OLEH: IVERDIXON TINUNGKI
“KAMU adalah GARAM dan TERANG dunia”
Matius 5:13-16
Manusia
sebagai paradoks adalah sang penanti kabar. Allah adalah kemegahan yang murni
yang menandai segala yang ‘ilahi’, pewarta yang setia bagi umatNya. Pemahaman alkitabiah
tentang manusia diletakkan pada perhitungan kebaikan penciptaannya maupun
keburukan kejatuhannya. Sebagai makhluk yang memiliki keanggunan yang unik karena diciptakan segambar dengan Allah,
maupun kebiadaban yang unik sebagai
orang-orang berdosa yang berada di bawah penghukuman Allah. Bagian yang pertama
memberikan manusia pengharapan; yang kedua memberi batasan pada
harapan-harapan.
Sebagai
makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, manusia dapat berperilaku
seperti Allah, diantaranya kebolehan untuk berpikir, memilih, bertindak secara
kreatif, mengasihi dan menyembah Allah. Tapi pada sisi lain, manusia juga bisa menolak untuk berpikir, malahan dengan
sengaja memilih untuk berbuat jahat, membinasakan, membenci dan menyembah manusia atau diri
sendiri. Manusia membangun gedung-gedung gereja, tapi juga menjatuhkan bom-bom.
Manusia menciptakan dan mengadakan fasilitas rumah sakit untuk menolong mereka
yang sakit, tapi memanfaatkan teknologi canggih yang sama untuk menyiksa
lawan-lawan politik yang tidak sepaham dengannya.
Keberadaan
manusia yang mendua inilah yang membuat manusia sebagai makhluk yang betapa
paradoksalnya. “Manusia makhluk mulia
sekaligus tidak mulia, rasional sekaligus tidak rasional, pengasih sekaligus
egois,” tulis John Stott. Dalam konteks ini Allah dalam Yesus Kristus menemui
sendiri umat ciptaanNya yang terperangkap pada optimisme yang terlalu lugu dan
pesimisme yang terlalu negatif itu, hingga mendapatkan keselamatan dan meraih
keagungannya yang unik sebagai mahluk yang diciptakan segambar dengan Allah.
Dalam
karya penyelamatan itu nabi-nabi dilahirkanNya sebagai penyampai pesan bagi
zamanya, hingga PutraNya yang kudus Tuhan Kita Yesus Kristus terutus membawa
kabar indah keselamatan bagi manusia. Begitulah sejak zaman mula-mula gereja
terbentuk di hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-4), kabar baik itu terus bersampai
ke seluruh penjuru bumi, dan tiba di pesisir ini pada sebuah pagi, dan terus
melintasi hari-hari di kurun waktu empat abad lebih.
Lantas
apa yang dapat dikisahkan dari perjumpaan manusia dengan Allah di kurun empat
abad yang gemilang itu? Ini sebabnya, dalam empat abad itu pula pantai Singkil
Sindulang tak sekadar mengisahkan debur
ombak, atau cerita nelayan “Soma” (pukat) dampar milik juragan-juragan
pribumi dan orang-orang keturunan Spanyol dan Portugis yang sudah lama menetap
dan membangun kampung-kampung Borgo di tepi pesisir ini. Atau kisah seorang Nyong
Pranggang (lelaki remaja) yang pulas di samping lampu Kana menanti datangnya
waktu riuh teriakan; “Hela haluang
kamudi’’ dari kultur menjaring ikan,
diiringi makian dan doa di tengah malam menjelang pagi.
Tak
juga sekadar kisah-kisah para pekerja onderneming dengan gaji pas-pasan di
kebun-kebun kelapa yang membentang dari muara kali Tondano (kuala Jengki) hingga
muara kali Bailang Tumumpa di masa penjajahan Belanda. Juga bukan cuma tentang
tari Katrili dan Volka peninggalan budaya Spanyol-Portugis bagi masyarakat
Borgo, dengan aroma keras bau Sopi dan Captikus, atau Cakalele yang rancak
ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan mata seramnya. Juga tak
sekadar aroma magis dari upacara-upacara bernuansa paganis dari keyakinan lama masyarakat alifuru dan animis.
Singkil
Sindulang adalah sebuah pesisir dalam peta pertumbuhan iman umat-umat pilihan
Allah di Utara Manado bahkan di timur Nusantara. Empat abad perang dan
kolonialisme yang tak hanya menelan banyak korban jiwa, tapi juga menjumpakan masyarakat
di sini dengan ke-Kristen-an. Sebuah musim semi dalam pertumbuhan iman, pengaharapan,
dan kasih dalam persekutuan orang-orang yang dulunya tercerai berai oleh
perang, perbudakan dan alienasi.
Bila
mensitir kitab Ulangan 7:6, maka tak berlebihan bila kawasan pesisir dari Tanah
Minahasa ini disebut “Israel diaspora”
mula-mula di Sulawesi Utara. Israel
diaspora adalah sebuah istilah bagi umat
Allah yang berada di luar teritorial negara Israel. Bila kitab Perjanjian Lama
menegaskan dimana Allah sendiri yang memilih umatNya, maka di kurun empat abad
lampau itu, dari sisi teologis dan ekklesiologis kita bisa menyimpulkan dimana Allah
dalam Yesus Kristus lewat perantaraan
Roh Kudus sendiri juga yang memilih umatNya mula-mula di kawasan pesisir ini
hingga menjadi jemaat-jemaatNya. Bukankah Yesus sendiri dalam metafora-Nya yang
hidup mengatakan, “Kamu adalah terang dan garam dunia” bukan saja kepada ke 12
rasulNya tapi juga kepada para nelayan, petani, pekerja kasar dan tukang, juga
raja-raja di pesisir ini hingga menjadi hamba-bambaNya. Sebagai pihak yang
bertanggung jawab dan setia membangun aras-aras pelayanan melintasi abad dan
kurun waktu hingga menjadi Gereja hari ini (Yesaya 41:8,9; 43:1).
Maka
adalah sebuah senarai yang menarik dan penuh kejutan bila menilisik dan
merefleksi pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat di teritorial pelayanan
GMIM Manado Utara bila diurai dari masa lampau itu, yang kemudian membentuk
aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini.
Dari
manakah benih awal kekristenan yang menjadi pohon pelayanan di kawasan ini?
Siapakah yang menebar Injil mula-mula hingga terjadi perjumpaan yang mesra
antara manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus di pesisir ‘Tanah Pengharapan’
ini? Siapakah mereka yang terberkati menjadi Jemaat pertama? Seperti apakah
perkembangan selanjutnya hingga kita hari ini menyaksikan betapa indahnya taman
pelayanan di kawasan pesisir ini. Bagaimanakah Tuhan membentuk kelokan dan
tikungan aliran sejarah pelayanan jemaat-jemaatNya?
Rentetan
pertanyaan sarat makna di atas tak mungkin terjawab bila kita tak mengurai benang merah sejarah pelayanan
dari kurun empat abad lampau.
Bagaimanakah
rentetan peristiwa sejak empat abad lampau itu? Semuanya bermula ketika 1500
orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma menerima sakramen baptisan dari seorang Peter
Jesuit Diego De Magelhaes di tahun 1563. Bapatisan itu dilakukan di muara kali
Tondano (saat ini disebut Kali Jengki), atau tepatnya di tepi pantai Sindulang.
Nama baptis Raja Siau Posuma adalah
Don Jeronimo.
Dari
beberapa literatur, peristiwa baptisan oleh Peter Diego De Magelhaes tersebut
ditegaskan sebagai awal mula
perjumpaan masyarakat alifuru dan para penganut
animisme yang mendiami kawasan pesisir ini dengan kabar baik dari Injil Kristus
yang datang bersama kapal-kapal dagang Spanyol dan Portugis yang mencari rempah
dan kebutuhan makanan lainnya bagi kebutuhan pasar-pasar Eropa.
Dari
momentum sakramen baptisan itulah jemaat
Kristen pertama terbentuk di pesisir Manado Utara, dan terus berkembang
melintasi empat abad (1563-2013) hingga saat ini.
Bila
ditelisik dari aspek teologis, peristiwa baptisan pertama oleh Diego De
Magelhaes di atas tak sekadar bermakna historis tapi juga teologis sebagaimana
diamanatkan Efesus 1:3-14, dimana Tuhan Allah, Bapa dalam Yesus Kristus, yang
oleh Roh-Nya yang kudus telah memilih, memberkati, mengutus dan menyertai
Gereja-Nya.
Bagaimana
harus bermula di sini? Pesisir Manado Utara dan muara kali Tondano ketika itu dapat
dimetaforkan sebagai pintu menuju “Tanah Pengharapan” yang menjadi salah satu
titik penting sekaligus bandar pertemuan orang-orang dari berbagai suku dan
bangsa untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan “surga” bagi
para pemburu harta dari Cina dan Eropa yang datang bersama kisah-kisah perang
dan penaklukan. Di tengah keramaian itulah seakan Yesus datang menemui umatNya
dan membangun gerejaNya. Kehidupan alifuru dan kepercayaan animisme masyarakat
harus dicerahkan menuju pemahaman yang utuh tentang pengharapan dan keselamatan
sejati dalam Yesus Kristus Tuhan.
Mesionaris D. Brilman dalam bukunya yang berjudul “ Onze Zendingsvelden, De Zending op
Sangi-en Talaud-eilanden” , membenarkan
adanya efektuasi yang luar biasa dalam
kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter
Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2
orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau. Kesaksian yang sama juga ditulis beberapa literatur
antara lain karangan dr. Godee
Molsbergen dan Wessels, Schwengke, Peter Muskens, dan buku dari Dr. Muller
Kruger, seorang dosen yang pernah mengajar di sekolah tinggi Theologia Jakarta.
John Rahasia, sejarawan dan
penulis buku Tagaroalogi dalam ceramahnya di gereja Patmos Bunaken tahun 1980, sebagai
mana dikutip sejarawan Sem Narande,
menjelaskan , 5000 anggota jemaat yang ditemukan Ds. Werndly di tahun
1707 di Manado adalah produk dari penginjilan masa Portugis .
“Kita
mendapatkan data, bahwa pada tahun 1563, Peter Diego De Magelhaes datang dari
Ternate. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan seorang
Raja dari Siau yaitu Raja Posuma bersama 1500 orang rakyat. Raja POSUMA sendiri
adalah putra dari Raja Lokongbanua yaitu raja pertama di Siau. Kedua Raja
Manado dan Siau serta 1500 orang minta kepada Peter Diego De Magelhaes dari
gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” (Valdu
La Paskah, Narande Sem, 1980, 333).
Sebelum
kedatangan Ds. Werndly tahun 1707, pendeta Ds. Montanus sebagai pendeta Belanda pertama yang datang ke kawasan ini menemukan
segolongan orang yang merupakan Jemaat Kristen di pesisir Manado di tahun 1675.
Hal ini menegaskan dimana lebih dari dua
setengah abad sebelum GMIM lahir di tahun 1934, sudah ada jemaat Kristen di
Manado Utara.
Menurut catatan Sem Narande,
proses kehidupan kekristenan sudah berjalan. Bukan baru mulai. Bukan belum
berwadah apalagi berlembaga. Bukan belum berbentuk dan berwujud. Proses
kehidupan kekristenan di wilayah Manado Utara sudah berjalan lebih jauh ke
depan dan jauh lebih lama dalam kristalisasi penginjilan sebagaimana almanak
kelahiran organisasi GMIM.
Catatan sejarah
jemaat-jemaat GMIM di kawasan Wilayah Manado Utara II yang saat ini berjumlah 7 jemaat, dan juga
pada umumnya sejarah seluruh jemaat di kawasan Manado Utara hingga pulau-pulau
sekitarnya menegaskan hubungan yang erat
cikal bakal kehidupan berjemaatnya itu dengan
peristiwa pembaptisan Peter Diego De
Magelhaes di tahun 1563. Kendati begitu, harus dipapar dimana pada tahun
1675 saat Pendeta J. Montanus mengunjungi Manado, ia mendapati bahwa
jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah, hingga pada tahun 1677 VOC
menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing untuk bertugas di Manado. Kemudian sampai
tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia, sebab kekristenan
pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik.
(Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Meski melewati
patahan-patahan, namun alur sejarah kekristenan di kawasan pesisir Manado ini sangat
berbeda bila dibanding dengan ikwal kekristen di pedalaman Minahasa yang
diperkirakan baru teretas baik pada permulaan abad ke XIX, yang ditandai
kedatangan dua pendeta berkebangsan Jerman yang diutus Gereja Protestan Belanda,
Ridel dan Schwarts di tahun 1831. Kekristenan di Minahasa sesungguhnya telah dimulai sejak permulaan
abad ke XVII. Pada tahun 1619
misi injil Spanyol telah mengalihkan penyebaran misi ke pegunungan yaitu
orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan
Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan
hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka,
para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni
1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai
sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para missionaris asal
Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar
untuk menolak dan melarang para missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman
Minahasa.
Dalam catatan sejarah jemaat
GMIM Nazaret Tuminting yang resmi berdiri pada 17 Maret 1933 atau 1 tahun lebih
tua dari usia GMIM, dipaparkan dimana
gereja itu tumbuh dari sebuah organisasi kristiani yang bernama “Hosana Ambang
Susah” yang didirikan di kisaran tahun 1850 oleh orang-orang Sangihe Talaud
yang beragama Kristen, yang mendiami pesisir Manado Utara.
Kita melihat sebuah arus
bolak-balik perjalanan injil Kristus pasca pembantisan Raja Posuma dari Siau di
Pantai Sindulang, yang kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama memicu perkembangan
jumlah umat Kristen di Siau menjadi 25.000 orang. Serta atas bantuan raja
Posuma pada 9 Oktober 1568 Peter Makarenas membaptis 10.000 orang di Kalongan,
Sangihe. Benih kekristenan itu juga menyebar ke Talaud yang ketika itu kawasan
pulau-pulau Talaud merupakan
daerah-daerah yang berafiliasi dengan kerajaan Siau dan kerajaan-kerajaan
Sangihe. Perkembangan yang pesat dalam kehidupan kekristenan di Sangihe Talaud
dari buah kerja para missionary Katolik itu, dalam kurun waktu berikutnya
menjadi akar yang kuat dalam pertumbuhan jemaat-jemaat di kawasan diaspora
Manado Utara.
Kembali ke Kerukunan Hosana Ambang Susah yang
didirikan orang-orang Sangihe Talaud itu, awalnya bertujuan melayani
peristiwa-peristiwa kematian, kemudian terorganiser menjadi kelompok ibadah
hari Minggu. Dari kerukunan itulah 20 Kepala Kekuarga yang
khususnya mendiami kawasan Tuminting merentas cikal bakal berdirinya jemaat di
tahun 1916, diorganiser oleh perintis
jemaat yang bernama Paulus Kawangung, untuk melakukan ibadah Minggu secara
reguler. Sebelum dibangunnya rumah
ibadah yang tetap pada 1935, kegiatan peribadatan dilakukan dari rumah ke rumah.
Untuk pelayanan sakramen masih dilakukan di Gereja Pusat Paroki Singkil
Sindulang. (Nazaret, Sejarah Jemaat
Tuminting, 1999,10).
Bila melihat perkembangan
jemaat Nazaret Tuminting saat ini kita langsung dipertemukan dengan kenyataan
betapa dasyatnya campur tangan Tuhan dalam kerja penyebaran Injil dan
pembangunan Jemaat-Jemaat. Dari cikal bakal 20 keluarga di tahun 1916, jemaat
Nazaret hari ini telah memiliki beberapa jemaat pemekaran seperti Jemaat
Torsina Tumumpa, jemaat Getsemani
Sumompo, Jemaat Bukit Zaitun Sumompo, Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat
Gunung Hermon Tuminting. Selain telah mengalami pemekaran menjadi beberapa
jemaat, Nazaret saat ini terdiri dari 25 kolom
dengan sekitar 800 kepala keluarga sebagai anggota jemaat.
Sebelum Jemaat Nazaret
Tuminting terbentuk di tahun 1933, orang-orang di kawasan tepi Ordeming Bailang juga telah membetuk
sebuah jemaat yang permanen yang saat ini dinamakan Jemaat GMIM Sion Bailang,
yang di pimpin oleh guru jemaat ketika itu Matheos Kasiaha.
Sementara Gereja Bethanie
Singkil Sindulang yang teritorial jemaatnya adalah lokasi dari peristiwa
pembaptisan di tahun 1563 oleh Peter Diedo De Magelhaes, akar kekristenan awal jemaat ini sudah pasti dari peristiwa
Baptisan pertama itu. Menurut catatan Sem Narande dalam bukunya
Valdu La Paskah, peristiwa pembabtisan oleh Peter Diedo De Magelhaes tak saja menjadi akar perkembangan
kekristenan di Manado Utara, justru menjadi tonggak sejarah perjalanan Injil
Kristus di Sulawesi Utara.
Bangunan pertamanya Gereja
Singkil Sindulang berdiri di tahun 1903
masa pendeta Hendrik Sinaulan. Gereja itu menjadi salah satu pusat Paroki pelayanan yang
mewilayahi kawasan Manado Utara, dari 3 paroki di distrik (Rayon) Manado, sejak berdirinya Gereja
Protestan Belanda di tanah Minahasa.
Di kawasan daerah suku Bantik,
di kurun waktu yang hampir bersamaan dengan gereja Singkil Sindulang, telah
berdiri Jemaat Protestan Bengkol. Penempatan tenaga pendeta ke Jemaat Bengkol oleh
Sinode GMIM sudah berlangsung sejak tahun 1935, atau 1 tahun setelah GMIM
bersinode.
Bila muncul pertanyaan, siapa
pembawa proses kekristenan itu di Manado Utara? Jawabannya, ialah Allah
sendiri. Karena, meski pekerjaan misi
dan pelayanan Peter Diego De Magelhaes dilakukan dengan tatacara dan dogma Gereja Roma Katolik masa Portugis, kedua orang Raja dan 1500 orang rakyat bukan
dibaptis atas nama gereja Roma Katolik, tetapi dalam nama Bapa, dan Anak, dan
Roh Kudus. Tidak ada kalimat terputus dalam Firman antara saat pembaptisan
pertama dari Peter Diego De Magelhaes dengan gereja dan jemaat GMIM di kawasan
Manado Utara saat ini, atau dengan gereja dan jemaat GMIM lainnya atau gereja
dan jemaat Protestan lainnya di seluruh Sulawesi Utara, tulis Sem Narande.
Buah iman yang dipetik oleh
gereja dan jemaat GMIM di Manado Utara adalah tetap benih-benih Firman itu juga
ditaburkan dan berakar selama 450 tahun sebagai Kabar Baik Dari Pesisir ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar