Oleh: Iverdixon Tinungki
Setelah masa pelayanan
Pendeta Hendrik Sinaulan berakhir di tahun 1933, Paroki Singkil dipimpin Pendeta Robert Nicolas Rogahang.
Kepala Paroki kedua ini bertugas hingga
tahun 1947. Setahun setelah Pendeta Rogahang di tempatkan di Paroki Singkil
system pelayanan telah diatur Sinode GMIM di Tomohon yang dipimpin oleh Ketua
Sinode pertama Ds De Vreede. Karena setahun setelah pensiunnya Pendeta Hendrik
Sinaulan sebagai Pendeta NZG, Gereja Masehi Injili Minahasa resmi berdiri yaitu
pada 30 September 1934.
Kurun waktu antara tahun 1933 hingga 1947 diwarnai oleh suasana panas pergolakan politik
dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di tengah perang untuk mengakhiri kekuasaan
Belanda di tanah air, serta masa-masa pendudukan Jepang, hingga perang
kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan kurun
waktu pelayanan pendeta Rogahang di Paroki Singkil.
Sementara itu ada pergolakan
politik dalam tubuh organisasi gereja di kurun waktu tahun 1933-1934. Organisasi
Pelayanan Gereja Protestan Belanda (Indische
Staats Kerk) di tanah Minahasa sebagai akar GMIM, mendapatkan saingan baru
saat berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada 21 April 1933
oleh DR. Sam Ratulangi.
KGPM sebagai gereja yang
bernafaskan semangat kebangkitan nasional yang ikut berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia ketika itu, tentu sangat merisaukan Pemerintah Belanda. Ini sebabnya
raja Belanda kemudian mengistruksikan pendirian GMIM pada 30 September 1934.
Dua organisasi Gereja Protestan pun berdiri di tanah Minahasa. KGPM dengan
semangat Pelayanan dan Nasionalisme, sedangkan GMIM murni bertumpu pada misi
pelayanan dan kesaksian semata, tanpa mencampuri urusan politik.
Kembali ke Paroki Singkil, teritorial
pelayanan di kurun Pendeta Rogahang masih sama dengan waktu kepemimpinan Pendeta
Hendrik Sinaulan. Hanya saja beberapa jemaat baru telah resmi berdiri di
antaranya Jemaat GMIM Bengkol yang pada tahun 1935 telah dilayani oleh tenaga
Pendeta lulusan Stovil tahun 1930 yang ditugaskan Sinode GMIM yaitu Pendeta
Gustaaf Adolf Pangemanan. Jemaat Nazaret Tuminting dan Jemaat GMIM Bailang yang
pimpinan Majelis Jemaatnya (BPMJ) di tangan para Guru jemaat.
Pada masa pendeta Rogahang,
seperti juga pada masa Pendeta Hendrik Sinaulan, aras kepemimpinan Paroki tidak
memiliki Badan Pekerja Paroki (BPP) yang seperti saat ini adanya BPW (Badan
Pekerja Wilayah) yang kemudian berubah menjadi Badan Pekerja Majelis Wilayah
(BPMW). Seorang Kepala Paroki ketika itu adalah pimpinan tunggal untuk sebuah
aras pelayanan Paroki.
Penempatan resmi Pendeta
Robert Nicolas Rogahang di Paroki Singkil sebenarnya tidak begitu diketahui,
tapi menurut beberapa literatur, tugas dan pelayanannya selaku ketua Jemaat
Singkil sekaligus sebagai pimpinan Paroki
Singkil berakhir pada tahun1947. Melihat tahun penempatan pendeta
Rogahang yang belum terungkap secara jelas lewat dukungan bukti-bukti formal
itu, tampak adanya kekosongan beberapa tahun kepemimpinan Paroki Singkil sejak
tahun 1933. Apakah karena tahun 1933 ke 1934 merupakan tahun transisi dari
peralihan pelayanan oleh Gereja Protestan Belanda ke GMIM maka masalah
penempatan tenaga pelayan menjadi kurang terfokus? Siapakah yang menjadi
pimpinan Paroki dalam beberapa tahun kekosongan
di kurun 14 tahun yang diwarnai revolusi itu? Belum ada data-data faktual formal yang mampu
memberi jawaban hingga saat ini tentang kondisi itu. Diperlukan penelitian
lanjutan untuk menjawabnya.
Sebuah kasus menarik yang
bisa dipakai sebagai data pembanding untuk kondisi tersebut adalah catatan yang
dimuat Sem Narande dalam bukunya ‘Valdu
La paskah‘ Jilid II tentang penyelesaian sengketa kepemimpinan Jemaat GMIM
Bailang di tahun 1934, dimana Guru Jemaat pertama Matheos Kasiaha didakwa oleh
beberapa orang anggota masyarakat Bailang dalam sebuah perkara Pidana. Dalam
konteks ini, bukan perkara pidananya yang menarik untuk ditelisik tapi dalam
catatan tersebut dikemukakan pada
tanggal 1 November 1934 atau 1 bulan 1 hari setelah GMIM berdiri dan berpusat
di Tomohon, Pendeta Mulengen datang memimpin Ibadah di Gereja Bailang,
sekaligus memimpin pemilihan Guru Jemaat yang baru di jemaat itu dimana
Estefanus Takongselang terpilih menggantikan Matheos Kasiaha.
Fakta tentang kedatangan
Pendeta Mulengen dalam rangka menyudahi sengketa di Gereja GMIM Bailang di atas
menegaskan dimana jemaat Bailang sebagai sebuah jemaat di aras Paroki Singkil
harus mendatangkan seorang pendeta dari Sinode Tomohon untuk menyelesaikan persoalan
kepemimpinan jemaatnya. Apakah dengan kehadiran pendeta dari Sinode ini
menyatakan dimana sesudah periode pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil
yang berakhir pada 1933, NZG atau GMIM tidak langsung menempatkan pendeta lagi
sebagai Pimpinan Paroki di kawasan Pesisir ini?
Beberapa data formal dan
informal yang juga dapat dijadikan rujukan guna memperkirakan kurun waktu
penempatan Kepala Paroki kedua ini antara lain catatan John Rahasia yang
mengukapkan dimana Pendeta Nicolas Rogahang telah bertugas di Manado Utara
sebelum tahun 1945 di Paroki Singkil. Hal tersebut dikarenakan kondisi Bangsa
dan Negara dalam keadaan perang.
Ketika terbentuk Barisan
Pemuda Nasional Indonesia yang berfungsi
sebagai TKR di Sulawesi Utara pada bulan
September 1945, dimana John Rahasia sebagai Hulubalang, yang juga anggota
jemaat Paroki Singkil, menyebutkan pendeta Rogahan telah menjadi pelayan di Paroki Singkil,
sekaligus melayani tahanan-tahanan pemberontak di penjara Manado oleh
Pemerintah Kolonial Belanda.
Sementara dalam catatan
sejarah Jemaat Nazaret Tuminting ditulis, pada tanggal 17 Maret 1940, Pendeta
Nicolas Rogahang selaku Kepala Paroki Singkil memimpin ibadah peneguhan sidi
jemaat bagi 9 orang angkatan sidi di gereja Nazaret Tuminting (Nazaret, Sejarah
Jemaat Tuminting,1999).
Di sisi lain, dalam sejarah
Jemaat Bengkol, sebagai salah satu jemaat di aras pelayanan Paroki Singkil dimana pada tahun 1935 Pendeta Gustaaf Adolf
Pangemanan telah ditempatkan Sinode GMIM untuk menjadi ketua jemaat di sana.
Apakah Pendeta Pangemanan mengisi kekosongan kepemimpinan di Paroki Singkil
ketika itu? Belum ada bukti formal dan informal yang mendukung.
Ketika menempati pos
pelayanannya di Paroki Singkil, salah satu catatan penting dalam tugas
pelayanan dan penggembalaan jemaat yang tersebar di teritorial yang luas itu,
Pendeta Rogahang menugaskan tenaga-tenaga guru, untuk menjadi guru jemaat di
desa-desa terpencil yang telah memiliki
jemaat sendiri atau yang sedang merintis berdirinya sebuah jemaat. Sebuah data
menyebutkan, pada tahun 1935, Pendeta Rogahang menugaskan Guru Makpal untuk
membantu pendiri jemaat Tuminting Paulus Kawangung melayani peribadatan pada hari-hari minggu di Jemaat Nazaret Tuminting
hingga tahun 1942.
Kebijakan dan ketekunan
seorang gembala dalam memimpin aras pelayanannya di tengah keadaan masyarakat
yang bergolak karena perang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pendeta
Nicolas Rogahang. Kecuali di Jemaat Bengkol telah ditempatkan Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan pada tahun
1935 oleh Sinode GMIM untuk menjadi ketua jemaat di sana, Pendeta Rogahang
adalah satu-satunya tenaga pendeta yang ditempatkan di sebuah aras pelayanan
Paroki yang terdiri dari beberapa jemaat. Sebab, dalam kurun kepemimpinannya,
kelompok-kelompok masyarakat Kristen di setiap desa dalam wilayah pelayananya
mulai merintis berdirinya jemaat-jemaat baru. Ini sebabnya, guna merespons
keinginan masyarakat untuk membangun jemaat sendiri harus diimbangi oleh sebuah
kebijkan penempatan tenaga-tenaga guru jemaat untuk melayani ladang pelayanan
Tuhan yang sedang tumbuh ini.
Sosok Pendeta Nasionalis
Pendeta Rogahang dilahirkan
di Ratahan, Minahasa pada 6 Oktober
1883. Ijazah kependetaannya dikeluarkan Perhimpoenan Commissie Segala Pandita di
Tanah Minahasa di negeri Manado pada 13 Oktober 1911, atau 23 tahun sebelum
GMIM lahir.
Pada masa perang
kemerdekaan, ia digelar sebagai Pendeta Merah Putih karena khotbah-khotbahnya
yang selalu membakar semangat juang para pemuda untuk membela tanah air
Indonesia dari cengkraman penjajahan.
Ia tidak seperti rekan
pendeta NZG lainnya yang ketika itu selalu berdoa untuk keselamatan dan
kelestarian kekuasaan Ratu dari pemerintahan Kolonial Belanda. Di tengah para
pemuda pejuang yang ditahan pemerintah kolonial
di penjara Manado, ia berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan, ketabahan dan
semangat juang bagi para pejuang untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Pendeta
Rogahang dalam khotbah-khotbahnya menekankan
kesetaraan hidup umat manusia di dunia dan pentingnya kemerdekaan bagi sebuah
bangsa. Ia menolak semua upaya kekerasan dan penjajahan oleh manusia terhadap
manusia, dan oleh bangsa terhadap bangsa. Bagi Rogahang, kehidupan adalah
anugerah terindah dari Tuhan yang tak bisa dirampas oleh siapa pun dari
seseorang.
Kesaksian D.C David yang
dikutip Sem Narande di tahun 1980 mengemukakan, khotbah pendeta Rogahang sangat
tajam dan tanpa tendeng aling-aling. Ia dengan tegas menegur setiap kesalahan
dan tindakan buruk anggota jemaatnya. Ia juga sosok yang rajin sebagaimana
diceritakan penatua tua Frits Carel
Commettie. Tanpa mengenal lelah ia mendatangi setiap pelosok Paroki
pelayanannya untuk menunaikan tugas pengembalaannya. Ia juga melakukan
tugas-tugas penginjilan ke daerah-daerah lain di luar Paroki Singkil, termasuk
ke pulau-pulau di depan pesisir Manado hingga ke pulau-pulau depan Likupang
serti Talise, Gangga dan Bangka.
Apa sebenarnya yang menjadi
visi Pendeta Nicolas Rogahang yang tampak kontroversial di tengah zamannya?
Dari beberapa kesaksian disebutkan ia benar-benar sosok yang meneladani sikap
kepemimpinan Yesus Kristus. Model kepemimpinan yang melayani. Secara
sungguh-sungguh masuk ke dalam pergumulan jemaat-jemaat dan merasakan apa yang
dirasakan jemaat. Ia tidak hanya berdoa dari tempat tertutup untuk menjaga
kekudusannya, tapi langsung masuk ke tengah persoalan jemaat dan masyarakat. Ia
mendukung upaya-upaya perjuangan kemerdekaan agar masyarakat tidak tertindas.
Ia menegur sikap hidup masyarakat yang malas bekerja agar mereka tekun hingga mendapatkan
penghidupan yang layak. Ia datang memberikan semangat dan pengharapan yang teguh
kepada mereka yang terpenjarah oleh karena memperjuangkan hal-hal yang benar. Ia mengajarkan semangat yang sungguh-sungguh
kepada setiap orang agar selalu berserah pada kemurahan Tuhan dalam menyelesaikan
setiap persoalan hidup. Sebab penyerahan totol kepada Allah untuk menuntun
hidup setiap orang adalah penting dan utama dilakukan semua kaum Kristiani. Penindasan,
kelaparan, penyakit, putus asa di tengah bangsa
tak berterima baginya. Sebab dianggapnya tak sesuai dengan maksud asali
Allah. Itu sebabnya hatinya iba melihat korban-korban dari semua itu. Amarah
dan iba hati merupakan suatu kombinasi yang kuat dalam dirinya. Tentang sikap
ini seorang penulis bernama Robert Greeleaf pernah memaparkan penekannya dimana
‘orang harus menentang hal-hal yang dianggap tidak benar’. Kondisi sosial
masyarakat yang menjadi arena pelayanannya ketika itu benar-benar menuntut
luapan amarah dan kemurkaan yang sejati atas kejahatan-kejahan yang merupakan
penghinaan bagi Allah. Penjajahan yang menyulut kemiskinan dan penindasan atas hak-hak hidup seorang anak
manusia adalah juga penghinaan bagi Allah. Maka kemarahan moral yang diletupkan
Pendeta Rogahang saat itu mentransformasikan suatu sikap keteladanan seorang
pemimpin Kristiani.
Pemimpin itu tidak sinonim
dengan menjadi tuan. Kepemimpinan Kristiani adalah panggilan untuk melayani,
bukan untuk menguasai. Panggilan untuk menjadi hamba dan bukan menjadi raja di
raja. Otoritas kepemimpinan yang dijalankan dengan kasih dan kerendahan hati.
Bukan kekerasan tapi keteladanan, bukan paksaan tapi persuasi.
Tentang sikap kepemimpinan
seperti ini, teolog John Stott memberi
penekanan pada satu frase tulisannya yang menawan dimana ‘sesuatu yang besar
tak mungkin tercapai, kalau dibaliknya tak ada suatu impian yang besar, suatu
visi yang besar’. Demikian sikap dan visi pelayanan Pendeta Rogahan di tengah
jemaatnya.
Bila sejenak bercermin pada
kondisi masa kini, visi kepemimpinan Kristiani yang diemban Pendeta Rogahang
nyaris sulit ditemui lagi di tengah kepemimpinan Kristiani saat ini. Pada saat
ini jabatan-jabatan gerejani sering hanya dijadikan alat legitimasi dan batu
loncatan guna menerobos ke tujuan-tujuan politis, bahkan dijadikan alat untuk
melangkah ke panggung politik praktis. Tak bisa dipungkiri dimana saat ini
tidak sedikit mereka yang mengantongi atribut jabatan gerejani yang mendekam
dalam penjara akibat tindak kejahatan mereka.
Ada juga kecenderungan dari
segelintir pemimpin Kristiani yang melakukan politik ‘dagang sapi’ untuk
mencapai tujuan praktis yang ingin disasarnya. Bila sebuah jemaat sedang membangun gedung
gereja, maka lobi-lobi yang jauh dari makna
transenden dipraktekan. Mereka mendatangi para pemimpin partai politik untuk
membicarakan transaksi kontraktual yang bernuansa politis dalam meloloskan
proposal bantuan dana bagi pembangunan. Lebih miris lagi ketika gol-gol itu
harus ditebus dengan janji-janji palsu dimana anggota jemaat akan mendukung
partai yang dimaksud dalam sebuah arena politik praktis. Ada juga yang serta
merta menjaminkan peresmian sebuah gedung gereja kepada seorang pemimpin
politik. Ini sebuah fakta dari sekian banyak fakta kemelencengan visi dalam
kepemimpinan Kristiani saat ini yang perlu mendapatkan permenungan lagi.
Kembali ke masa kepemimpinan
Pendeta Rogahang, dari hasil kerja keras dan keteladanannya, di kurun
kepemimpinanya jemaat-jemaat baru terus tumbuh dan terhimpun di aras Paroki Singkil.
Sistim pelayanan di jemaat-jemaat mulai terurus dengan baik. Penempatan resmi pendeta
dan guru-guru jemaat lewat SK Sinode GMIM dilakukan, terutama jemaat-jemaat
yang telah memiliki bagunan gereja sendiri. Hal tersebut terbukti dengan
penempatan Guru Jemaat Estefanus Takonselang ke jemaat Nazaret Tuminting
melalui SK BPS GMIM angka 60 tertanggal 31 Desember 1942 (2602, Syoowa), dan
penempatan Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan tahun 1935 di Jemaat GMIM Bengkol.
Pendeta Rogahang ternyata
sosok yang juga esentrik. Ia sangat hobi nonton film dan minum beralkohol.
Menurut Penatua Commettie, Pendeta Rogahang sangat menikmati hobinya nonton
film dan minum sampai mabuk.
Tentang keesentrikannya ini,
kita mungkin boleh mengutip apa yang dikatakan Peter Drucker adalah
benar,’orang kuat, kelemahannya kuat juga’. Sebuah iklan motor yang sering
ditayangkan di televisi di negara kita mengutip sebuah dagelan menarik yang
menyebutkan,’Motor juga Manusia’. Arti yang dimaksudkan dalam iklan ini adalah
sedang manusia punya kekurangan apalagi motor. Demikian juga pemimpin, mereka hanya
terdiri dari darah dan daging bukan dari batu atau metal.
Pemimpin-pemimpin besar yang
disaksikan Alkitab juga memiliki cacat yang fatal. Dalam cerita Alkitab, Nuh
yang taat kepada hukum, adalah peminum. Musa adalah seorang pemarah. Daud
melanggar lima hukum Allah, yaitu berzinah, membunuh, mencuri, mengucapkan
saksi dusta dan menginginkan istri orang. Masih banyak lagi pemimpin-pemimpin
dalam kisahan Alkitab yang diwarnai kelemahan-kelemahan. Dan ini sesuatu yang
tak dapat dipungkiri dan mesti dikoreksi. Dan kini kita bisa mengenag Pendeta
Rogahang dengan segala sisi hitam putihnya
sebagaimana sitiran 2 Timotius 4:7 sebagai “sosok (aku) yang telah mengakhiri
pertandingan yang baik, sosok (aku) yang telah mencapai garis akhir, dan sosok
(aku) yang telah memelihara iman. Ia telah bertekun sampai akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar