Jumat, 25 November 2016

MANANNATTA LARROSSA, CERITA RAKYAT TALAUD



CERITA RAKYAT TALAUD

MANNATTA – LARROSSA
(Kisah Batu Puang Katoan di Pulutan)

Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki

Di Pulutan zaman dulu, ada sepasang suami istri bernama Mannatta dan Larrossa. Konon mereka berdua mendiami puncak gunung Piapi. Di puncuk gunung yang cukup tinggi itulah tempat mereka melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai pandai besi. Penduduk desa yang bermukim di lembah dan pesisir setiap hari mendengar lenting bunyi besi beradu dari puncak gunung Piapi sebagai tanda mereka tengah menempa besi menjadi pedang, keris, atau peralatan perang lainnya.

Mereka berdua adalah sosok Puratangnga atau  pandai besi Kedatuan Pulutan di masa itu. Di pulau itu tak ada yang bisa menandingi kehebatan mereka menempa peralatan perang. Setiap pedang dan keris yang mereka buat selalu memiliki kesaktian yang luar biasa.
Sebagai dua orang sakti Mannatta dan Larrossa juga punya kemampuan memandang jauh ke sekeliling laut dan samudera dari beranda rumah mereka. Setiap hari mereka selalu menyempat diri memandang laut untuk mengamati jangan-jangan ada perahu musuh yang datang menyerang penduduk yang mendiami pesisir pulau Karakelang dan lembah Pulutan. Mereka berdua tak pernah membiarkan ada sesuatu yang mengganggu dan mengancam kehidupan orang-orang di pesisir dan lemba itu. Bila ada, selalu mereka tumpas habis. Mereka berdua begitu mencintai penduduk dan desa mereka Pulutan dan desa-desa di seantero Pulau Karakelang.
Suatu ketika, Jauh di seberang lautan terlihatlah sebuah perahu yang melaju dari arah Utara menuju Selatan. Perahu itu seakan tidak peduli dengan terpaan gelombang dan badai. Perahu itu datang dari daratan Cina, ditumpangi satu keluarga yang berjuang mati-matian melarikan diri dari kejaran seekor ular besar bernama Atoanna.
 Saking besarnya sang Atoanna itu,  pulau-pulau yang merintangi jalannya  terbelah oleh kibasan ekornya. Beberapa pulau termasuk pulau Sara hancur berkeping-keping. Tubuhnya yang merayap di atas air menimbulkan gelombang besar. Auman suaranya terdengar begitu mengerikan.
Ular itu ternyata mengejar seorang putri  kecil bernama Arrussuello yang telah ditetapkan dan disumpah  untuk diberikan padanya. Tapi ternyata dilarikan oleh sanak keluarga mereka dengan menggunakan perahu.
Sebenarnya putri Arrussuello yang cantik itu, punya enam saudara laki-laki yang terbilang sakti. Tapi dalam pertarungan sebelumnya, kesaktian mereka tak mampu menandingi apalagi mengalahkan sang Atoanna yang besar itu. Bahkan pedang sakti Ratuadio yang berkekuatan magis milik mereka, hanya mampu melepaskan beberapa sisik saja. Tapi pedang itu tak mampu menggores tubuhnya.
Mereka sebenarnya telah meminta bantuan orang-orang sakti dari beberapa negeri seperti Sulu, Tabukan, Malesoeng, dan Ternate, tetapi para sakti dari berbagai negeri itu juga tak mampu mengatasi amukan dan keganasan si ular. Kemana pun mereka pergi bersembunyi, Atoanna terus mengejar mereka.
“Kemana lagi kita akan sembunyi kakak,” tanya Arrussuello kepada kakak sulungnya.
“Tidak tahu lagi adikku! Tapi, kita harus terus mencari cara, siapa tahu ada yang bisa menolong,” hibur kakaknya.
Meski sudah mulai dilanda putus asa, Arrussuello bersama keenam kakaknya mencoba memutar perahu dari Selatan kembali menuju Utara, siapa tahu di pulau-pulau Utara ada yang bisa menolong mereka.  Ketujuh bersaudara itu sangat menyayangi adik mereka, itu sebabnya mereka tak mau menyerah begitu saja.
 Dalam pelayaran yang tidak mengenal lelah ini, akhirnya Arrussuello dan keenam kakakya melihat pulau Araallan (Pulau Karakelang). Dengan cepat mereka menuju salah satu teluknya. Di hadapan mereka tampak puncak gunung Piapi. Dari puncak gunung terlihat ada asap membumbung. Sesekali terdengar bunyi besih beradu.
“Di sana pasti ada manusia,” ujar salah seorang kakak Arrussuello.
“Apakah mereka mau menolong kita Kak?” Tanya Arrussuello dengan hati cemas.
“Kita harus mencoba minta tolong. Siapa tahu mereka mau menolong kita,” ujar salah seorang kakaknya dengan nada berharap.
***

Di puncak gunung Piapi, Mannatta dan Larrossa sesungguhnya telah melihat perahu yang tengah merapat di teluk. Mereka juga melihat ular besar yang kian kemari mengejar perahu tersebut.
Sesaat kemudian, tampak dari arah perahu ada seseuatu yang dilontar  dengan tenaga yang kuat ke arah puncak gunung Piapi. Dengan kesaktian ilmu mereka, Mannatta dan Larrossa melesat tinggi menangkap benda yang dilontar itu. Alangkah terkejutnya mereka. Ternyata benda yang dilontar itu adalah seorang anak gadis.
“Tolonglah aku tuan,” ujar gadis itu.
“ Siapa namamu dan ada apa denganmu,” tanya Mannatta.
“Namaku Arrussuello. Aku berasal dari daratan Cina tuan. Aku datang dengan perahu di teluk sana bersama keenam saudara lelakiku. Kami lari dari kejaran Atoanna yang mau mengambilku,” jelas Arrussuello dengan sedih.
“Mengapa sampai ular itu mau mengambilmu,” tanya Larrossa.
“Sebenarnya keluargaku telah bersumpah untuk menyerahkan aku kepada ular jahat itu. Ia selalu mengambil anak gadis dari penduduk kami untuk dijadikan isterinya. Itu sebabnya keenam kakakku mencoba melindungi aku dari ular itu,” jelas Arrussuello.
“Kalau begitu, kami akan menolongmu. Bersembunyilah di rumah kami,” kata Mannatta.
Melihat Arrussuello telah dilontar ke puncak gunung Piapi, Atoanna langsung bergegas mengejar ke arah puncak gunung. Dia tidak mau kehilangan gadis itu. Dengan kesaktiannya, hanya dalam waktu singkat saja ular itu telah berada di atas puncak gunung Piapi.
Kedatangan Atoanna yang diliput amarah ini, justru disambut Mannatta dan Larrossa dengan ramah.
“Tuan Atoanna, ada apa gerangan datang ke tempat kami?” tanya Mannatta dengan sopan.
“Jangan banyak tanya, kalau kalian tidak mau mati, serahkan Arrussuello kepadaku,” kata Atoanna mengancam. Namun begitu, Atoanna sudah merasa aura kesaktian dua lelaki di hadapannya itu.
“Jangan marah-marah begitu bertamu di tempat orang. Tenangkan hatimu Tuan Atoanna. Sudilah tuan menerima penyambutan kami ini dalam suasana yang tenang dan bersahabat. Makanlah dulu sirih dan pinang yang akan kami ramu sebagai jamuan kami menyambutmu, sebab, itulah kebiasaan kami di sini,” bujuk Larrossa.
“Kalian jangan menunda-nunda waktu. Kalian jangan mencoba membuat tipu muslihat. Serahkan Arrussuello kepadaku,” ancam Atoanna lagi.
“Semua perkara pasti ada jalan keluarnya. Dinginkan hatimu. Mari kita bicarakan masalah itu dengan baik-baik,” bujuk Mannatta lagi. Dibujuk dengan sikap yang baik itu, Atoanna terpaksa menyanggupinya.
***

 Larrossa menyiapkan tiga buah batu besar memerah dalam api sebagai sajian yang akan disuguhkan kepada  Atoanna.
Di lain sisi, Atoanna tidak merasa takut atau gentar. Ia tahu kedua sosok manusia itu akan mencoba mengadu kesaktian dengannya. Atoanna sangat yakin kesaktiannya tak mungkin dikalahkan oleh kaum manusia. Tapi ternyata malang baginya, setelah menelan tiga batu yang sebelumnya telah dipanaskan dalam api hingga memerah dan dibumbui rapalan mantra, perutnya dan tumbuh diderah rasa sakit yang hebat.
Sang Atoanna menggelepar dan terlontar ke mana-mana. Ia tergulung-gulung hingga ke pesisir. Empedunya pecah dan bercecer menggenangi tanah. Tubuhnya melemah, kemudian mati dan berubah menjadi batu.
Batu tersebut oleh penduduk Pulutan disebut dengan nama Puang Katoan atau Batu Kepala Ular. Batu tersebut terbujur beberapa ratus meter di tepi pantai dan empedunya tergenang menjadi danau kecil. Orang-orang Pulutan menyebut danau kecil itu dengan nama Melam artinya Biru. Danau Melam dan Batu Puang Katoan hingga kini masih ada di tepi pantai Pulutan.
Kisah ini memberi pesan secara khusus dimana setiap manusia harus tolong menolong ketika berada dalam kesulitan. Secara umum mengingatkan dimana setiap kejahatan pasti ada pembalasannya.

Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar