Selasa, 29 November 2016

PUISI-PUISI ROMANTIS KARYA IVERDIXON TINUNGKI



PUISI-PUISI KARYA IVERDIXON TINUNGKI

 FRAGMEN 100: Kantata Hari Tua

ada masa dimana kita akan duduk di bawah sebatang hening
sebagai angin yang tumbuh dari dongeng kesunyian. dengan
gagah mengenakan mantel serbuk dan abu yang digenapkan
sebagai wujud yang sulit dimengerti. ada masa dimana kita
akan menyulusuri gunung dan lembahlembah penantian
sebagai uapuap yang mengapung. penuh perasaan senang
merayai bisu berlompatan di pucukpucuk kembang. ada masa
dimana kita akan mencair dalam doa dan ingatan yang
mengalir sebagai panahpanah tajam melucuti
gelombanggelombang kesedihan. dan burung burung merpati
putih datang beriringan ke atapatap menjemput nafas
gagap dan suara pasrah yang terselip dari sebuah hari tak
bersayap. ada masa dimana kita akan melenting sebagai bunyi
piano di tangan perempuan berurai airmata dan anakanak
parau melontarkan kenangannya ke batubatu diselimuti
lumut dan namanama tertutup cendawan. sementara di
baliknya sebuah dunia terus berlangsung tak dapat dihalangkan.
bahkan oleh tangan dan pikiran yang terus saja mencoba
menghentikan waktu anastasia

bila masa itu tiba, kabung hanyalah daundaun lisut tanpa
katakata merayakan cahaya mengiringi sesungguhnya
perjalanan rahasia yang diolah dari tanah ke bentuk api abadi
di sebuah peta buta sebagai rumah keheningan kekal bernaung.
bila masa itu tiba, tak ada penyesalan lagi. tak ada percakapan
buat menggugah. semua akan duduk sebagai butirbutir yang
telah kudus di sebuah etalase yang tak pernah mengenal isak. dan
tangantangan kepastian terangkai atas nama kemegahan yang
gaib meretih percikanpercikan lagu tentang sungai tak pernah
kering itu. sungai yang kita kenal sejak lahir di kitabkitab kebaikan
yang dicetak dari unsurunsur bumi dan langit untuk satu nama
bagi kita semua



FRGAMEN 99: Kali Ini Dalam Sajakku

kali ini dalam sajakku pohonpohon tumbuh menjalari
gelombang kesunyian. dan kenangan kian lama kian
asing dan engah. dari fasifik berhembus angin tua
mengangkat sayap belibis seakan kain ringan, melayang
tak terjangkau keinginan menggenggam. padahal aku
mencarimu hingga ke barisbaris cahaya paling tipis
manado lama tak membawakanku elok gerimis

di hamparan utara, sungai pucat mengalir di bawah
jembatan. ia seakan seorang bajingan menampar mukaku.
riuh tak lagi memberi aku gembira. mungkin karena
aku begitu rindu matamu anastasia

sejauh ini, sajakku adalah yang tergugu di bawah pohon
maple membayangkan kau melintas sendiri di tengah
udara kering. katakata rontok seakan ini musim gugur
yang panjang. alangkah jauh kau menyisih dariku. bahkan
baitbait sombong telah bangkit mengolok larik
terakhir yang setia menghaluskan perasaan ingin
memelukmu



FRAGMEN 98: Kenangan Pohon Maple

ceritakan padaku kenangan pohon maple juga pinus dan
ginko. sebuah musim kausajak di Nami. ceritakan
padaku aku ingin mendengar sajakmu. ceritakan padaku 
kantata itu. kantata daundaun merah gugur di helai nafas
mengejar sajak hidupmu. seorang penyair telah
menyeberangi  sungai Han memandang sekawanan satwa
dalam gerak air melambungkan kisahkisah abadi. karena
hidup adalah perjalanan tak bertepi. ceritakan padaku
bagaimana kau berperahu dari Gapyeong
sambil membawa Seoul dengan keindahan Redwind Trees itu

oh betapa menyenangkan anastasia
adakah seekor merpati tanpa tuan
bermain di tumpukan daundaun maple yang lisut
adakah ia memungut rantingranting buat rumah
kesendiriannya yang bisu. atau bangkubangku putih kosong
tak pernah lagi diduduki mengadu kesepiannya karena
orangorang yang dicintai meninggalkannya hingga harihari
menjadi gosong

di kelokan mana kau berjalan menyusuri
kisahkisah winter sonata yang puitis itu. ceritakan
padaku.

sesungguhnya aku ingin bertualang dalam suaramu, dalam
baitbait cerita kehidupan kau tuturkan sambil mengatupkan
mata. karena kau sudah pasti tak ingin aku
memanjat pohonpohon maple yang merimbuni tawa tangismu

udara dingin dan pelukan yang selalu tak sampai. pohonpohon
yang tak bisa disentuh karena membeku. pemandangan laut
diserbu tumpukan sajaksajak menghempaskan separoh
dari hidupmu. karena pohonpohon maple itu telah tumbuh
menaungi jalanjalan harus kau lalui sendiri, tanpa aku,
tanpa siapapun

pagipagi aku telah menggendong cucuku menuju warung. ia
selalu suka sebongkah roti dari tepung. ia akan sangat gembira
dengan roti kampung tanpa mentega. kami duduk di beranda
sambil ngopi, berkelakar, dan memandang burungburung 
madu mencericit di cabang rambutan. kisahkisah semacam
ini telah kutulis dalam ratusan sajak untukmu. ceritakan padaku
kenangan pohon maple itu sebagai kisah menyenangkan. dan
akan kuceritakan pada cucuku; bahwa seorang penyair telah
menyeberangi sungai Han memandang sekawanan satwa dalam
gerak  air yang melambungkan kisahkisah abadi di sepanjang
jalan winter sonata yang puitis itu



FRAGMEN 97: Perempuan Berbantal Sajak Angsana

ada hal  tak bisa kulupakan bila mengenangmu yaitu
pohon angsana, pesisir, dan kehadiranmu. ketiganya
seakan kemah tempat aku pulang dengan pikiran akan
menulis laut hari ini.  lalu, matamu menelan semua
katakata dengan kehadiran sebegitu dongeng. daundaun
angsana dan pesisir terbujur bagai perkamen menyimpan
rahasia pertautan hati tak bisa diterjemahkan oleh
baitbait sajak yang selalu tak sempurna di tanganku

engkau seakan asal segala buih menajamkan mata
karang. mengintaiku sebagai pemuja yang payah. aku
sekadar sajak ganjil. sajak yang menetas dibilangan prematur
sebuah kelahiran. cacat sebagai lelaki tak bisa mengejar
di lubuk mana kau tempa matahari yang menyajaki matamu
yang indah terbaring berbantal daundaun  angsana
yang lama mengering

aku hanya perenang yang puas di batasbatas karam
tak bisa merayakan basah yang anggun di pelupuk sajak
tak bercela itu. sajak yang kau nyanyikan. sajak yang
membawamu sayapsayap burung merpati, sajak  dari
tenunan halhal bestari.  dan aku selalu pemuja yang payah
yang terbatabata mengucapkan namamu anastasia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar