Sabtu, 26 November 2016

TANGISAN PULAU-PULAU DALAM PUISI IVERDIXON TINUNGKI



KEPULAUAN AIR MATA

sudah lama aku tak mendengarnya
bahkan sejak aku lahir
ke mana perginya suara Sangir

dulu Bitapapero mengemudi
perahunya mengetari Sulu
kini di Ulu hanya lagu pilu
syair tua malu dimainkan penabuh


hingga ke Manginitu puisiku
ke Arangkaa kususuri jejak perahu
pucukpucuk dahan mendekap garam
memandu kesuraman
nyanyian beriburibu balam

sejak lagu ibu tenggelam di biru kedalaman
bapak, aku memuisikan dukaku
dari pesisir ke pesisir
apa yang dapat kubuat abadi

seperti pengali
aku bertemu hanya sebongkah diri

di atas jejak tangis sejauh mana pergi, bapak
pulang aku di kepulauan air mataku sendiri

melanglang ke pulaupulau ini
melanglang ke luas sanubari
hanya Tuhan saksiku
aku tak bisa lari dari hatiku yang pedih

dan batu kecubung berbagi umban ke dahi
di ujung perjalanan paling letih
terasa
sedang sejarah dan matahari hanya meniru usia
aku tak boleh mati sebelum bertemu suatu pagi



PENYAIR TUA DAN MUSIM BERLALU

rinduku pada ukulele
serindu aku pada aime
petang datang, malam kian dalam menikam
aku kuatir pada usia retak dan matang

pabila kukenang
harapan bagaimana ia mengalir
selalu hanya segenggam pasir
apa bisa disatukan ingatan dan angin

rinduku pada ukulele
rindu penyair
dan musim selalu punya hulu dan hilir
petang datang, malam kian menikam

tinggalah aku di tepi pesisir dingin
memandang nelayan, bau garam lekat di lengan
tapi lidahku tercekik sepi
aku kuatir pada usia retak dan matang

penyair tua
dengan angkatannya yang terdahulu
meninggalkan tugutugu penghibur
tapi rindu dan musim lalu berlalu
di laut bertalu gelombang ragu

maka kusajakkan pulauku
seperti penabuh congga menghidupi tradisi
sambo dan pelautpelaut lorca
mengawinkanku dengan copla

di balebale aku bersenandung
kendati tak tahu apa mesti kuhibur
tak jua hatiku, tak jua etape pelayar mati itu

sejarah eskader kita menyusut ke ajal mimpi
dan semua kisah perahu jadi semu
sesemu rinduku, rindu aku pada aime

di sini aku mengunyah pilu pulau dan laut
dalam kelabu sajak mata camar
serindu apa kau padaku
aime


PADA KATA LUKA MAHONI
--A. Syubbanudin Alwy

buku yang kau tinggalkan
jadi kembaran cahaya ibu
melahirkan kita
pada kata luka mahoni kaugubah

ia menyematkan hujan arak di tenggorokan
dan sepatah kata kotor muntahan  
tergeletak di jalanjalan

di halaman panjang
di beranda nakal tempat kita menghabiskan hari
tak kutemukan perpisahan matahari
karena diri adalah api dari cahaya itu sendiri

tak jauh, sebuah pulau terpekur serupa dinosaurus
menunggumu dengan punggung diliari ilalang
masih di tempat lelapnya
menagih janjimu kembali membangunkannya

badik kauh asah dan jaket coklatmu
membentang tanah lain dipenuhi ilham
lihatlah aku menulis pertempuran dingin kecupan
di halaman laut yang kesepian

aku mulai dari batu
batu penyangga dermaga tempat datang dan pulang
tempat kita menunggu bulan menjadi tajam
menusuk malam tenggelam bersama silam

lalu asal usul perahu kau pertanyakan
selalu pecah bersama pangkal akal yang tumbang
harihari susah kita susupkan ke binar mata

di harihari liar itu
sepatah kata kotor memuai bak balon raksasa
terangkat menuju sarang api lain yang kita takutkan
dan telah mendidih semua kesakitan

datanglah kembali ke tanah perjanjian nuh ini
dengan topi bulu rusia dimusuhi anjing
lolongnya telah sampai ke hutanhutanku
mengertaki nuri di ranting mahoni
yang sama kita puisikan


KUDA KETIGA

sembilan bulan di dataran tinggi
sejak itu dongeng pulau
mengaji cempaka dan melati

karena tak ada yang lolos
tanpa mengaji diri

di sana kuda pertama dibesarkan cambukan
berlari secepat rasa sakit menderah
debu berhamburan
tempias seolah diorama air mata

kuda itu mengitari kota dan pedusunan
mencari sampai letih, sampai rebah
sejarah kesakitannya
dan malam yang berduka
membuka langit semua kata gelisah

kuda lain datang
itu kuda kedua, bukan siapasiapa
hanya kuda balapan
kuda para pemuja kepalsuan
melesat cepat
dipacu ledakan gairah palsu kegembiraan

seperti kembang api mengungguni musim
kemudian hilang sebagai diri

di mana kuda ketiga?

hanya ada kuda perang, kuda para ksatria
dengan pelana agungnya
bertarung sampai mati
persis di siang hari
saat mimpi tak dipertanyakan lagi

dan lantana menjalari makna Naura Dava
api tradisi cinta
menjulurkan sayap malaknya
terbang menuju pulau abadi
dengan sembilan kuda baru lahir kembali


PADA BURUNGBURUNG

aku iri pada burungburung 
yang beterbangan
yang menakik bisikan musim
yang sayapsayapnya terus mengepak

pada camar
yang merayakan alam bebas
yang sepanjang tarikh
tak jua membenci kesunyian

bahkan yang mengendong anaknya
menyelusup
sejauh kedalaman  getar riang

yang mengolah koyak perahu
jadi buihbuih berpadu

dalam bau asin
dan lengan kekar arus
aku dan kotaku
hanya wujudwujud pelalap semua hari

bersimbah…
bila bukan debu
pasti katakata beku


TANAH LAHIRKU

aku menungguimu serupa getar pohon ceri
dan puisiku beterbangan seperti burung jalak
gontai  bagai pemabuk meneriaki bayang penyamun
karena aku tak ingin kehilanganmu
sedetik  pun aku tak ingin
tak mencintaimu tanah lahirku
sampai daundaun ceri lepas
mengalas tanah cemas
bahkan ketika aku sudah mati
cintaku terus tumbuh bertunas
merenda musim dan kedinginanmu

lihatlah harapanku berperahu
di atas cinta berkilau
meresapi laut tibatiba bersemi
seindah tiara memahkotai hatiku
kendati…
lebih banyak anak sepanjang saman
meninggalkan pulau karena ragu mencintai
terpikat pesan benua jauh
lalu terpuruk dalam mati penuh penyesalan
karena tak merasa mencintai tanahnya sendiri

mereka generasi dengan paras bejat
tak ingin menyentuhkan tangannya pada rumput
dan para pemimpim dengan daya bayang tumpul
menyimpul tanah lahirku seperti erena dadu
patung batang padi
mengitari sawah kering
dan pemandangan orangorangan pengusir burung
semua bajunya koyak
melambangkan kemiskinan itu membuat untung
o…
sungguh menyedihkan semua itu

dalam kesedihan
aku kian dalam mengerti bagaimana longusei
dan melati putih mengupacarai tali pusarku
saat pertama kali menyatu dengan tanah kucintai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar