Oleh : Iverdixon Tinungki
“Bila tidak ada WAHYU menjadi liarlah
RAKYAT”
Amsal 29:18a
Babak baru telah tiba
setelah melewati kurun waktu awal mula masa penaburan dan persemaian. Kerja
pelayanan para missioneri dari gereja Katolik masa Portugis, lalu ke misi VOC
Kerk, hingga masa terbentuknya Indische Staats Kerk (Gereja Protestan Belanda)
pada tahun 1800, serta masa-masa pelayanan NZG telah berhasil melewati alur patahan dan tikungan sejarah
yang indah sekaligus mencengangkan. Dari tapak-tapak itu kemudian GMIM
terbentuk pada 1934. Di sini terlihat dimana setiap kurun waktu punya corak dan
pergulatannya sendiri seakan menegaskan dimana yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Seperti benih yang baik yang tersemai di tanah yang subur, kini telah
menjadi pohon yang siap berbuah dan terus beregenerasi.
Fakta-fakta historis yang
terpapar pada bab sebelumnya dari sebuah rel kehidupan organisasi Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM) yang kini memiliki 1 juta lebih anggota jemaat, tak lepas dari tikungan-tikungan menarik dan
mengejutkan itu. Musim-musim awal dari masa pengenalan Injil Kristus di pesisir
hingga ke rimba raya jazirah tanah Minahasa ini telah menunjukkan hasil yang
baik.
Pandangan dan keyakinan lama
mulai ditinggalkan. Ritual-ritual bernuansa paganis berangsur hilang, berganti
keyakinan akan keselamatan dari Kristus Yesus Tuhan. Rentetan perubahan itu pun
menibakan tak saja pada masa gereja telah memiliki bentuk yaitu menjadi persekutuan umat yang
kudus milik Allah, tapi juga berjalannya system perorganisiannya yaitu suatu
visi gereja sebagai umat yang terutus untuk bersaksi dan melayani. Seperti
hasil panenan yang baik menjadi benih yang siap ditabur lagi pada ladang-ladang
pelayanan yang baru. Kerja pelayanan yang tak boleh putus sebagaimana
amanat Matius 5:13-16 dimana setiap
orang harus menjadi garam, harus menjadi terang bagi dunia. Sebuah panggilan
suci dalam mengemban pelebaran kerajaan Tuhan di dunia. Sebuah panggilan
keikutsertaan umatNya menghadapkan wajah kepada dunia, membiarkan tangan menjadi kotor, lecet dan
berparut-parut dalam pelayan terhadap dunia akibat merasakan dalam lubuk hati adanya
gejolak kasih Allah yang tak dapat dipendam.
Doktrin yang genap tentang
Allah, doktrin yang genap tentang manusia, doktrin yang genap tentang Kristus, doktrin
yang genap tentang keselamatan, doktrin yang genap tentang gereja harus diwartakan
dan digenapi lewat sebuah visi yang punya daya jangkau ke depan. Apa yang telah
di tabur, apa yang telah disemai, apa yang
telah ditanam harus dijaga, harus dirawat, harus dikembangkan lagi.
Seperti Musa yang telah membawa keluar umat Allah dari Mesir,
yang kemudian dilanjutkan Josua menuju tanah perjanjian. Kerja pelayanan di
kawasan ini pun membutuhkan tuntunan, membutuhkan strategi yang visioner. Sebab, bila tidak ada Wahyu (Visi) menjadi
liarlah rakyat (Amsal 29:18a).
Disinilah terlihat, sejak masa
pelayanan NZG dan terbentuknya Indische
Staats Kerk, visi pelayanan gereja di kawasan ini kian jelas menyusul
terbentuknya system organisasi yang lebih kuat dan lebih menjangkau teritorial
pelayanan. Gereja telah memiliki persepsi dan pandangan yang mendasar untuk
menjangkau ke depan dengan membentuk aras-aras pelayanan yang baru. Dimulai
dengan dibentuknya pelayanan Distrik, kemudian berkembangan menjadi pelayanan tingkat
Paroki atau Wilayah. Dengan visi ini kerja lintas tingkatan aras pelayanan
terintegrasi hingga saat ini.
Pelayanan Klasis Manado
Tentang sistim
pengorganisasian, tatapan lebih jauh ke depan diperlukan dalam menoleh Tata
Gereja GMIM 2007. Struktur pelayanan GMIM saat ini telah ditata dalam tiga aras
pelayanan yakni Jemaat, Wilayah dan Sinode. Tata gereja baru yang efektif
berlaku sejak 1 Januari 2009 menggantikan Tata Gereja sebelumnya (Tata Gereja
1981) tampak lebih ramping, praktis dan efisien dalam mengatur system
organisasi di GMIM. Pertimbangan aspek teologis dan ekklesiologis nampaknya dilakukan
dalam Tata Gereja baru ini sehingga dari sisi bentuk organisasi, GMIM berbeda
dengan oragniasi sekuler lainnya. Gereja hanya mengenal satu Kepala Gereja
yakni Yesus Kristus Tuhan. Gereja yang menjaga kekudusan dan terpanggil menjadi
saksi dan melayani dunia. Semua aspek tindakan dan fikiran di berporos pada
terang kasih Yesus Kristus. Sebuah visi progresif konservatif.
Organisasi sekuler membangun
pondasinya hanya dalam pemahaman bahwa “yang abadi adalah perubahan” hingga
dalam setiap kurun waktu dilakukan pertimbangan penyesuaian seiring
perkembangan zaman. Sebuah visi progresif sekular.
GMIM sebagai sebuah organisasi tentu tak
menafikan pandangan sekularisme tersebut, namun diperlukan dimensi teologis
sebagai penunjuk jalan yang pasti, sehingga perubahan yang abadi itu memiliki
arah, yakni menuju ke aras menurut bimbingan dan tuntunan Tuhan Yesus sebagai
Kepala Gereja. Ini sebabnya, setiap kurun waktu dalam sejarah perkembangan
Gereja selalu ada musim semi. Dan sejarah organisasi-organisasi sekuler bisa
runtuh seiring berakhirnya sebuah senja.
Kembali
ke Tata Gereja GMIM 2007 yang mengatur 3 aras pelayanan saat ini. Kendati faktanya, ada sejumlah kegiatan pelayanan saat
ini yang masih dilakukan dalam sistim Rayon
(sistim klasis pada masa lalu), -- semisal Pengurus Lansia GMIM Rayon
Manado-Kembes, dan atau Pertemuan Komisi Kategorial Pria Kaum Bapa Rayon Manado…dst--,
struktur ini bukan merupakan aras pelayanan dalam GMIM saat ini.
Lantas bagaimana sejarah
aras pelayanan di kurun waktu sebelumnya? Sebelum GMIM berdiri, sistim
pelayanan menurut klasis dan distrik dikenal sebagai upaya membagi dan
menjangkau wilayah pelayanan disebabkan oleh kurangnya tenaga pelayan atau
pendeta ketika itu. Wilayah pelayanan seorang pendeta miliputi sebuah kota,
atau suatu wilayah yang terdiri dari banyak desa. Pusat pelayanan biasanya di
tempatkan di kawasan konsentrasi penduduk. Selain itu, di masa kekristenan awal
itu, jumlah umat Kristen relatif masih terbatas. Gedung-gedung gereja baru satu
dua dibangun di setiap klasis dan distrik untuk menampung anggota jemaat yang
tersebar di berbagai desa.
Sistim pelayanan Klasis dan Distrik tersebut bermula pasca berdirinya Indische Staats Kerk (Gereja Protestan
Belanda) pada tahun 1800, pasca bubarnya VOC Kerk. Teritorial pelayanan missioneri
dari Gereja Protestan Belanda menjadi hamba Tuhan di tanah Minahasa hingga masa
tibanya Pendeta Riedel dan Schwarts pada tahun 1831 dibagi menurut klasis dan distrik
dalam struktur wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak diterapkannya
pelayanan dengan sistim klasis dan distrik jumlah umat Kristen di area pelayan
Gereja Protestan Belanda sontak menajak tajam hingga mencapai 80.000 orang.
Pasca terjadinya pengembangan aras pelayanan dengan menerapkan
aras pelayanan Paroki pada tahun
1903, aras pelayanan klasis dan distrik masih dipakai bahkan diadopsi dalam
system aras pelayanan pada masa berdirinya Sinode GMIM tahu 1934. Ketika GMIM
diresmikan pada 30 September 1934 aras pelayanan terdiri dari 10 klasis yaitu;
Klasis Manado, Klasis Maumbi, Klasis Tomohon, Klasis Tondano, Klasis Langowan,
Klasis Sonder, Klasis Ratahan, Klasis Amurang, Klasis Motoling, Klasis
Airmadidi, dan Klasis Manado Kota.
Pada saat sistim Paroki yang menganut kepemimpinan seorang Kepala Paroki diganti
dengan aras Pelayanan Wilayah yang dipimpin oleh sebuah Badan Pimpinan Wilayah
(BPW) yang dimulai pada tahun 1968, GMIM tercatat masih menerapkan sistim kepemimpinan koordinatif di tingkat
Kota/kabupaten (Distrik) yang dipimpin oleh Badan Pimpinan Antar Wilayah
(BPAW). Pada saat ini BPAW tidak diberlakukan lagi.
Di kurun pelayanan para
misionari Katolik sejak 1563-1602, istilah Distrik atau Rayon, juga Clasis
tidak dikenal. Hal tersebut dapat dipahami dimana tugas pelayanan para Peter
baru pada tahapan sebagai peretas sekaligus pioner bagi pengenalan dan perjumpaan
Injil Kristus dengan masyarakat di kawasan ini yang dikumudian waktu menjadi
cikal-bakal jemaat-jemaat. Bahkan karena gejolak politik baik di Eropa dan di
tanah air termasuk terjadinya penolakan atas pelayanan para misionaris di
Manahasa, pekerjaan misi di kurun itu nyaris tak berkembang. Perkembangan
berarti baru terjadi pasca NZG mengabil alih pekerjaan misi di tanah Minahasa
dan sekitarnya.
Bagaimanakah struktur
pelayanan sebelum GMIM terbentuk? Dalam catatan awal kita telah melihat sebuah
mata rantai yang terputus dalam misi
pelayanan Gereja Katolik selama 198 tahun (1602-1800) di Sulawesi Utara,
bahkan di semua daerah jajahan Belanda. Kondisi tersebut sekaligus mengubah
keadaan pelayanan di Kawasan Manado Utara dan Manado pada umumnya, yang
ditandai dengan peralihan dari pelayan misi Katolik ke pelayanan misi Protestan.
Sejak masuknya pendeta DS
Montanes dari Gereja Protestan Belanda pada
1675 misi pelayanan Protestan dimulai di Manado dengan mensasar orang-orang
Kristen yang berasal dari buah kerja misi Katolik pada kurun waktu sebelumnya.
Pelayan dari Pendeta Montanes di distrik Manado kemudian diteruskan oleh
Pendeta DS. Werndly 1707, Pendeta J Kam 1817 dan oleh Pendeta Muller dan , Pendeta Lammers.
Dapat dilihat pelayanan di
distrik lainya antara lain yakni dilakukan
Pendeta Riedel di Tondano 1831
dan Schwarts di Langowan 1831. Sejak
tahun 1836 Amurang menjadi distrik pelayanan, dan disusul pada tahun 1838 Tomohon, 1848 Air Madidi, 1849 Kumelembuai, 1861 Sonder.
Ratahan pada tahun 1862.
Sekitar 8 tahun setelah
meninggalnya Ridel (1860) dan Schwarts
(1859), distrik pelayanan Gereja Protestan Belanda telah membentang dari Manado
hingga Kumelembuai. Pada kurun 15 tahun kemudian di Tomohon berdiri sekolah
Guru yang dipindahkan dari Tanahwangko (di Tanah Wangko berdiri tahun 1852),
juga dibuka kursus-kursus untuk para penginjil di tahun 1867.
Kisaran 19 tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1886 kursus-kursus bagi para tenaga penginjil ditetapkan
menjadi Stovil (School Tot Opleiding Voor
Inlandsch Leeraren). Para lulusan Stovil kemudian mengisi wilayah-wilayah
pelayan tersebar luas itu. Pendeta-pendeta
lulusan Stovil adalah tenaga pelayan berusia muda saat mereka turun memimpin
jemaat karena mereka hanya menempu pendidikan selama 6 tahun di Stovil setelah
lulus Sekolah Dasar. Tahun pendidikan mereka bila dibandingkan dengan sistim
pendidikan nasional kita saat ini setara dengan SLTA. Dari sisi pendidikan
tentu berbeda dengan tenaga pendeta GMIM saat ini yang rata-rata lulus
pendidikan strata S1 dari Fakultas Theologia Universitas Kristen Tomohon,
dengan masa pendidikan di Universitas minimal 4 tahun setelah lulus SLTA.
Pendeta-pendeta lulusan
pertama Stovil yang ikut mewarnai pelayanan menuju terbentuknya aras pelayanan
Wilayah Manado Utara II diantaranya; Pendeta Hendrik Sinaulan yang menjadi
pimpinan pertama Paroki Singkil, kemudian dilanjutkan Pendeta Altius Adolf
Mohede, dan Pendeta Hendrik Dandel, dimana pada masa kepemimpinanya terjadi
peralihan aras pelayanan dari Paroki menjadi aras pelayanan Wilayah.
Dengan kian bertambahnya
lulusan tenaga pendeta pasca berdirinya
Stovil, distrik-distrik pelayanan dilengkapi dengan Paroki (saat ini
disebut aras pelayanan Wilayah). Untuk distrik Manado dibagi dalam 3 Paroki
yakni; Paroki Titiwungen, Paroki Tikala, dan Paroki Singkil, dimana untuk
setiap Paroki ditugaskan seorang pendeta.
Menurut catatan Sem Narande,
3 orang pendeta pertama yang memimpin 3 Paroki di distrik Manado adalah Pendeta
Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil, Pendeta Lantang di Paroki Titiwungen,
Pendeta Talumepa, di Paroki Tikala.
Paroki Singkil 1903-1968
Di antara penghujung abad
XIX dan dipermualaan abad XX terjadi peralihan penting dalam sistim dan struktur pelayanan Gereja Protestan di Tanah
Minahasa, dimana terjadi peralihan aras pelayanan dari Sitim Distrik ke Sistim
Paroki (wilayah). Dikurun itu perhimpunan para Zending yang berpusat di Tomohon
memecahkan pelayanan distrik Manado menjadi 3 Paroki yakni: Wilayah Bagian
Utara distrik Manado menjadi Paroki Singkil. Wilayah bagian tengah distrik
Manado Menjadi Paroki Titiwungen. Sementara wilayah Selatan Manado menjadi area
pelayanan Paroki Tikala.
Di kurun itu pun kita bisa meringkus
bagian-bagian reflektif betapa ternyata kekuasaan
Kristus begitu kokoh dan kekal untuk selamanya. Kerajaan Allah yang terus
melebar, jemaat-jemaat tumbuh, aras pelayanan kian meluas, hamba-hamba Tuhan
berlipat ganda. Dari hanya seorang Hamba di tahun 1563 dengan 1500 orang dan 2
orang raja sebagai jemaat mula-mula di pesisir Pantai Sindulang, kabar baik
keselamatan dari Kristus Tuhan itu kemudian membesar tampak terbendung oleh
kekuasaan dunia.
Sementara di lain sisi sekali
lagi, kekuasaan dunia bisa tenggelam bersama senja. Periode kekuasaan Portugis
dan Spanyol di kawasan ini berakhir kurang dari dua abad. Pemerintahan Kolonial
Belanda runtuh dalam tiga setengah abad.
Pendudukan Jepang hanya berlangsung sesaat. Tapi dari patahan-patahan sejarah
kekuasaan dunia itu, kerajaan Allah dibangun dengan kokoh melintasi abad dan
kekuasaan mana pun, hingga kini dan di masa depan.
Sejak ditetapkan
menjadi aras pelayanan Paroki Singkil, Wilayah distrik Utara Manado ini
berturut-turut telah dipimpin oleh 4 pendeta sebagai Kepala Paroki. Aras
pelayanan Paroki kemudian diubah menjadi aras pelayanan Wilayah, dan terjadi
pergantian penyebutan Kepala Paroki menjadi Ketua Wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar