Jumat, 25 November 2016

PIDATO KEBUDAYAAN DI HADAPAN KUNANG-KUNANG



PIDATO KEBUDAYAAN DI HADAPAN KUNANG-KUNANG
(Sekadar Catatan Dalam Rangka Hari Puisi Indonesia)

Oleh: Iverdixon Tinungki

Setiap penyair punya kesunyiannya masing-masing, kata Chairil. Demikian kehidupan, punya kemuliaannya masing-masing. Di antara dua kutub itulah aku hidup, dan merayakan hidup. Karena hidup terlalu megah untuk tidak dirayakan, kata Umbu. Dengan puisilah aku merayakan hidup. Merayakannya dengan cara memuliakannya sekaligus mengkritisinya.


Sepanjang ini aku baru menulis seribuan puisi. Dan aku ingin menulis sepuluh kali lipat dari apa yang sudah kutulis. Karena puisi adalah cahaya diri, cahaya kehidupan itu sendiri. Puisi tak akan pernah kehilangan cahayaNya, kecuali kita membacanya dengan jiwa dan perasaan yang mati. Puisi adalah ujung dari pergulatan pikiran dan medan terdalam dari perasaan yang dikelola untuk mencapai kemampuan dan kekuatan elektis memperagakan kebebasan.

AKU PERNAH SAMPAI DI ARANGKAA

aku pernah sampai di Arangkaa
di dusun kering
di tempat mimpi selalu tak mungkin
dan luka api masih berdarah

seuntai lagu di langit
dari suara seekor kunang
dipantul dinding batu
mengkremasi kujur tua bulan kesepian

aku pernah sampai di Arangkaa
di padang puisi yang luput ditafsir penyair
dan senja lenyap di tanjung

bagaimana membedakan riang dan kabung

di bawah patung Larenggam*) letih setua abu
dan sudah senyap perayaan suasa pemetik tradisi
hanya bau angus catatan sejarah
tengkorak hancur dalam gua

seorang nenek tua bungkuk mengayam pandang
dengan kemerdekaan irama jarinya
ia tak punya sehelai bendera
buat dikibar bersama duka


Sejatinya, jalan menuju puisi adalah jalan tanpa ujung berhenti. Semacam upaya terus menerus membongkar diri, mencari penghayatan yang dalam dan sublim tentang hidup dan kehidupan. Karena ada yang selalu menarik untuk diburu, ada yang selalu meminta untuk ditulis. Kesadaran dan perasaan ini barangkali yang muncul dalam ungkapan, “puisi yang baik dan indah selalu berupa puisi yang belum ditulis”.

Setiap kali aku menyelesaikan sebuah puisi sebagai titik pencapaian dari pencarianku, selalu terpampang kembali rute lanjutan dengan setangkup keterpesonaan yang baru. Sebab, pada akhirnya seorang penyair akan berusaha menempatkan puisinya dalam situasi yang bebas, dimana ketika penyair mencapai titik kehidupan manusia yang bebas pula, menjadi individu yang memiliki kemampuan impulsif yang serba spontan. Di rute inilah menurutku seorang penyair tumbuh dan berkembang dengan seluruh pengalamannya yang disebut sebagai proses kreatif kepenyairan. Proses kreatif inilah yang barangkali dimaksudkan semiolog Roland Barthes dimana penyair adalah subyek yang terkonstruksi secara sosial dan historis.

ANAK BILALANG

di Bilalang seorang anak bertanya kepada menikulu
pantai itu apa. suaranya bak pekik hutan rimba di siang hari
ketika dering telepon genggam mengajak percakapan
tanpa batas antar benua. di siang hari saat pesawat ruang
angkasa sedang menjelajahi bimasakti. di siang hari ketika
bandarbandar begitu sibuk meladeni kapalkapal datang pergi.

seorang Guhanga menjengkal bambu di tanganya. mencari
jawab pantai itu apa. anak itu kemudian berjalan ke sekolah
melewati jembatan bambu yang terpacak di atas rawa dan
kuala. mereka ke sekolah karena ingin mencari jawab Bilalang
itu di mana.

di sebuah rumah Sigi para penari tayok berdiri. mereka letih
bertanya pada leluhur sakti dimana matahari tidur malam nanti.
gerimis menyaput Bilalang. bunga liar mengambang di bentang
zaman. makanan tersaji di palapag  diriangi siuran kutilang dan
angin yang mendengking. namun lengang itu  seakan jimat
dikolom yang melingkar lengan.

o… aku harus menyebut Mongondow dengan cermat saat
anakanak itu bertanya kembali pantai itu apa. pantai itu, kataku,
tempat dimana kita bisa melihat Ketegi Bontong membawa matahari
mengembara ke manamana

Menurutku, puisi yang baik dan indah itu lahir dari seorang penyair yang tahu apa yang akan ia tulis, mengerti apa yang akan ia tulis, dan memiliki kemampuan teknis untuk menuliskannya. Hal inilah yang disebut sebagai kemampuan impulsif seorang penyair dalam melahirkan puisi secara spontan bahkan kadang tidak disadari sang penyair sendiri.


SUATU HARI DI PULAU KAWIO

siapa menyangka
pernah tiba di sini
Juan Sebastian del Cano*) 

atapatap hijau mangrove
dan laut yang kutatap
diramaikan ikan bersirip dan kakap

kubayangkan kesepakatan Tordisalles*)
semua samudera baiklah disusur
sebagai bukti bumi bulat bagai bola

dan di tebing batu pasir putih ini
kapten del Cano pertama kali menyakini
manusia tak bisa lari dari peta hidupnya sendiri

aku mendengar ada musik hispanik
diramu malam dusun
mengiringi penari
di pesta hari anakanak bumi

aku ikut bernyanyi
dan menghanyutkan lamun
jauh ke sana ke layar masa lalu
yang berarak mencariku di sebuah pantai nan bisu

Kesadaran yang mendasari proses penulisan puisiku yakni dimana puisi merupakan cerminan sekaligus kritik atas realitas. Puisi sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan jiwa sebagai resepsi emosi manusia dari realitasnya, juga sebagai representasi realitas, dan ekspresi manusia dalam menanggapi realitasnya. Puisi tak sekadar permainan kata tanpa makna, tapi penggalian dengan diantaranya spirit merevitalisasi ruh ibu budaya dengan wawasan estetik penyair pada konsep puitika yang tak dapat dilepaskan dari ibu budaya yang melahirkan dan membesarkan penyairnya. Menulis puisi harus dicapai dengan kesungguhan, kedalaman, dan semangat meraih capaian estetik sebagai bagian inheren dengan proses kreatif penyair.
Kadang secara seksama mencermati, merekam, mencatat, dan menumpahkan segala pengalaman hidupku berhadapan dengan realitas keseharian, latar sejarah, kisah dan kehidupan masyarakat ke dalam puisi.       Kadang juga aku menulis karena keterpukauanku pada alam, pada pohon, tumbuhan, burung-burung, pergerakan awan, matahari, bulan bintang. Aku sering terangsang untuk segera menuliskannya sebagai puisi, seperti seorang pelukis yang langsung melukis impresi-impresi itu pada kanvasnya. Aku mempelajari nama-nama tumbuhan, hewan, memperhatikan morfologinya, anatominya, tingkah lakunya untuk bahan-bahan puisiku. Setiap terjadi gejolak dalam masyarakat, aku berusaha untuk memahaminya apa latar belakangnya, faktor apa yang mencetuskannya, apa akibatnya, lalu kucatat dalam puisi.

CATATAN MUSIM

hari itu musim yang luar biasa
kau mentraktirku kopi Afrika
di café bernama Cabana

di luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan gemanya yang merana

perahu nelayan
dan burung layanglayang
meneguk duka

sebilah puisiku masih terluka

seorang pemetik gitar
mengonserkan lagunya;
Killing Me Softly

--entah kepada siapa ia berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum tumbuh dan bernyawa

tapi kubaca matamu
bagai etalase esok dipenuhi musim semi

sejumput rumput bisa seindah melati

aku pun ingat fotomu saat di Eropa
ada yang menggerah di tepi dada

jejak buram sepi sebuah jalan
tak bisa kulalui
kecuali kususun rapih
--kendati barangkali kisah ini bakal dilalap api

lalu perlahan kau bernyanyi
dengan petikan musikmu sendiri

lagu itu tertelan sebagai ampas pahit
dari gelas bakal kukenang
bakal kubawa pulang
--sebagai kopi dan maut yang menagih

Sebab, aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui biografi rambutmu
dan kecemasan
gegas menusuk setajam panah

aku bakal mati di rambutmu karena;
“begitu cantiknya kau”

sungguh aku luput menyimak
betapa puitisnya sayap Balam

ia menyempurnakan kitab senja
harusnya kukecupkan jelang pulang


Dalam proses penulisan tidak selalu kerjapan-kerjapan inspirasi, atau percikan-percikan imajinasi yang kutemui dan kudapatkan itu langsung kutulis menjadi puisi yang selesai. Ada tahapan mengendapan, kontemplasi, dan studi refensi terlebih dahulu, baru menuliskannya menjadi puisi. Tahap akhir adalah melakukan selfcritique atas puisi yang sudah jadi. Tahapan selfcritique merupakan finishing dengan melakukan aktivitas pengeditan dan atau melakukan pertimbangan akhir pendiksian.

Seperti seseorang yang berperahu di atas samudera syair ilahi yang luas. Kian ke sana, kian terasa baru sedikit saja yang kuketahui. Tapi, sebagai penulis puisi, aku ingin merayakan kehidupan di tengah pengetahuan yang sedikit itu. Sambil menyadari dalam menjalani kehidupan selalu ada yang patut dikritisi, dan ada pula yang patut dimuliakan. Ada yang patut dikenang, ada yang patut dibarukan. Dengan seluruh kegembiraan kumiliki, aku menumpahkan perasaan-perasaan itu ke dalam puisi. Dalam menulis aku berusaha dengan caraku sendiri, dengan bahasa kumengerti, dalam suasana akrab dalam keseharian kujalani. Aku berusaha keluar dari romantisme sejarah, dengan kesadaran bahwa masa lalu tak mungkin dihadirkan ke dalam kini secara persis. Disinilah tafsir dan pemaknaan kembali menjadi penting.


DI SUATU WAKTU SAAT MUSIM TERASA DINGIN

di suatu waktu saat musim terasa dingin
engkau bertanya; siapa yang menunggu kita
di tepi usia beranjak tua

engkau lalu merasa begitu piatu di tengah hiruk pikuk
terbakar oleh mau yang melepuh
            hariharimu menjadi bait petir menghujam dasar kalbu

lautan hati semacam ini sudah pasti sesesak stasiun
digemuruhi taufan suara gila
plangplang penanda lintasan watak ganjil
merayakan penyesalan yang siasia

engkau telah lama terpenjara bayangbayang
janjijanji palsu bakal lenyap di jamban peturasan

padahal betapa sungguh luas tanah air kita
siap merengkuh semua yang meretih di dada

tapi apa yang tumbuh di ladang usia
kalau bukan ingatan samar tentang segala memar

engkau telah lama menyarungkan pedang
membiarkan gelombang lelap sendirian
hingga semua sejarah ketajaman pikiran terlupakan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar