Sabtu, 26 November 2016

JALUR REMPAH DALAM BEBERAPA PUISI IVERDIXON TINUNGKI



CATATAN MUSIM

hari itu musim yang luar biasa
kau mentraktirku kopi Afrika
di café bernama Cabana

di luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan gemanya yang merana

perahu nelayan
dan burung layanglayang
meneguk duka


sebilah puisiku masih terluka

seorang pemetik gitar
mengonserkan lagunya;
Killing Me Softly

--entah kepada siapa ia berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum tumbuh dan bernyawa

tapi kubaca matamu
bagai etalase esok dipenuhi musim semi

sejumput rumput bisa seindah melati

aku pun ingat fotomu saat di Eropa
ada yang menggerah di tepi dada

jejak buram sepi sebuah jalan
tak bisa kulalui
kecuali kususun rapih
--kendati barangkali kisah ini bakal dilalap api

lalu perlahan kau bernyanyi
dengan petikan musikmu sendiri

lagu itu tertelan sebagai ampas pahit
dari gelas bakal kukenang
bakal kubawa pulang
--sebagai kopi dan maut yang menagih

Sebab, aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui biografi rambutmu
dan kecemasan
gegas menusuk setajam panah

aku bakal mati di rambutmu karena;
“begitu cantiknya kau”

sungguh aku luput menyimak
betapa puitisnya sayap Balam

ia menyempurnakan kitab senja
harusnya kukecupkan jelang pulang



SHUN FENG HSIN SUNG MENCARI SHAO

di lembah Hoangho mengalirlah sungai
mengalir ke pucuk bunga Peony

di musim semi seperti ini
aku meretih api ke dalam diri

dalam legenda Hou Yi
ia memanah sembilan matahari
karena cinta di bumi hanya butuh satu
cahaya diri

di bawah satu matahari
bukankah aku dapat pergi
menyusul delapan dewa bahari
berlayar hingga mencapai diri

di lembah Hoangho mengalirlah sungai
dan aku Shun Feng Hsin Sung*)
perahuku meluncur di air
melewati teratai, krisan dan beku apricot

di musim itu
aku tak lupa tekstur rumah bata merah
pohon bambu dan pintu berhias pahatan naga

sejauh mana aku berlayar
tak jua jauh dari tangan Pangu yang mengejar

dengan mantel kulit lusu
kujelajahi peta Shui Jing Zhu

dan Tuhan menyunggi kecapi ke lubuk karangku

lima abad sudah perahuku
meretih gelombang
meronce puisi
dengan guci dupa gaharu yang suci

dan masih kukenang musim semi Peony

burungburung mengambang
melunaskan perjamuan samudera
meneguk makna indah dan nila ke dalam hati

di lembah Hoangho mengalirlah sungai

sudah jauh Utara Cina
rumah bata merah, pohon bambu
dan pintu berias pahatan naga

aku sudah berarus hingga ke Zamboanga
dan tiba di Shao dalam wangi dupa kian bernyawa

di langit dewi bulan Chang’e memijar
seperti kisah catatan musim semi Tuan Lu

di hatiku telah tumbuh kisah lebih sungguh
laut dan pulau yang menunggu

*) Shun Feng Hsin Sung: Pelaut Cina yang menulis buku petunjuk jalur pelayaran
Utara Cina melewati Zamboanga ke bagian timur Mindanao lalu ke selatan menuju
pengunungan Shao (Siau) pada tahun 1500. Sejak itu, perniagaan Cina kian berkembang ke Timur Nusantara.



SAJAK BUNGA PEONY *)
DALAM CINTA SHUN FENG HSIN SUNG

cinta bagai sebuah peta
bunga dan mata
di luar alam katakata
ia pengelana benak yang merekah

cinta bukan harum dan warna
bukan adat membuat kita terpisah
peony juga tumbuh di tanah tak bernama
di sini di sana kita berciuman bagai magma

di bawah langit tempat kegembiraan membubung
Shun Feng Hsin Sung mengembara
sejauh laut membawa jiwa dan nyawa

bila warna bisa merah
kadang ungu menunggu dengan sepeta kisah

bagaimana masa lalu tak boleh luluh
sedang kita selalu bicara bahasa air mata

di Ulu
seorang gadis Cina mengenang
moyangnya di tanah utara yang jauh
bagaimana kau menutup pintu
dengan mata cipit yang jambu

--bukankah benakmu telah berhulu
di luas hari dan bahari itu

bila dipuja dupa satu diri yang sungguh
tak ada keliru menanggalkan rikuh dan ragu

*) Bunga Peony: Bunga yang punya makna spiritual dalam peradaban Cina sejak zaman
kuno. Menjadi motif utama gaun kaum wanita. Merefleksikan perasaan cinta. Sejak Shun Feng Hsin Sung tiba di Shao (Siau) tahun 1500, sejak itu peradaban Cina kuno ikut menyebar ke dalam hidup masyarakat setempat dan menjadi bagian dari system nilai  budaya.


MINAHASA 1644

10 Agustus 1644*) pertempuran itu meledak
dari kesakitan dari ketidakadilan dari perkosaan
karena sebuah bangsa tak boleh menangis oleh ketakutan
ketika kemarahan punya alasan: berperanglah!

hari ini hari dimana kita mengenang keberanian
beriburibu perempuan menunggu kemenangan
beriburibu anak akan menceburkan diri
ke medan erang penuh keluh kesah

hari ini hari dimana kita membagikan
gelombang pesan kebebasan ke jendelajendela
ke sulur harapan  ke kebunkebun ke bentang hutan
ke kotakota yang meringkuk dalam takdir abadi sebuah penjara

hari ini hari yang harus terbit di atas api
tombak runcing
logamlogam tajam
dilontar ke atas waktu yang harus dimenangkan

10 Agustus 1644 pertempuran itu meledak
di atas padi di atas rawa di atas nyawa yang meletup
oleh buas niaga Eropa

baiklah kita mengenang lahar suci dari kepundan Minahasa itu
bahwa  Waraney dan peradaban tua kita tak bersalah
bahwa Spanyol yang durhaka karena beras dan rempah harus enyah

tapi hari ini hidup baru harus melabuh dikejernihan cahaya
hari dimana hati kita menjelma telaga kehidupan
di huni mekaran pelajaran meraih citacita

hari dimana gerak akan menampung keagungan kita
ke sebuah kapal gema yang diucapkan dengan berani
dengan penuh daya

*)10 Agustus 1644: Pecah perang Minahasa-Spanyol yang berakhir dengan kekalahan bangsa Eropa itu di tanah Minahasa.



PADA CATATAN ANTONIO PIGAFFETA*)

di bandarbandar  
banyak orang tak tahu ke mana pergi
ke mana menemukan diri sendiri

kuli
masih saja kuli
memikul kemalangan

seorang Pigaffeta
dan beribu penjelajah
seakan saman
wujudnya bagai kapak
menebang makna samudera
hingga seluruh layar dan impian
berderak patah

orangorang  hilang arah, hilang harap
setiap kali sauh menjangkar
setiap kali kapalkapal jauh berlayar

kecuali malam mendenyar itu
melahirkan ibu pada sepatah puisiku;

puisi tumbuh digemuruhnya sendiri
umpama burung dengan mata tak berkesip
mengepak gusar dan dengkingku ;

--musim rempah telah berhenti di lautku

*) Antonio Pigaffeta: Pelaut yang menulis catatan perjalanan Laksamana Magelhaes melewati kepulauan Sangihe dan Talaud  pada bulan Oktober-November 1521 dalam buku “Primer Viaje en Torno del Mondo”



DENAH LOYASA

ada sisa denah Loyasa*)
di bandar Malahasa
lima ratus tahun sudah usia peta
bertukar rempah dan nyawa

bagai sebuah pita
disunggi batu
ke rambut ibu yang telah tua

inilah sepi dan abu
menyimpul laut yang ngilu
karena berlayar adalah mencari
hingga hidup tak sekadar uzur yang bisu

di ujung tanjung beberapa perahu kecil merayap
seakan bandar punya sejarah tersembunyi
di atasnya burung dan angin bertarung
melunasi hutang di buku matahari menunggu

itu sebabnya tugu tak sekadar batu bagiku
karena yang tumbuh di laut biru;
elegori  ibuku

lalu apa tumpah di pantai selain ombak berderai

tanpa berkayuh di arus
hidupku hanya catatan sehelai

*) Loyasa: Catatan harian Pigaffeta berupa laporan bandar-bandar penting yang disinggahi kapal niaga mereka dalam ekspedisi Loyasa tahun 1537.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar