Oleh: Iverdixon Tinungki
Paroki Singkil berdiri pada tahun
1903. Berdirinya aras pelayanan Paroki ini ditandai dengan penempatan Pendeta
pertama yang ditugaskan menjadi Kepala Paroki Singkil yakni Pendeta Hendrik Sinaulan. Ia bertugas sebagai pimpinan
Paroki Singkil dari 1903 hingga tahun
1933, atau menjalani masa pelayanan selama 30 tahun. Sebuah record masa
pelayanan di aras wilayah yang paling lama bila dibanding dengan masa penugasan
seorang Ketua Wilayah sepanjang sejarah GMIM bersinode.
Teritorial pelayanan Paroki
Singkil di kurun tahun 1903 hingga tahun 1933 membentang dari desa Singkil
hingga desa Tongkaina dan meliputi daerah-daerah suku Bantik yakni dari
Pancurang hingga perbatasan desa Wori (daerah gunung Tumpa). Di kurun
tahun-tahun itu, lembah dan perbukitan kawasan ini masih diliputi hutan rimbah
dengan beberapa areal perkebunan kelapa (ondorneming), serta perkebunan
palawija dan ladang-ladang padi milik penduduk setempat. Tanaman buah-buahan
seperti Mangga, Langsat, Manggustan, Durian juga sudah menjadi tanaman di
kebun-kebun penduduk.
Muncul pertanyaan, apakah
daerah pulau-pulau sekitar pesisir Manado Utara seperti Manado Tua, Bunaken,
Siladen, Mantehage, termasuk dalam area pelayanan Paroki Singkil? Menjawab pertanyaan
ini dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam. Sebab, belum ditemukan data-data
akurat dan valid yang menegaskan penyatuan kawasan pulau-pulau itu dalam
teritorial pelayanan Paroki Singkil. Sebelum GMIM berdiri pada 1934, kawasan
pulau-pulau di depan pesisir Manado Utara tersebut telah memiliki gereja. Sebagai
misal, pada tahun 1926 Pendeta Nigi telah berhasil membangun Gereja Protestan
Bunaken di pulau Bunaken.
Bila dibandingan dengan
kurun waktu pelayanan Pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil yang berlasung
dari tahun 1903 hingga 1933, maka muncul pertanyaan pula apakah keberadaan
Pendeta Nigi di Jemaat Bunaken yang telah bertugas sebelum tahun 1926 itu menjadi
jawaban dimana daerah pulau-pulau merupakan sebuah teritorial pelayanan tersendiri
dari perhimpunan zending di Minahasa? Diperlukan penelitian lanjutan kini atau
dikemudian hari sebagai upaya mengungkap perjalanan Injil di jazirah pesisir
dan pulau-pulau ini, sekaligus sebagai kesaksian perjalanan sebuah kabar baik
yang datang menjumpai umat yang dikasihiNya.
Kembali ke Paroki Singkil, bila
dibandingkan dengan saat ini, kawasan pelayanan Paroki Singkil ketika itu
adalah teritorial pelayanan dari 5 Wilayah saat ini yakni; Wilayah Manado Utara
I (Ma-Ut I), Wilayah Manado Utara II (Ma-Ut II), Wilayah Manado Utara III (Ma-Ut III),
Wilayah Manado Wawonasa Kombos (Mawako), Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu).
Masyarakat yang mendidami
kawasan ini ketika itu adalah suku Bantik-Minahasa (sub suku dari 9 sub suku
Minahasa) serta orang-orang Sangihe Talaud, orang-orang Ternate, Gorontalo, keturunan
Cina, Arab, dan Borgo (Keturunan Spangol-Portugis).
Di kurun itu, kawasan daerah
tepi pantai yang membentang dari muara kali Tondano hingga muara kali Bailang,
yang saat ini menjadi kelurahan Singkil, Sindulang, Karangria, Maasing, Tumumpa,
Bailang dan Batusaiki adalah area
perkebunan kelapa. Desa-desa di peisisr
ini juga merupakan perkampungan para nelayan.
Di tengah bentangan
perkebunan kelapa tersebut, ada 2 areal
onderneming di kawasan ini yaitu:
Pertama, ordeneming milik Sie Bun Ko yang terletak di Maasing, yang dikuasainya
sejak tahun 1920 hingga 1957. Kedua, onderneming milik keluarga Kalengkongan
yang terletak di Tumumpa, yang dikuasai sejak tahun 1921 hingga 1926. Kemudian
kepemilikannya beralih ke tangan De Van Bode (1926-1928), selanjutnya beralih
ke Ullers (1928-1933), kemudian beralih ke Kongsi Eng Goan Hien, Hiap Hong, Tek
Hong (1933-1937). Kemudian dipegang Eng Goan Hien, sampai masa
dinasionalisasikan pada tahun 1959.
Sementara lebih ke utara,
yakni daerah desa Molas, Meras,
Tongkaina, adalah areal hutan dan perkebunan yang merupakan tanah-tanah suku
Bantik. Kawasan perbukitan, Tuminting,
Sumompo, Tuna, Kombos, merupakan hutan rimba dan perkebunan palawija rakyat.
Daerah tepian utara daerah
aliran sungai Tondano (Wawonasa dan sebagian besar Singkil Sindulang) merupakan
wilayah pemukiman penduduk. Desa-desa seperti Buha, Bengkol, Pandu dan
perbatasan Wori hingga gunung Tumpa adalah kawasan tanah-tanah suku Bantik yang
juga merupakan areal perkebunan Kelapa, Palawija dan hutan rimba.
Di area pesisir, perkebunan
dan hutan rimba inilah pendeta Hendrik Sinaulan berkarier selama 30 tahun.
Tantangan yang tak ringan dipundakkan kepada seorang hamba Tuhan untuk bersaksi
dan melayani aras pelayanan yang sedemikian luas. Masalah aksesibilitas yang
terbatas kerena kurangnya, bahkan buruknya kondisi jalan yang menghubungkan desa
yang satu dengan desa lainnya. Ruas jalan kecil dan tanah liat yang becek. Belum adanya angkutan umum. Kecuali harus
berjalan kaki, atau naik roda (kereta) yang ditarik seekor sapi. Bahkan untuk
sampai ke desa di pesisir pantai harus menggunakan perahu. Perjalanan
menggunakan perahu ini harus pula mempertimbangkan cuaca. Sebab pada musim
angin selatan bertiup yang biasanya terjadi di bulan-bulan pertengahan tahun, atau
terpaan angin Barat yang kencang pada bulan-bulan menjelang akhir tahun, kondisi
perairan teluk Manado sangat sulit dilayari karena ombaknya besar disertai arus
yang kuat.
Dari beberapa literatur
dilukiskan dimana kondisi area pelayanan yang penuh tantangan dan rintangan ini
tidak membuat semangat Pendeta Hendrik Sinaulan surut. Anggota jemaat yang
tersebar di desa-desa pesisir dan areal-areal perkebunan harus di datangi dan
dilayani. Masih banyak orang yang belum tersentuh Firman Tuhan. Masih banyak
orang yang belum membaca dan mengenal Injil sebagai kabar baik keselamatan. Belum
banyak orang hidup dalam pengharapan akan kasih Allah. Ia harus datang
memberikan pertolongan, dan menuntun umat yang masih terjebak dalam kehidupan
alifuru untuk keluar menemui kehidupan yang dikasihi Allah.
Selain itu, sebuah kondisi
pekerjaan pelayanan yang amat berat di masa penjajahan Belanda yakni dimana
tingkat pendidikan masyarakat masih begitu rendah. Bahkan sebagian besar
anggota jemaat yang tidak mengenyam pendidikan formal, buta huruf, dan masih
hidup dalam pengaruh-pengaruh kepercayaan (agama suku) lama animisme dengan pola hidup yang masih
mengandalkan praktek syamanisme. Belum lagi perilaku buruk dari tradisi
mabuk-mabukan setelah menegak “Saguer” sejenis arak yang diambil dari pohon
Nira. Juga minuman dengan tingkat kadar alkohol di atas 40 persen yakni
Captikus, yang diambil dari hasil fermentasi minuman Sanguer.
Keadaan ekonomi penduduk
yang pas-pasan untuk untuk hidup sehari-hari, keadaan sanitasi yang buruk,
rumah tempat tinggal yang sederhana dan gubuk. Tak ada sistim penerangan
listrik.
Namun seperti dikisahkan
para Rasul Tuhan dalam Kisah Para Rasul 20:28, dimana rasul Paulus meminta para
tua-tua jemaat di Efesus untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya
dengan darah Anak-Nya sendiri. Begitu pulalah Pendeta Hendrik Sinaulan bagi
jemaat Paroki Singkil.
Guna memecahkan masalah di
tengah tugas-tugas pelayannannya yang terbilang berat itu, ia meminta para orang-orang tua di tengah
persebaran desa-desa kecil di kawasan ini untuk ikut bersama mengembalakan umat
Allah. Sebuah pekerjaan pekabaran Injil yang penuh tantangan di kurun awal aras
pelayanan wilayah yang satu abad kemudian menjadi pondasi-pondasi pelayanan
gereja yang kokoh di kawasan ini.
Membangun Gereja,
Merintis Jemaat
Lantas siapakah sesungguhnya
gembala pertama di tengah rimba pesisir ini? Seperti apakah sosok pelayan yang dengan
teguh menggembalakan umat Tuhan hingga menjadi jemaat-jemaat yang kokoh dan
utuh?
Hendrik Sinaulan adalah pendeta lulusan Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch
Leeraren). Stovil berdiri pada tahun 1886. Ia dilahirkan di Manado, 9
Desember 1875, atau 25 tahun sesudah berdirinya organisasi Kerukunan Kristen
Hosana Ambang Susah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Nazaret
Tuminting(1850). Meninggal dunia pada
8 November 1960, dalam usia 85 tahun.
Menikah dengan Sophie Rintjap, dan dikarunia 2 orang anak: Engelbert Sinaulan
dan Elfrida Sinaulan.
Sebelum menjalankan tugas
pengembalaannya di Paroki Singkil, Sinaulan pernah menjadi Pendeta di Jemaat
Suluun selama 10 tahun. Ketika diinagurasi di Stovil Tomohon, ia merupakan Inlandsche Leraar kelas 1 dari 9 lulusan
waktu itu.
Sejak diangkat sebagai Kepala
Paroki, Pendeta Hendrik Sinaulan langsung melakukan pembangunan gedung Gereja
Singkil Sindulang yang merupakan pusat Paroki dimulai pada 1903. Gereja Singkil
Sindulang merupakan bangunan gereja
pertama di kawasan pesisir Manado Utara sejak pelayanan Paroki Singkil
ditetapkan oleh Komisi Perhimpunan Gereja Protestan Belanda di Tomohon.
Sementara, peribadatan di
jemaat-jemaat terpencil di teritorial Paroki Singkil masih dilakukan di
sejumlah bangunan gereja darurat atau menggunakan rumah penduduk yang
diorganiser oleh orang-orang tua di tempat masing-masing.
Bila peribadatan dilakukan
pada malam hari maka untuk penerangan dibuat lampu-lampu minyak tanah dari botol
dan kaleng. Karena letak rumah-rumah penduduk berjauhan dipisahakan oleh areal
kebun dan hutan, untuk mencapai rumah tempat peribadatan, setiap keluarga sejak
siang akan mengumpulkan daun kelapa diikat rapi untuk dijadikan “Sido” (obor
dari daun kelapa) dalam perjalanan menuju tempat ibadah.
Kata “Sido” ini begitu populer
di kurun itu hingga tahun-tahun di bawah 1970 saat penerangan listrik belum
jauh menjangkau daerah-daerah pedesaan di kawasan Manado Utara. Sido bagi
masyarakat di kawasan ini sesungguhnya bukan saja bermakna obor, tapi sebuah
tradisi bernuansa paganisme dimana kebiasaan membawa Sido saat berjalan di malam
hari tidak saja berfungsi sebagai penerangan dalam perjalanan tapi juga sebagai
tradisi mengusir gangguan makluk halus yang merintangi perjalanan di malam
hari. Ada kepercayaan dalam masyarakat waktu itu dimana mahluk halus takut
mendekati api. Maka fungsi sido bukan sebagai sarana mendatangkan cahaya saja
tapi sebagai api yang mengusir mahluk halus.
Apakah kata Sido ini juga
punya kaitan dengan dua angka dalam notasi yakni 7 (si) dan 1 (do atau du)? DR.
Perry Rumengan seorang pakar musikologi menjelaskan dalam mistika bunyi nada 7
(si) disebut juga nada manusia, sedangkan nada 1 (do atau du) nada Tuhan
(Ilahi). Maka dari terminologi
musikoligi kata Sido bisa bermakna terjalinnya hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Dalam konteks ini kita pun teringat metafora Yesus ‘Akulah Terang
dunia’.
Untuk penyelenggaraan Ibadah
Perjamuan Asya yang selalu dipusatkan di gereja Singkil, maka jemaat-jemaat
dari desa-desa terpencil yang jauh akan segera datang sejak subuh dengan
membawa bekal agar bisa mengikuti perjamuan yang berlangsung hingga siang hari.
Bekal makanan yang dibawah akan disantap agar mereka tidak lapar saat pulang ke
desa masing-masing yang memakan waktu hingga malam hari dengan berjalan kaki.
Di hari Minggu seperti itu pula di saat pulang gereja biasanya mereka akan
mampir di rumah para sahabat dan kerabat dekat untuk bersilaturahmi, karena di
hari-hari yang lain semuanya akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Pada saat Natal tiba,
jemaat-jemaat akan segera memilih pohon-pohon muda yang bentuknya menyerupai
pohon natal (pohon Den atau Cemara), untuk dihias terutama mengunakan kertas
fuya, dan kapas yang menyimbolkan salju, lalu dilengkapi dengan gantungan lilin
yang dibuat dari bambu.
Suasana meriah dan khusyuk
tampak di tempat ibadah baik yang masih mengunakan rumah penduduk sebagai
gereja atau bangunan gereja darurat yang dibuat dari tiang dan dinding bambu
dan campuran batang-batang kayu dengan atap katu (dibuat dari daun Rumbia dan
batang bambu yang disebut Tori-tori, disusun dengan pola anyaman berderet
hingga menjadi semacam bentangan atap). Orang-orang tua akan memimpin ibadah,
anak-anak melafalkan ayat-ayat tentang kisah kelahiran Yesus Kristus dari kitab
Injil. Para pemuda akan memainkan tonel (lakon/drama) tentang kisah kelahiran
Yesus di Betlehem. Usai ibadah perayaan Natal suasana gembira segera tiba saat
menyantap kue-kue terutama nasi jaha (nasi jahe) dan roti serta segelas kopi
susu yang kental dan manis. Kopi susu adalah minuman istimewah ketika itu,
sebab untuk mendapatkan susu begitu sulit. Masyarakat terkadang hanya bisa
menikmati kopi susu setahun sekali yakni pada saat Natal atau Tahun Baru. Itu
pun untung-untungan kalau ada.
Kegiatan peribadatan di
gereja pusat Poriki Singkil sebelum berdiri gedung Gereja Singkil Sindulang
dilakukan di serambi Hukum Besar Ticoalu yang luasnya 4 X 10 meter. Dari Rumah keluarga
Ticoalu, kemudian dipindahkan lagi menggunakan
Sekolah Manado IV.
Pendeta Sinaulan pada awal
pelayanannya dibantu oleh 5 orang Penatua yaitu: Penatua A Kapugu (ketika itu masih menjabat
sebagai Hukum Tua Singkil Sindulang), Penatua Abraham Jacob Mohede, Penatua Ticoalu
( Ex Hukum Besar), Penatua Gontha Simon
Abuthan (Guru), Penatua Ferdinandus.
Dalam masa 30 tahun
pelayananya, Sinaulan tercatat berhasil mengorganiser anggota jemaat yang
tersebesar diteritorial yang begitu luas, selain para nelayan, tukang dan
pekerja ordeneming di kawasan Manado Utara, menjadi sidi-sidi jemaat di gereja
Singkil. Ia mengangkat banyak Anak Sarani.
Dalam catatan sejarah Jemaat
Nazaret Tuminting dipapar dimana di kurun awal peritisan jemaat itu di tahun
1916-1933, pendeta Sinaulan memiliki lebih dari 200 anak sarani di kawasan
rimba Tuminting itu. Selain itu, ia melakukan pendampingan pada upaya
perintisan pembangunan sejumlah jemaat baru di
kawasan teritorial pelayanannya, seperti Jemaat Karangria, Jemaat Buha,
Jemaat Bengkol, Jemaat Pandu, jemaat Tuna.
Salah satu karya terpenting
dikurun kepemimpinanya adalah berdirinya Gereja Jemaat Nazaret Tuminting di
Tahun 1933 yang dipimpin perintis jemaat Paulus Kawangung, dan berdirinya
Gereja GMIM Bailang yang dipimpin guru jemaat Matheos Kasiaha.
Satu tahun kemudian, usai
kepemimpinan Pendeta Sinaualan di Paroki Singkil, Gereja Masehi Injili Minahasa
(GMIM) disahkan pendirianya lewat keputusan Raja Belanda Wilhelm I pada 30
September 1934. Dengan berdirinya GMIM, pelayanan Indische Staats Kerk pun berakhir di Tanah Minahasa.
Dari Paroki Singkil dan
setelah pensiun dari NZG, Pendeta Hendrik Sinaulan kemudian diangkat oleh
Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sebagai anggota Majelis Gembala
dalam Pucuk Pimpinan KGPM yang dipimpin A. Jacobus. KGPM berdiri pada 21 April
1933 atau 1 tahun lebih dulu dari GMIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar