Sabtu, 26 November 2016

RAS NAGA TIMUR NUSANTARA DALAM PUISI IVERDIXON TINUNGKI



TENTANG SYEKH DAN PADERI

ada syekh dan paderi
merekahi pagi pada kisah cengkih
dan beribu kalibri

sudah lama
burungburung sudah jauh pergi
suraunya telah jadi kota
muara pemandian kubang limbah


kecuali petani di ladang
buruhburuh penambang
nelayan kelelahan
menadah nyanyian camar usang

dan rumputrumput membilas
menemukan nafas bumi merubungi
pulau dipenuhi bular air mata

o sangirku, seperti biji sesawi putih
di balik makna kelabu
jalan Ilahi dan bau cendana
tersuji di panji sejarah



KEMBALILAH RAS NAGA

kembalilah ras naga
kembali ke laut
nyanyian camar
jangan sampai samar

di sajakku lembayung mencair
rupa kata menetas di altar air
ia mengalir bersama perahu cadik
mencari bandar dan hilir

sejarahkan padaku bau rempah
barus dan damar
buat sejakku
kembali berlayar

kembalilah ras naga
kembali ke Tamil, ke Madagascar
orangorang menantimu
muncul kembali
di kabut laut berwarna hijau toska

kembalilah
dan penari menyambutmu
dalam pesta copla*)
           
karena sejarah kusajakkan ini
kisah nira di tembikar tua
menuai kembali penghibur
cadik perahumu yang gemerlapan

kembalilah ras naga
kembali ke timur jauh sajakku

*) Copla:Puisi rakyat Spanyol yang mirip dengan Puisi rakyat Sangihe Sasambo.

           

PETA PERTEMPURANKU

aku mau mengayu perahu warisan moyang
bukan ke Tugis, bukan ke Bugis
bukan ke Sulu, bukan ke Maluku
tapi ke jiwa bahariku

siapa berani datang menambat perahu
pada batu mantra pejalku
selain sejarah laut dan penjelajah gelombang  
yang berkarib dengan maut

karena cahaya masa kini lebih bisa
lebih bisa dari benih silsilah bisa kalajengking
maka moyangku meruwat bumi dengan benih para arifin;

--ual pata ual, kau pata siri!

bajak laut…
dari masanya
hingga jakarta dihuni beriburibu maling
kita jangan berharap mata angin lain
berlayar aku ke tujuh belas haluan sendiri

mantra…
dan jantra kita
arus laut tiada henti merekah

dan bintang disisip Ilahi
pada semua sisi langit
bukan tugutugu kesepian
dipecahpecahkan
dan ditambang
oleh perompak
dan keji kekuasaan

sejak Sangir menjadi Sangir
ia bara kipung*) yang terlangir
landasan hati bersinar sembilan purnama
bungabunga. dan burungburung
semuanya bersuara seperti kidung;

mari merapikan pungung bukit. mari
yang lama cidera dan membusuk
sedalam luka menusuk sanubari, mari

mari menjahitkan laut tercabik
seluas sakit hati ditegukkan ke diri

bukan dari legenda sanghein*) kawanku
bukan! bukan karena itu
aku jadi lempeng pulau menangis. bukan
logamlogam tajam sejarahlah yang melukaiku

lalu harihari, seperti mengurai bandar banal
kapal intan berlayar lampin. tersuruk
diarak beribu burung gagak
menguasai kota
hingga tebing paling curam dari desa

tapi, para sundal keras bernyanyi
memuja harapan kosong
langit gosong
di atas istana
di atas menara istana
desing bedilbedil lena dan durhaka

ketika malam menyusun ketabahan
kita menyusuri ratapan
sudah pasti politik itu wajahnya seperti babi
mengoyak ladang petani
mengoyak, dan mengoyak
hingga semua harapan runtuh dan boyak

kadang
ya kadangkadang
kita merasa seperti di masa lampau bajak laut Sulu
atau kolonialisme para pemburu rempah
merdeka itu apa
bila merdeka hanya berhenti sekadar katakata

o… jangan diterima begitu saja!

bertempurlah
hingga pertempuran jadi takdir
tak bisa ditawar dalam hidup atau mati

*) Kipung: sebutan untuk Pandai besi dalam bahasa Sangihe. Sanghein: Burung Walet dalam bahasa Sangihe yang juga diartikan sebagai tangisan.


SAMPAN

sampan meluaskan aku pulang
sampan itu telah hilang
tergulung gelombang semu
tangan penyair kelaparan

duhai para rasismus yang mencampakkanku
kamu yang terjebak di kamar mimpi
lihat timurku mengantang api gelora abadi
dengan cadik dan kemudi

aku masih perahu
mengawinkan lagu dan gerak timurku
ke lekuk sejarah
tak mungkin remuk oleh nama dan berhala rasismu

pulau amat suci ini pohon kerinduan
sampansampan gagah
perahu yang diucapkan dengan rendah hati
melabuh kalbu

karena cinta, beribu sampan datang pergi
melayari abad yang tak bisa mencampakkanku
sebagai diri



AKU DILAHIRKAN LAUT SAJAK

aku dilahirkan januari
bersolek topan
dan malam melalap ibuku
sepedih jeritan

perahuperahu kecil di mataku tertatih
sarat sinar ketakutanku sendiri
tapi aku terus belajar berdiri

dan sayap balam kukenang
di lima puluh dua tahun perantauan
masih berdarah di jejak keramat
pertarungan nenek moyang

masih kukuh di cakarnya
gema ricu nasib anak kepulauan

aku digendong kecemasan
ditindas keraguan
dan kesanggupan diarak untuk susut
memantulkan daya giur yang jantan

di bandar
kapalkapal kertas terbakar
tiang layarnya sengkurat
menikam bisu gelombang

aku sekadar penumpang bimbang

di geladakgeladak petir
para pelaut berlarian
sedang di pesisir
duka duduk berjejer
memeluk tengkuknya yang gemetar

aku dilahirkan laut sajak
pada januari yang bersolek topan
moyangku ketika itu
telah melintas Horn of Africa
dengan perahu

jejak perahu cadik para naga
di malam ketika ibuku menjerit
memuisi di pusarku yang berdarah

sebagaimana tradisi
aku dicebur ke luhur hati
di keluasan kalbu punya ombak sendiri

apa bisa kaurimpang
saat hati mencair sebagai samudera
panggil beribu pemahat
apa bisa kauubah pada air mengalir

selain kapalkapal melaut
perahuperahu melayari
panas arus
membuai bagai lengan kekasih

di petapeta samudera kuno
pengembara laut mengasah diri
bagaimana mencumbu laut
sedalam kemistri

di hutanhutan bakau
sinar toska menanti perantau;
cecaplah bazar samudera ini
biar mendidih frasa paus hiu dan tenggiri

o harum mata angin
o harum kayu manis dan cassia
dalam sejarahnya
ia menyeduh air mataku yang bahagia

kendati di pantaipantai
burungburung jengah dan kocar
bertanya;
masikah gelombang semakna mawar

selembar perahu daun
di senja kelima puluh dua tahun
membawa getir puisi
pada layarnya yang samar

tapi ibu yang laut itu
tak bisa tawar
di asin mata yang mawar

ia membentukku dari getah pohon cakrawala
pada beribu purnama tak dapat kaubelah



HUTAN DAMAR

di hutan damar
masa lalu berlalu dan samar

getah hitam di tanah
getah luka
getah sejarahku yang menganga

di sana lelaki anoa
tumbang di atas rawa
memuntahkan getah yang sama
luka jalur rempah

tak jauh gaduh batu
entah mengubur siapa
bertebaran di bawah pinus
melelehkan getah baru; seperti nanah

o betapa pedis gerimis
menyeduh pucuk pinus
manguni yang luka
memanggil malam tiada bernama

beberapa lelaki tertatih menuju puncak bukit
mencari suara tersembunyi itu

tapi kembali dengan hampa lebih tinggi
kembali dengan ratap lebih perih



KEPADA JUPITER MAKASANGKIL

Kasili di sini duhulu ada letusan musket
anak muda pemberani terhuyung
anak muda pemberani akhirnya mati

sungguh pucat hari itu
hari daundaun memeluk perasaan luka
akarakar menangkap api meresapi genang darah
langit terseduh ibu paling nestapa

o saman
kau selalu punya penakluk dan pahlawan
meski hanya sondang di pinggang
tak ada ketakutan menembus diri

di hutanhutan Lamauge diri telah jadi api
dan puluhan marsose
kembali mencari putra Tubui
ia tak berhitung dengan mati

ia rebah Kasili
ia rebah dada koyak
tapi tak menangis Kasili
kerena mati lebih mungkin demi harga diri


ANTARA LATEA TANJUNG ALANG
-- Kel. Polnaya –Tomasoa –Timisela--

batubatu bergambar pelangi
lebur jadi keping hati
di kali
tempat matahari merendam perih

dan kutabung kebaikan Latea
dalam kisah perahu timur
utara dan selatannya umur

manusia adalah pelayar
hingga jariku meraih tanjung alang
gelombang surut dan pasang
di atas sinar mata mematang

moga kenangan
purna kubawa pulang

di suatu malam barangkali
kita akan sama merasa keluarga hikayat
makhlukmakhluk berumah di bawah atap ajaib
tiada ujung pangkal bersangkal

dan dongeng akan tumbuh di tempat singgah
doadoa membiara dengan ribuan prajurit ingatan
berjaga di pintu depan kenangan paling dalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar