yang begitu buas
menancapi benibenih kebaikan

kita telah kenyang menyulut kebaikan itu di lolongan yang
tertimbun di tengah kota di tengah menaramenara di tengah
pusatpusat perbelanjaan saat hari begitu panas dan air mata
tumpah di mata kita. karena ternyata kita harus menangis
memandang kebingungan muncul dari detakkan langkah. entah
ke mana  orangorang itu melepas kemalangan

kita telah kenyang dari jauh menatap pusat perbelanjaan. sedang
di kantong kita hanya tersisa uang angkot untuk pulang. kita
telah kenyang jadi penyair dan demonstran yang cuma punya
tabungan renungan kehidupan tapi diganyang oleh ruparupa
perlawanan. kita tak bisa membelanjakan tabungan itu. meski
hanya untuk oleole buat cucu kita

kadang kita duduk dan berpikir. kita telah kenyang hidup
dikesunyian yang terpinggir. dari pinggir itu kita menatap
pusatpusat perbelanjaan menengok  lebih dalam ke akar
kehilangan. dan kita kenyang oleh haus saat deras hujan belum
juga datang. kita berlindung di bawah pohon di pinggirpinggir
jalan. kita kembali dikenyangkan hingar bingar yang lalu lalang tak
saling memandang. kita akan kenyang oleh semua itu hingga kita
menjadi tua dan tertimbun di bawah zaman



MUSIM ANGIN DI SAYAP ROMBONGAN BURUNG

di lubuk pulau
rombongan bangau dan elang terbang
ke laut mandul dan pilu yang dalam

begitu menjemukan memandangnya

tapi mereka seperti ingin bicara langsung pada sejarah;

“pulaupulau telah menjelma batu nisan kelabu raksasa
deretan ilusi kosong dihiasi janji yang sampah”

di sini aku memandang cinta dan kesedihan itu
saat ia menyerat semua orang menyusuri jalan
sebagai bukan siapasiapa

aku menengadah ke langit
seperti seseorang memohon wangsit
di atas sana
seriti mengetuk dinding
dengan dongeng perahu lonceng
dikayuh maut dalam gema yang berseri

di bawahnya, orangorang kelaparan
menanti seseorang
melemparkan sekeping uang logam
ke saku masa depan
dan harihari begitu risau
oleh kicau kelelawar

saban angin bertiup
kupandang pucat ribuan sayap rombongan gagak
mereka seakan mengepak
memburu pikiran terlanjur berkarat

sedang di pantai
ribuan nelayan tampak seperti pemeran

memerankan mayatnya sendiri
di ribut dramatisasi laut mati
tak lagi punya sepotong hati



PULAU DAN NELAYAN

anjing terbaring, kucing berkeliaran
sepanjang dongeng, sepanjang pulau nelayan

mereka duduk berbaris
bagai tunastunas kesepian
kadang termangu, tepekur
memeluk tengkuknya yang cemas

tak jauh, hanya beberapa depa*) ombak
para pemabuk  meneguk nasib:
Pargo…
Pargo…
irama berlayar terasa pejal
perahuperahu pecah labuh di hulu dada

Pargo menangis
tempias sendu ke bisu pasir

bulan memintal air mata
menganyam temali pasir
menyambung musim teduh lewat siasia
lalu cecer kembali ke tanah yang menangis

pemandangan melegam kemudian

dan kemudian senja jadi berawan rawan
beradu susunan gelombang
mengucap salam perpisahan

sebagai nelayan
Pargo hanya bisa menggumam
di kedalaman diam saman

lalu, seluruh pesisir dikepung batu
temboktembok kota
persis di jejak perahu

*) Depa : Ukuran serentang tangan dalam bahasa melayu Manado.


SUATU SORE DI KEDAI PANTAI

kuteguk tuak dan asap
meja filsafat
rutinitas ombak

lalu kesaksian super blok
tumbuh berderet jauh ke selatan
membatasi mata

bagaimana kita memadu makna
matahari tenggelam
dan burungburung
mengupacarai lengang senja

di utara
rumah lepra
dan gereja menjalar bagai gurita
mencekik leherku

pedagang dan buruh pelabuhan
mengauh bayangnya
mereka tak bisa ke manamana
kecuali gelisah

semua gelisah
juga puisi yang berbaris dalam kepala

percakapan meninggi
melumpuhkan pijakan
tumpah ruah sebagai kota

sebagai kota
riuh dan bertanyatanya

ada bunyi tabrakan
hari sudah sore, Jane
mari pulang melintas malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar