Sabtu, 26 November 2016

JALUR REMPAH TIMUR NUSANTARA DALAM PUISI IVERDIXON TINUNGKI



SEUSAI MUSIM TIMUR

seusai musim timur
di bandar, Baabullah Daud Syah*)
terkenang amanat ayahnya Hairun:
“alaslah seluruh tanah timur dengan sejadah”

dari laut baru pulang beberapa perahu Kora
tamburnya menggema hingga relung istana

o Baabullah sultanku, kata seorang kapiten
bulan sabit kini merekah di Nusa Utara
dan tanahtanahnya sujud
hanya kepada Allah
tetapi…


Baabullah mengangkat dagunya
ia menangkap mata murung serdadunya

tak sedikit…
tak sedikit darah tercurah,
tercurah di jejak kami!

air mata membersit
mengisi telaga hati manusia

“begitu hati yang manusia”

aku berduka, kata Baabullah
karena berduka itu irama sanubari manusia;

yang mencari rempah akan mendapatkan rempah
yang mencari Allah akan mendapatkan Allah

usai berkata, Baabullah kembali masuk ke istana
kembali mengenang amanat Hairun ayahnya

*) Baabullah Daud Syah: Sultan Ternate ke empat (1570-1580) mengantikan posisi ayahnya Sultan Hairun yang terbunuh dalam benteng Portugis atas perintah Musquita. Ternate adalah kesultanan Islam yang tangguh dan merupakan suatu kekuatan social di timur di jaluar paling marak perdagangan rempah (Lada, Cengkeh dan Pala).



JEJAK PELAYAR

ombak memukul lambung kapal
menanggalkan musim September
dulu dikeramatkan

dan aku membaca jejak pelayar
Tome Pires dan David Haak*)
di jalur utara selatan
menamai pulau dalam catatannya

kapal dulu tiba
dan kini berlayar
masih di jalur memar

menggelayuti toponymy
arakarakan rempah dan budak

tapi jangan kaukira aku mau pergi
ke bandarbandar tak dikenal

perahu cadikku punya laut sendiri
tegar berlayar sejauh akar kalbu
di mana camar merumahkan keluh

kendati sejarah itu
seperti jarum arloji terus mengulang
detakan yang hilang
hati yang bimbang

*) Tome Pires: Sebelum dan sesudah jatuhnya Malaka pada 1511 eskader kapal niaga Eropa ini menulis kesaksiannya dimana kerajaan-kerajaan di Sangihe Talaud sudah punya hubungan dagang dengan Jawa. David Haak: Seorang perwira muda di tahun 1689 menulis catatan harian tentang kebaharian orang Sangihe Talaud dengan perahu sendiri melayari jalur-jalur perdagangan hingga ke Batavia, Malaka, Manila, Siam dan ke berbagai wilayah Nusantara.



SETELAH BROWN*) MENULIS PULAUKU

o nusaku
yang seluruh gunungmu puisi
bila laut menitip buih ke paruh kalibri. terbanglah

terbanglah
kian jauh terbang
terbang ke gerbang cahaya dirindu pendaki

bila dulu telah tiba syekh dan paderi. biar

biar aku mendoakan diriku sendiri
dengan garis nasib dan kelabu tubuh

akan kurempah
dengan lautku yang biru

*) Brown: Seorang penulis Eropa yang menamakan kepulauan Sangihe Talaud sebagai “Archipelago of Tears” (Kepulauan Air Mata).



PELAGOS

moyangku pelaut yang tahu
di mana letak tujuh belas mata angin
luas cakrawala
persegi bintang  pembujur arah

dan arus tak bisa sembunyi darinya

perahunya menderap sebijak mantra
syair tubuh menjelma diri yang nyata

karena itu…
karena itu datudatu bernyanyi;

mendetaki laut ini
mendetaki gelombang dalam diri

begitu kami menebah pagi
pada semua suara burung
mengicaukan pulau
bagai katakata bestari

di puncak Cempaka dan Turi
mantra tak pernah mati
menegakkan tradisi

dari zaman flake dan blade
setelah batu
moyangku menempa perunggu

mengolah lempung di sulur sejarah periuk
karena ia ingin menggarami hidup

--dan kami mau hidup

logamlogamku akan berdencing
serupa moyangku menghalau bajak laut
di medan perang yang kukenduri

aku dan moyangku pelaut
kami tahu di mana letak maut;

hanya sejauh khilaf
dan sungut



PERAHU SAJAK

dan kuteguk perjamuan tradisi lautku
di bumi Bantane, di laut Kolokolo

melati dan angin
pusarnya dalam diri

di sanalah sajakku
menetaskan perahu

dengan gairah batang yang kokoh
kutembus tujuh belas mata angin

musim tak bernama
kurempah dengan bilah mata puisi

pabila bungabunga matang merekah
kukunyah wangi
dan akan terhunus ketajaman mata rajawali
mata bintang memancar kesturi

karena hatiku mencari
perjalanan
diri kembali

dan aku luluh di kisah heroik;

sepeta pertempuran
sepeta tradisi
kusisip di lubuk hidup yang kembali



TEPIAN PERLINTASAN

di tepian perlintasan jalur rempah
sulit dibedakan bajak laut atau pedagang
mereka datang
samasama dengan agama dan pedang

saat perahunya tiba
suara geram dan garang bagai buku
mengabar Tuhan yang remuk redam

perang berkecamuk
dan abadabad melanjutkan cacahan hasta
pada bahtera selalu runtuh

tak ada yang terselamatkan
arah dan tujuan tenggelam

selepas Malaka
mereka menebar katakata
seakan biji sesawi
tapi
tak ada kusuka dari bengisnya

kabar lain datang dari Pasai, Sulu dan Goa
meretaki doa lebih dulu merekah

di tepian perlintasan jalur rempah
moyangmoyang tabah
memberiku laut baru 
mesti kutempa


PUSAKA  ARUS

pusakaku silsilah dan arus
adat dan camar berkesiur

burungburung dan penyair menetas
beriburibu syair bayangbayang hilir
dilangir ibu ke jiwaku yang Sangir

bilamana arus menderas
seberdaya apa aku di hadapan gelombang
jika kekuasaan tak beguna
adat istiadatlah yang mendekatkanku biru semesta

saat petualang tiba
para pedagang mencium bau rempah
dan Marcopolo bertemu pelayarku
di sebuah perahu dan buku

menyebut perahu
bukan besar kecilnya kuukur keberanianku
liar dan hujaman gelombanglah guru
sejarahnya memberi kita arah dan tubuh

laut itu
tempat silsilah adat dan maut
hanya yang taat disebut peraya hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar