Perjalanan “sido” Tuhan
telah sampai dengan gemilang di pesisir ini. Jazirah-jazirah yang dulu gelap dalam
kultur alifuru dan kepercayaan animism itu kini berada dalam terang
Kristus. Kabar baik dan benih
kekristenan telah tumbuh dalam kurun empat abad, menjadi aras pelayanan Wilayah GMIM dengan
jemaat-jemaatnya yang dewasa dan sistim organisasi yang pas zaman.
GMIM saat ini adalah gereja dengan 1.000.000
lebih anggota jemaat. Merupakan denominasi terbesar dari organisasi gereja di
Indonesia Timur, sekaligus terbesar kedua di Indonesia, setelah Gereja Batak.
Sejuta anggota jemaat itu
tersebar dalam 103 aras pelayanan wilayah, yang dimana salah satu aras
pelayanan wilayahnya adalah Wilayah Manado Utara II. Dengan 886 gedung gereja
yang tersebar di tanah Minahasa, Manado, dan Bitung. Sebuah bilangan kuantitas
yang sangat fantastis bila ditilik dari cikal bakal terbentuknya organisasi
gereja ini. Dalam kurun empat abad lebih,
sebagaimana diisyaratkan Matius 5:13-16, dimana umat mula-mula telah menjadi
garam dan terang dunia, menjadi saksi-saksi bagi terbentuknya persekutuan yang
besar dalam Kristus Yesus Tuhan (Kisah para Rasul 1:8).
Maka adalah bijaksana bila
menoleh sejenak kekurun awal untuk menelusuri titik-titik penting dari alur
menuju terbentuknya GMIM di tahun 1934, sebagai upaya mendudukan posisi sejarah
pelayanan Manado Utara hingga terbentuknya aras pelayanan Wilayah Manado Utara
II saat ini. Dari 1500 orang dan 2 orang
raja sebagai jemaat mula-mula di tahun 1563 yang mengalami pembaptisan oleh
Peter Diego De Magelhaes, di Pantai Singkil Sindulang, yang kini berkembang
menjadi gereja sejuta umat di permulaan millenium ke II tahun 2012.
Dari sinilah setidaknya
terekam dimana pertumbuhan dan perkembangan
aras pelayanan Wilayah Manado Utara II saat ini telah melewati 6 fase
penting: Pertama, perjumpaan pertama masyarakat pesisir ini dengan kekristenan
yang dimulai dari peristiwa pembaptisan oleh Peter Diego De Magelhaes dari
gereja katolik Roma. Kedua, masuknya misi protestan Belanda, yang ditandai
kedatangan Pendeta Ds. Montanes pada tahun 1675, pasca pelarangan penyebaran
agama Katolik di daerah jajahan Hindia
Belanda 1602-1800 dan berdirinya VOC Kerk. Maka terjadi peralihan dari
pelayanan misi katolik ke misi protestan. Ketiga, pelayanan pendeta-pendeta dari
Nederlandsche Zending Genoodschaap
(NZG), baik sebelum dan sesudah kedatangan pendeta Riedel dan Schwarts di
tahun 1831 , yang menjadi pendorong kuat terbentuknya GMIM di tahun 1934 yang
didukung oleh kian lebarnya pelayanan para pendeta lulusan Stovil Tomohon. Keempat, pelayanan masa
Paroki Singkil Sindulang. Kelima, dari Paroki berubah menjadi aras pelayanan
Wilayah Manado Utara. Keenam, pelayanan Wilayah Manado Utara di mekarkan
menjadi wilayah Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II di tahun 1982.
Dari fase pertumbuhan dan
perkembangan pelayanan menuju aras pelayanan Wilayah Manado Utara II di atas,
tampak dua momentum penting dikurun awal yang perlu digaris bawahi yakni: periode
peralihan dari pelayanan Katolik ke Protestan, kemudian peralihan dari pelayanan misi NZG ke GMIM.
Untuk memahami fase-fase di
atas perlu dilihat anasir sejarah dimana
sebelum GMIM lahir di tahun 1934; sudah ada akarnya di Eropa yaitu Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG).
NZG merupakan perut kandungan dari embrio GMIM. Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan
NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819
Lenting berkunjung ke Minahasa. Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati
orang Kristen tidak ada pelayanan lagi, lalu mereka melaporkan keadaan itu pada
NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang
berkebangsaan Swiss, L. Lamers ke Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di
Manado (meninggal 1827 di Manado). Mereka meninggal karena penyakit Typus. Dalam
pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari
kalangan turunan Eropa. Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J.
Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu :
Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus
S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033
orang. Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran, Minahasa.
Tetapi sebelum berdirinya
NZG sudah ada VOC Kerk dimulai 1602. Sekitar
73 tahun sesudah terbentuknya VOC Kerk, tiba di sini pendeta yang pertama yang
dikirimkannya kemari bernama Ds. Montanes.
Setibanya di Manado Ds. Montanes
sebagai pendeta gereja Protestan Belanda pertama sudah menemukan segolongan
orang kristen sebagai jemaat di tahun 1675. Jadi lebih dari dua setengah abad
sebelum GMIM lahir, sudah ada jemaat kristen di Manado. Ini sebabnya akar
pelayanan kekristenan di aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II tak
mungkin lepas dari momentum pertemuan pertama orang-orang di pesisir ini dengan
kekristenan yang di bawah oleh misioneri Katolik Peter Diego De Magelhaes yang ditandai dengan
pembaptisan pertama di pantai Sindulang tahun 1563.
Sesudah pembaptisan di Sindulang,
pembaptisan-pembaptisan selanjutnya baru diadakan setelah pendeta KAM yang
dijuluki dengan nama Apostel Der Malukken (Rasul dari Maluku) datang di Manado
pada tahun 1817.
Sementara Gereja-gereja di
pesisir lainnya sesudah Manado, baru berkembang dari tahun 1711 sampai 1821 yaitu
yang dimulai dari Likupang. Pada tahun 1711 jemaat di Likupang berdiri dan
merupakan jemaat yang pertama-tama di
Minahasa jika diletakkan di dalam pembagian daerah secara
administratifnya sekarang ini. Dari situ barulah penginjilan berkembang di
Tanawangko, dan ke Kema.
Wilayah pegunungan dan
pedalaman Minahasa baru menyusul
kemudian yaitu setelah dua missionaris Jerman yang dididik Belanda yaitu Riedel dan Schwarts
dikirim NZG ke Minahasa pada 12 Juni tahun 1831, yaitu 268 tahun sesudah baptisan di Sindulang.
Pendeta J.F. Riedel bertugas di Tondano
dan J.G. Schwarts di Langowan.
Lima tahun kemudian di tahun
1836 penginjilan tiba di Amurang, tahun 1838 di Tomohon, 1848 di Air Madidi,
1849 di Kumelembuai, 1861 di Sonder. Dari Sonder penginjilan tiba di Ratahan yaitu
pada tahun 1862. Dari fakta-fakta
historis di atas, jika kita menoleh sejarah Gereja dan Jemaat pertama di
Sulawesi Utara terlihat suatu mata rantai pengabaran Injil Tuhan dimulai sejak
Peter Diego De Magelhaes dalam kurun 371
tahun (mendekati 4 abad) menuju GMIM terbentuk.
Beberapa momentum politik
telah memutuskan mata rantai itu di dalam kurun waktu yang cukup panjang
dilihat dari segi penyebaran Injil dari Gereja Roma Katolik jika dijadikan
tahun Diego de Magelhaes di Sindulang Manado sebagai tahun titik berangkat
pelayanan kerohanian di Manado Utara dan untuk Sulawesi Utara pada umumnya.
Momentum-momentum politik
itu boleh dikaji dari keputusan-keputusan historis yang telah dilakukan oleh
Belanda disatu pihak dengan Spanyol dilain pihak mengenai “Pembagian daerah kekuasaan dan daerah
jajahan yang sekaligus merupakan daerah penyebaran agama”. “Yang berkuasa di daerah itu adalah yang
punya agama untuk daerah itu”.
Menurut telaah Sem Narande, jika
keputusan-keputusan itu ditempatkan di dalam kerangka sejarah penyebaran Injil
oleh Gereja Roma Katolik di Sulawesi Utara barangkali lebih jelas. Terutama bila makna dari akibat keputusan-keputusan
tersebut dilihat dari suatu historis itu tercipta di atas battle ground kerajaan Siau ketika Belanda dengan sekutu-sekutunya
serta sekaligus dengan memperalat Sultan Ternate yang dinamakan Koning
Amsterdam oleh Belanda, mengepung dan menyerang Raja Siau Fransiscus Xaverrius
Batahe (Batahi) dalam suatu perang yang diumumkan kepada Raja Batahi.
Imam-imam penginjil Katolik
(Missionaris Katolik) memasuki perairan Sulawesi Utara dan Maluku Utara sejak
tahun 1511 dan 1522 berada dalam expedisi Potugal dan Spanyol. Diego de
Magelhaes sendiri yang membaptis Raja Siau ke-II yaitu Posuma (Posuma adalah
putera dari Lokombanua, Raja Siau pertama), mengikuti expedisi Panglima
Portugis Heurique de Sa yang membawa 2 kapal. Batahi adalah keturunan dari Raja
Posuma.
(Sedikit
catatan : Lokombanua 1510 -1550 ; 2) Posuma 1550-1596 ; 3) Pontomuisang
1596-1632 ; 4) Winsulangi 1632-1670 ; 5) Batahi 1670-1696 ; 6) Raramenusa
1696-1726 ; 7) Lohintsundali 1726-1752 ; 8) Ismael Jacobus 1752-1796 ; 9) B.
Jacobus 1796-1799 ; 10) Eugenos Jacobus
1799-1822 ; Raja Siau ke VI sampai dengan ke X adalah raja-raja Siau yang
beragama Kristen Protestan).
Kekalahan Batahi terhadap kolonial
Belanda dengan sekutu-sekutunya sekaligus merupakan akhir misi Katolik bukan
saja di Siau tetapi juga di sekitarnya dan sebaliknya merupakan titik awal dari
Zending Kristen Protestan.
Pada 9 November 1677, Batahi
menanda-tangani perjanjian dengan Belanda di bawah tekanan sebagai pihak yang
dikalahkan, dimana 3 orang Peter Yesuit
ikut ditahan di Ternate. Mereka tidak dengan segera dikirim pulang ke basis
mereka di Manila, baru sesudah itu di bawa lagi ke Betawi, sekarang Jakarta.
Raja Batahi adalah Raja Siau
yang memeluk agama Katolik dan penggantinya Raja Raramenusa adalah Raja Siau
pertama yang memeluk agama Kristen Protestan. Semua itu merupakan kondisi yang
dilahirkan oleh battle ground perang Batahi.
Pada zaman VOC (Kompeni
Hindia Belanda) sama sekali tidak diperkenankan penyebaran misi Katolik.
Pelarangan penyebaran misi Katolik itu berlangsung dari tahun 1602 sampai tahun
1800. Nanti di zaman Gub Jen (Gubernur Jendral, Daendels, sesudah VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie) dibubarkan
pada tahun1800, maka barulah diluaskan agama-agama lain masuk Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh tampil semboyan yang terkenal dalam sejarah demokrasi di
dunia : “Egalite, Eraternite, Leberte “
dari Revolusi Perancis.
Keputusan pelarangan agama
Katolik oleh Belanda itu telah memutuskan mata rantai pelayanan Katolik selama
198 tahun tidak saja di Sulawesi Utara, tapi di seluruh daerah jajahan Belanda.
Pasca pencabutan pelarangan, misi katolik baru tiba kembali di Sulawesi Utara
pada tahun 1868, ditandai dengan kedatangan Imam Katolik Peter Y De Vries S.J.
Baru pada 35 tahun kemudian (1903)disusul
APF. Van Velsen bertugas ke Woloan, Y.Ouel bertugas di Manado, dan Yang
ditugaskan ke Tomohon Peter P Wintjes.
Dari anasir sebelumnya,
terpapar kenyataan dimana ada empat jemaat di Wilayah Manado Utara yang telah
berbentuk sebelum GMIM lahir di tahun
1934 yakni Jemaat Betanie Singkil
Sindulang, Jemaat Bengkol, Jemaat Sion Bailang, dan Jemaat Nazaret Tuminting. Empat
jemaat ini pada tahun 1934 ikut mengirim utusannya pada peneguhan pendirian
GMIM, sekaligus melebur sebagai gereja di bawah Sinode GMIM.
GMIM dilahirkan dari
keputusan Raja Wilhelm I dan diresmikan sebagai Sinode pada 30 September tahun 1934. Kelahirannya berasal dari satu
wadah yang lebih besar dari Gereja Protestan atau De Indische Staats Kerk;
pelanjut dari VOC Kerk (Gereja kompeni Hindia Belanda), yang dimulai ditahun
1602 melalui Octrooi. Dalam kerangka itu ada satu instruksi khusus dari
Gubernur Jenderal Pieter Both bahwa VOC harus menyebarkan injil. VOC Kerk
berlangsung dari tahun 1602 sampai 1800. Raja Wilhelm I membentuk Indische
Staats Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1800, dan tiba disini 134 tahun
kemudian yaitu tahun 1934 dilebur menjadi GMIM.
Kendati begitu GMIM sendiri
bukanlah ciptaan khas dari Gereja Protestan Belanda atau Indische Staats Kerk, tetapi adalah ciptaan dari Nederlansche
Zending Genoodschaap yang didirikan Van
der Kamp di tahun 1797.
Sungguh mencengangkan bila
kita merefleksi angka-angka statistik dari rentetan peristiwa menuju
terbentuknya gereja Tuhan yang Esa dan Injili di tanah Minahasa ini sebagai
karya penyelamatan dan pemenangan umat dalam Kristus Yesus Juru Selamat dunia
(Efesus 2:19-22).
Bila ditilik dari perisitwa
pembaptisan pertama di Tahun 1563 oleh Diego de Magelhaes di pantai Sindulang
Manado, maka kita melihat jemaat Tuhan mula-mula baru berjumlah 1500 orang ditambah
dengan 2 orang raja yakni Raja Manado
Kinalang Damapolii dan raja Siau Posuma. Dalam masa pemerintahan Raja Posuma
1550-1596, di Siau umat Kristen sudah mencapai 25.000 orang, sementara di
Kalongan Sangihe 10.000 orang. Khusus untuk Manado di tahun 1707, tercatat ada
5.000 anggota jemaat sebagaimana ditemukan Ds. Werndly.
Pada tahun 1880 atau 54 tahun sebelum GMIM resmi berdiri
dan bersinode jumlah orang Kristen di Manado dan Minahasa telah berkembang
menjadi 80.000 orang. Lalu pada 1980
atau di kurun 46 tahun sejak GMIM bersinode
anggota jemaat GMIM telah mencapai 650.000 orang lebih, Jumlah Kepala
Keluarga (KK) sebanyak 150.000 KK, menyebar dalam 40 Wilayah, terbagi dalam 540 Jemaat.
Pada tahun 2012, atau menjelang usia ke 79 tahun GMIM
berdiri dan bersinode, anggota jemaat dari organisasi gereja kedua terbesar di
Indonesia ini telah mencapai lebih dari 1.000.000 orang. Anggota jemaat
tersebut tersebar dalam 9366 kolom dengan 886 gedung gereja. Jumlah aras
pelayanan Wilayah sebanyak 103 Wilayah. Jumlah Kepala keluarga 212.516 KK.
Dilayani oleh 493 orang pendeta laki-laki dan 1.015 pendeta Perempuan, Guru
Agama laki-laki 77 orang, Guru Agama
Perempuan 248 orang, serta 13.796 orang Penatua dan 9.366 orang Syamas. GMIM mengelola
banyak lembaga sosial seperti Taman Kanak-kanak (332), Sekolah Dasar (364),
Sekolah Menengah Pertama (64), SMA (20), sekolah kejuruan (6), sebuah
universitas dengan antara lain adanya fakultas teologi, sekolah untuk
penyandang cacat (2), rumah yatim-piatu (2), pusat pelatihan (2), dan rumah
sakit.
Kepimpinan GMIM dijalankan oleh
Badan Pekerja Sinode yang dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Sinode GMIM sejak
berdirinya:
1.
Dr. E. A. A. de Vreede (1934–1935)
2.
Ds. C.D. Buenk (1935–1937)
3.
Ds. H.H. Van Herwerden (1937–1941)
4.
Ds. J.P. Locher (1941–1942)
5.
Ds. A.Z.R. Wenas (1942–1952)
6.
Ds. M. Sondakh (1951–1954)
7.
Ds. A.Z.R. Wenas (1955–1968)
8.
Ds. R.M. Luntungan (1968–1979)
9.
Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1979–1990)
10.
Pdt. K.H. Rondo , MTh (1990–1995)
11.
Prof. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1995–2000)
12.
Pdt. Dr. A.F. Parengkuan (2000 – 2004)
13.
Pdt. Dr. A.O. Supit, STM (2005–2009)
Pdt. P. M. Tampi,
STh, MSi (2010–2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar