Oleh: Iverdixon Tinungki
“Hendaklah setiawan kamoe sampai kepada
mati,
maka Akoe akan
mengaroeniakan kepadamoe makota alhajat itu”
(Wahjoe 2:10).
Setelah berakhirnya
kepemimpian Pendeta Altius Adolf Mohede, pada 1 Maret 1951, Pendeta Hendrik Daandel
ditempatkan oleh BPS GMIM sebagai Ketua
Jemaat Singkil Sindulang sekaligus sebagai Kapala Paroki Singkil. Pada masa
kepemimpinannya ini ia sempat menjabat Ketua Badan Pekerja Wilayah Manado Utara
masa transisi dari peralihan istilah Paroki ke Wilayah. Ia bertugas hingga 15
November 1973.
Kepala Paroki Keempat ini
dikenal sebagai pribadi yang setia dalam mengemban tugas pelayanan dan
pendidikan kepada jemaat. Sebuah kombinasi antara kerja keras, ketekunan, dan
disiplin, bilah ditakar dari perspektif pakar-pakar manajemen. Tapi menurut
Alkitab kesetiaan itu adalah sebuah karunia. Semacam talenta yang mesti diemban
(Wahjoe 2:10). Pianis termasyur
Paderewski mengambarkan kesetiaan yang membuat ia disebut sebagai pemain piano
jenius adalah sebuah kebolehan yang kelihatan seperti datang dengan sendirinya.
Tapi untuk mewujudkan itu diperlukan 1 persen inspirasi (ilham) dan 99 persen
perspirasi (keringat). “Sebelum menjadi orang jenius, aku harus membanting
tulang,” kata Paderewski menjawab Ratu
Victoria yang memuji kejeniusan permainan pianonya.
Demikian
pula kesetiaan Pendeta Hendrik Daandel dalam mengemban tugas pelayanannya.
Seperti Musa yang harus menghimpun, menyatukan dan mengatur orang Israel hingga
berubah dari suatu gerombolan menjadi suatu bangsa, serta memimpin mereka
melintasi gurun yang penuh marabahaya dan kesukaran sebelum mereka sampai ke
tanah perjanjian.
Pergulatan
Pendeta Hendrik Daandel di kurun-kurun pelayanannya mencitrakan sebuah impresi
keidealan yang dituntut dari seorang pemimpin kristiani itu. Sebuah kerja keras
yang tak dapat ditawar-tawar, air mata dan keringat untuk mewujudkan hal-hal
nyata dalam pelayanannya.
Dalam sejarah kepemimpinan
para pemimpin besar dunia yang berhasil menggapai impiannya untuk mewujudkan
visi lewat kerja keras selalu diwarnai oleh perlawanan. Nabi Nehemia yang membangun kembali tembok kota suci
Yerusalem tak hanya dilakukannya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk pembangunan itu, tapi ia harus menyiapkan senjata untuk perang
agar visinya untuk pembangunan kembali Yerusalem bisa terwujud. Winston
Chruchill yang mengimpikan pembebasan Eropa dari cengkraman penindasan Nasi
Hitler harus menempuhnya dengan perjuangan berbulan-bulan juga penderitaan.
Dari rentetan-rentetan perlawanan itu kesetiaan seorang pemimpin diuji.
Kesetiaan tak ada tanpa perlawanan.
Di aras Paroki Singkil
Sindulang dari tahun 1951-1973 jelas terlihat patahan-patahan persoalan dan
kepelikkan yang dihadapi Pendeta Hendrik Daandel. Ketegasan dan sikap
disiplinnya terkadang dinilai sebagai sikap pribadi yang feodal ke Belanda-belandaan.
Ketegasan dan disiplin itu pun menjadi sebab suatu peristiwa ironis yang terjadi
di Jemaat Torsina Tumumpa yang membuahkan perpecahan menuju eksodusnya 3 orang
Majelis beserta anggota jemaat kolom yang mereka pimpin untuk mendirikan gereja
sendiri yakni Gereja Masehi Protestan Umum (GMPU).
Kedisiplinannya dalam hal
penyelenggaraan program pendidikan Sidi Jemaat, membuat banyak orang-orang tua
yang berprofesi sebagai nelayan yang harus melaut di malam hari tak bisa
mengikuti program pendidikan sidi yang super ketat dan disiplin tersebut. Akibatnya hingga kurun akhir
kepemimpinan Pendeta Daandel tidak sedikit orang-orang tua yang tidak bisa
mengikuti Perjamuan Kudus karena belum menjadi anggota sidi jemaat.
Selain memimpin aras
pelayanan Paroki atau Wilayah, Pendeta Hendrik Daandel tercatat telah bekerja
pada empat jemaat sebagai Ketua BPMJ semasa
ia mengemban tugas pelayanannya, tetapi dengan jangka waktu kerja cukup lama di
tiap Jemaat.
Tahun 1932 setelah lulus sekolah
Theologia STOVIL ia ditempatkan di jemaat
Likupang sampai dengan tahun 1935. Kemudian di jemaat GMIM Serey selama 8 tahun,
dari tahun 1935 sampai 1943 (zaman pendudukan
Jepang), lalu di berangkatkan ke Gorontalo sebagai misi GMIM. Di sana
bertugas selama 6 tahun dari tahun 1943 sampai 1949. Baru kembali ke Manado dan
di tempatkan di Jemaat GMIM Maumbi antara tahun 1949 sampai 1951. Dari Maumbi terhitung
malai tanggal 1 Maret 1951 di tempatkan di Jemaat GMIM Bethanie Singkil dan
sekaligus selain sebagai Ketua Jemaat juga Kepala Paroki Singkil Sindulang dan
dilajutkan sebagai Ketua BP Wilayah Manado Utara . Bertugas di sini selama 22
tahun 8 bulan.
Ketika diutus sebagai misi
GMIM ke Gorontalo, sesudah bertugas
selama 4 tahun, BP Sinode menganugerahkan tanda kenangan kepadanya atas
kerajinan dan kesetiaanya. Selengkapnya bunyi keputusan surat itu sebagai
berikut :
Gereja
Masehi Injili Minahasa
Pada
perhimpoenan Badan Pengoeroes Synode tt. 30 Djuli 1947 di poetoes
menganoegerahkan soerat tanda kenangan kepada :
HENDRIK
DAANDEL
Pendeta
Pemimpin Oemoem Zending GMIM Gorontalo, karena keradjinan dan kesetiaannja goena
Geredja kita.
“Hendaklah
setiawan kamoe sampai kepada mati, maka Akoe akan mengaroeniakan kepadamoe
makota alhajat itu” (wahjoe 2:10).
Tomohon,
30 September 1947
Badan
Pengoeroes tersebut
Ketoea
Synode
Ttd
A.Z.R.Wenas
Djoeroetoelis
Synode
Ttd
S.
KALIGIS
Hendrik Daandel lahir di
Kanawong Ondong, Siau 3 Maret 1905. Sebelum ke STOVIL mengenyam pendidikan di SD Ulu II di Tatahadeng 1921, lulus jadi
guru (Ijazah Kweekling) menjadi guru di SD Lehi. Setelah ia masuk Kweekschool
Kaluwatu Sangihe 1925-1928 (berijazah) menjadi kandidat Kepala Sekolah
Batuwulang Ondong Siau 1928-1929 dan dari sini baru ke Stovil. Ia menikah
dengan Engelista Andaria.
Pendeta Hendrik Dandel
meninggal pada tanggal 15 November 1973,
dengan waktu pengabdian selama 22 tahun di aras Paroki dan Wilayah Manado Utara.
Dikurun pelayanannya yang
relatif panjang itu, banyak perkembangan yang terjadi di aras Paroki Singkil
Sindulang. Cikal bakal jemaat yang dirintis pendahulunya di berbagai desa di teritorial
Paroki Singkil Sindulang berdiri menjadi Jemaat Otonom. Selain Jemaat Bethanie
Singkil Sindulang, Jemaat Bengkol, Nazaret Tuminting, Torsina Tumumpa, Sion
Bailang, jemaat-jemaat baru yang berdiri dikurun kepemimpinan Pendeta Hendrik
Daandel diantaranya, Jemaat GMIM Kombos,
GMIM Pniel Tuna, GMIM Petra
Karangria, Jemaat GMIM Molas, Jemaat
GMIM Buha, Jemaat GMIM Pandu.
Tugas dan fungsi organisasi
pelayanan yang diembannya berjalan baik, sebagaimana tri tugas panggilan orang percaya yaitu: Membangun,
membaharui dan memelihara keutuhan gereja (Marturia),
menyaksikan dan memberitakan Injil kepada segala Makhluk (Koinonia), Melayani demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan
(Diakonia).
Hal tersebut dapat terefleksi
dimana di kurun itu, gedung-gedung gereja baru berdiri di ladang-ladang
persemaian Injil Tuhan ini baik dalam bentuk darurat, semi permanen, hingga
permanen. Dikurun inilah bangunan gereja semi permanen Jemaat Nazaret Tuminting
mulai dibangun. Demikian juga dengan bangunan Gereja Torsina yang permanen
pertama mulai dibangun pula. Jumlah kolom di tiap-tiap jemaat ikut berkembang
seiring kian pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan ini. Terjadi
pergantian kepemimpinan jemaat-jemaat yang berlangsung sebagaimana aturan tata
gereja GMIM.
Dalam sejarah Jemaat Nazaret
Tuminting tercatat di kurun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel di aras Paroki
Singkil, Nazaret telah melakukan 4 kali pergantian kepemimpinan BPMJ, dimana
sebanyak 3 kali masih dalam kepemimpinan guru-guru jemaat, hingga pada tahun
1962, jemaat Nazaret Tuminting untuk pertama kali mendapatkan penempatan
seorang ketua BPMJ yang pendeta yaitu Pendeta
Manuel Lumowa Wangkai (1962-1974).
Penempatan pendeta ML.
Wangkai di Jemaat Nazaret tercatat kian mensemarakkan pelayanan di aras paroki
Singkil Sindulang. Karena Pendeta
Daandel sebelumnya hanya satu-satunya tenaga pendeta di aras pelayaan Paroki
ketika itu, dengan masuknya ML Wangkai, maka tugas pelayanan di Paroki Singkil
Sindulang dibagi menjadi dua, yakni: pertama, untuk jemaat-jemaat di bagian
Utara Paroki (Tuminting, Karangria, Tumumpa, Bailang, Molas, Meras, Talawaan,
Tiwoho, Wori, Pandu, Bengkol, Buha) dilayani Pendeta ML. Wangkai dibantu oleh
Sym. Ny. Sambalao Liwoso. Area pelayanan Pendeta ML Wangkai ini meski bukan
aras pelayanan yang definitif, tapi ketika itu dikenal kebagai wilayah
pelayanan Tuminting-Wori. Area wilayah pelayanan ini pula sesungguhnya yang
menjadi cikal bakal terbentuknya aras pelayanan Wilayah Manado Utara II saat
ditetapkan pada tahun 1982 oleh BP Sinode GMIM.
Sedang jemaat-jemaat di
selatan Paroki (Singkil Sindulang, Wawonasa, Tuna, Kombos) dilayani Pendeta
Daandel. Baru pada tahun 1968 Pendeta Gustaf Adolf Pangemanan di tempatkan di
jemaat Torsina. Sedang pada 1971, Jemaat GMIM Tuna ditempatkan Pendeta
Dumanauw Musa Victor Kandijoh (1971-1973).
Kelokan Lain di Torsina
Kesetiaannya dalam mengemban
misi pelayanan di kurun kepemimpinannya sebagai Kepala Paroki, aspek ketegasannya
penting mendapatkan catatan. Sebab, dari sikapnya itu sejarah gereja di kawasan
ini membentuk kelokan tersendiri, yakni berdirinya GMPU (Gereja Masehi
Protestan Umum) sebagai dampak dari perpecahan babak pertama dari tiga babakan
perpecahan di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa.
Peristiwa ironis itu berawal
dari kisah cawan anggur yang telah kosong dalam ibadah perjamuan di tahun 1955.
Sebagaimana catatan Sem Narande, dalam sebuah ibadah perjamuan kudus di Jemaat
Torsina Tumumpa, terjadi peristiwa cawan anggur yang kosong karena semua isinya
telah diminum habis oleh seseorang yang sebelumnya menerima cawan itu, hingga
orang berikutnya hanya menengguk anggur dari cawan yang telah kosong. Peristiwa
ini tentu membuat gaduh suasana, banyak anggota jemaat yang ikut perjamuan
tertawa, termasuk para majelis jemaat.
Pendeta Daandel yang
memimpin ibadah perjamuan ketika itu, sontak memberi teguran keras dan tegas
kepada Majelis Jemaat, karena tertawa-tawa pada saat berlangsungnya acara di
meja perjamuan. Suasana itu menurut Pendeta Daandel, tidak menghormati
kekudusan sakramen perjamuan.
Majelis Jemaat saat itu tersinggung
dan tak menerima teguran sang Pendeta, bahkan menilai Pendeta Daandel tak
menghargai Majelis serta mencemarkan kehormatan Majelis. Kejadian ini pun
berbuntut pada pertikaian antara Majelis Jemaat Torsina dengan Pendeta Daandel
selaku Kepala Paroki. Untuk menyelesaikan pertikaian ini Badan Pimpinan Sinode
mengutus Pendeta A. Rondo untuk mendamaikan. Tapi misi perdamaian pendeta A
Rondo gagal, karena 3 orang Majelis yakni Porcorus Arbraang, Salmon Marune dan
Matheos Talimpung, langsung menyatakan keluar dari Jemaat GMIM Torsina berpindah
ke GMPU, dan mendirikan gereja GMPU di Tumumpa.
Dan di tahun itu, atau 6
tahun sesudah jemaat Torsina dinyatakan otonom setelah dimekarkan dari Jemaat
Nazaret Tuminting, tepatnya 18 Desember 1955, angin kencang menyaput runtuh
bangunan darurat Gereja Torsina Tumumpa. Kejadian itu menjadi bagian akhir dari
babakan pertama kisah jemaat Torsina, dan babakan kedua perpecahan menuju
terbentuknya Gereja KGPM Tumumpa sedang menanti, sebagai bagian dari kisah
pelayanan di kurun kepemimpinan Pendeta Daandel sebagai Kepala Paroki Singkil
Sindulang.
Kerapan Gereja Protestan
Minahasa (KGPM) Tumumpa terbentuk dari eksodus kedua jemaat GMIM Torsina
Tumumpa tahun1968. Awalnya, kekisruhan hanya dipicu masalah ketidak beresan
keuangan di BPMJ dalam kepemimpinan guru jemaat Estefanus Takonselang. Pada
perkembangan berikut, persoalan kian menajam karena sebagian anggota jemaat
menilai kepemimpinan Guru Jemaat Estefanus Takonselang otoriter. Dari kesaksian
para tua-tua Jemaat Torsina sebagaimana dikutip Sem Narande, persoalan tersebut
benar-benar merobek keutuhan jemaat, hingga kondisi Jemaat terpecah menjadi dua
kelompok. Yang satu berpihak pada Ketua Jemaat, dan lainnya berseberangan dan
menolak kepemimpinan Ketua Jemaat. Konflik tersebut tak berhasil diselesaikan
di aras Jemaat, Paroki dan Sinode, tapi melebar ke rana hukum yang juga tak
mendapatkan penyelesaian. Tindakan mengklaim kepemilikan bangunan gereja
terjadi. Papan nama Gereja Torsina diturunkan oleh Kelompok Takonselang dan
diganti dengan papan nama baru yakni KGPM.
Untuk mengamankan kekisruhan ini pihak Koramil terpaksa turun tangan
menjernihkan situasi hingga papan nama Gereja Torsina dapat dinaikan lagi.
Yang menarik dari peristiwa
ini bukanlah masalah benar tidaknya pokok kekisruhan itu. Karena kebenaran
sejati hanya milik Tuhan, maka tugas generasi berikutnya adalah merefleksi
esensi teologis dari peristiwa itu, dimana Tuhan telah membentuk kelokan baru
dalam sejarah pelayanan di aras Paroki Singkil Sindulang. Ketua Jemaat Torsina
Estefanus Takonselang bersama para pendukungnya kemudian melakukan eksodus kedua setelah berdiri GMPU dalam konflik
babak pertama, dengan mendirikan KGPM di Tumumpa yang letak bangunannya tak
jauh dari Gereja Torsina Tumumpa, sebagai buah dari konflik babak kedua.
Torsina yang ditinggal pergi sang pendiri jemaatnya sendiri, kemudian dipimpin
Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan, yang ditugaskan Sinode GMIM sejak 2 Juni
1968.
Surat Daandel kepada Jemaat Torsina
Kepergian Estefanus
Takonselang mendirikan KGPM Tumumpa, dan masuknya Pendeta G. A. Pangemanan
ternyata bukan akhir dari badai yang menerpa kehidupan berjemaat di Torsina.
Pergantian kepemimpinan itu ternyata merupakan awal dari terjangan masalah yang
lebih rumit melilit kehidupan berjemaat. Di kurun kepemimpinan Pendeta
Pangemanan lagi-lagi Torsina terbelah menjadi dua blok dengan dua kepemimpinan
BPMJ. Jemaat yang baru lepas dari dua
persoalan besar dan sedang mendabahkan kepemimpinan jemaat yang integral dan
paternal kembali terkoyak-koyak oleh sistim kepemimpinan yang jauh dari
semangat kegembalaan. Onggota jemaat yang kembali tercerai-berai itu lagi-lagi
menjadi pekerjaan besar bagi pimpinan Wilayah dan Sinode untuk menyatukannya
kembali.
Konflik babak ketiga di
Torsina ini berawal dari sikap Pendeta Pangemanan yang dinilai kurang
mempertimbangkan pendapat jemaat dalam pembentukan BPMJ, karena terlalu banyak
disetir oleh seorang tokoh Jemaat Albert Lahu. Dalam catatan Sem Narande
disebutkan dimana Sosok Albert Lahu adalah otak dari konflik babak kedua hingga
Guru Jemaat Estefanus Takonselang terdepak dari Torsina dan pergi mendirikan
KGPM. Pasca pergantian kepemimpinan ke Pendeta Pangemanan, Albert Lahu kembali
memainkan perannya dalam pembentukan BPMJ hingga menimbulkan ketidak senangan di
antara anggota Jemaat. BPMJ Bentukan Pendeta Pangemanan dan Albert Lahu
mendapatkan penolakan dari jemaat hingga dalam 1 tahun harus tiga kali
dilakukan perombakan susunan BPMJ.
Pada bulan Oktober 1968, BPMJ versi Pendeta Pangemanan
dan Albert Lahu akhirnya diajukan untuk diteguhkan oleh Pimpinan Bandan Pekerja
Antar Wilayah (BPAW) Manado yang ketika itu di pimpinpin Pendenta A.
Rondo, namun ditolak oleh 11 orang
anggota BPMJ. Mereka menginginkan penahbisan dan pemberkatan BPMJ dilakukan
oleh Sinode GMIM. Menjawab permintaan itu, Sinode GMIM kemudian mengirim 8
orang pendeta sekaligus untuk meneguhkan BPMJ Torsina. Peristiwa peneguhan ini
merupakan satu-satunya peristiwa peneguhan BPMJ terspektakuler dan ironis dalam sejarah pelayanan GMIM. Sebab sebelumnya
dan hingga saat ini belum ada lagi peristiwa peneguhan BPMJ dilakukan oleh 8
orang pendeta sekaligus.
Pasca peneguhan, persoalan
bukannya surut, tapi terus meruncing disebabkan oleh kebijakan BPMJ versi
pendeta Pangemanan yang diotaki Albert Lahu menerapkan konsep “Jemaat Rasuli”. Dalam
konsep Jemaat Rasuli, seperti diungkap Narande dalam bukunya Valdu La Paskah, segala
kebijakan pelayanan, keuangan, dan pengawasan dilakukan oleh Pendeta yang
sekaligus Ketua Jemaat.
Kebijakan itu sontak ditolak
jemaat, apalagi munculnya kebijakan pelaksanaan ibadah Natal hanya bisa
dilaksanakan di gereja, dan dilarang dilaksanakan di kolom-kolom. Pembangunan
gedung gereja baru yang awalnya dilakukan oleh sebuah Tim Panitia Pembangunan
diambil alih oleh Pendeta dan BPMJ. Kebijakan yang terpusat pada sang rasul itu
yakni Pendeta Pangemanan akhirnya membuahkan lahirnya BPMJ tandingan dipimpin
Penatua Ferom P. Langkudi yang mendapatkan dukungan penuh anggota jemaat. Pelaksanaan
peribadatan hari Minggu pun terpilah dalam dua bagian yakni ibadah subuh pagi
adalah ibadah Minggu dari anggota jemaat yang mendukung BPMJ yang dipimpin Penatua
Ferom P. Langkudi. Untuk BPMJ pimpinan Pendeta Pangemanan dilaksanakan pada
siang hari. Kondisi berjemaat itu tampak demikian krusial dan panas sebab
disatu sisi BPMJ yang resmi diteguhkan sinode tidak lagi mendapatkan dukungan
mayoritas anggota jemaat, sementara BPMJ pimpinan F. P. Langkudi justru
mendapatkan dukungan.
Upaya untuk menyatukan dan mengutuhkan jemaat yang
dilakukan lewat program pengembalaan oleh Pimpinan Wilayah dan Sinode gagal
dilakukan. Untuk itu, Sinode mengeluarkan surat teguran keras dan perintah
kepada Pendeta Daandel selaku Pimpinan
Wilayah untuk mengambil tindakan tegas dalam menyelesaikan masalah di Torsina.
Pada tanggal 3
September 1970, Pendeta Hendrik Daandel selaku Ketua BPW Manado Utara
mengirimkan Surat ke BPMJ Torsina yang dialamatkan ke Pendeta Pangemanan
sebagai berikut:
Yth
Majelis Jemaat Tumumpa
d/a
Ketua Pdt. G.A. Pangemanan
di.
Tumumpa.
Dengan
hormat,
Dengan
ini memberitahukan bahwa apa yang kami gariskan dalam kebaktian Ahad 23-8-1970
di Gereja Torsina, itulah jalan yang kami tempu, I. untuk menyatukan kembali
anggota jemaat biasa yang telah jadi korban persalahan paham sdr. 2. Pelayan khusus sampai telah berfihak-fihaklah mereka.
Sampai
dengan kebaktian 30-8-70 kami tetap memperhatikan sikap saudara-saudara pelayan
khusus terhadap apa yang telah kami gariskan itu. Jalan itu untuk sementara
waktu tujuan ialah kepada sekalian berbakti bersama, seperti sebelum peristiwa
berlaku dari saudara-saudara sendiri selaku pelayan khusus. Sekali lagi soal
yang sebenar-benarnya soal rumah tangga jemaat sendiri yang pertama-tama harus
diselesaikan saudara-saudara selaku pelayan khusus jemaat Tumumpa.
Maka
untuk mengembalikan kebaktian bersama pada jam yang lazin di GMIM yakni jam
09.00 pagi, maka kebaktian 6 September 1970 di jemaat Tumumpa Gereja Torsina,
hanya berlaku sekali saja, yaitu pada jam 09.00 demikian seterusnya, sedang
kadim-kadimnya u.s.w. sebelum selesai persoalan pelayan khusus: Kami haturkan
selaku Ketua Wilayah Manado Utara. Kami harapkan dan pintakan khusus bagi
pelayan khusus untuk mentaatinya kalau benar kami mengarah pada suatu jemaat
yang utuh, karena kami untuk jemaat dan bukan sebaliknya.
Selain
kami memperingatkan satu dua hal:
-
Disementara
penyelesaian ini, saudara-saudara tidak menimbulkan soal baru, yang menimbulkan
kesulitan; antaranya mengisi tempat Langkudi Cs dalam kolom yang mereka layani
sekarang ini; kalau benar mereka telah disahkan oleh BP Sinode, hanya menunggu
peneguhannya.
-
Masing-masing
pihak yang sekarang mempertanggung jawabkan keuangan masing-masing sejak
persoalan sampai 30-8-70 di Kantor Wilayah Manado Utara diserahkan pada tanggal
8-9-70. Jam 09.00 di Kantor Wilayah.
-
Keuangan
sejak 31-8-70 sampai dengan selesai persoalan diserahkan pada Keuangan Wilayah
Manado Utara dalam hal ini diwakilkan oleh badan sementara terdiri dari:
1.
Bapak
Sumerar, pemegang keuangan.
2.
Bapak
Tuhehay, pembukuan keuangan.
3.
Bapak
Gunena, Antameng dan Manoppo pengawas.
-
Bagaimana
pikiran saudara-saudara kalau perjamuan asya yang kudus di depan ini, anggota
jemaat biasa bisa duduk pada perjamuan Tuhan-Nya sedang saudara-saudara yang
ada masih bersitegang. Buat kami rasanya telah cukup tindakan pengembalaan/pelayanan
baik dengan peringatan, teguran dan nasehat, akhirnya sekali lagi kami harapkan
untuk penyelesaian ini jangan nanti dikomandokan/ diperintahkan/
diinstruksikan; kalau bisa itu timbul dari kesadaran sendiri untuk berbuat
baik.
Sekian!
Salam
dan doa kami
a.n. BP Wil. Manado
Utara
ttd +cap
Pdt.
H. Daandel
Tembusan:
-
Langkudi Cs.
-
Ketua Antar Wilayah Manado.
- Badan Pekerja Sinode GMIM
-
Arsip.
Surat pendeta Daandel itu
merupakan titik penting dari penyelesaian konflik babak ketiga di Torsina,
dimana pada Februari 1971 Pendeta Pangemanan ditarik Sinode GMIM dari Torsina
dan merupakan masa akhir dari BPMJ yang dipimpinnya. Sebagai pengganti, Sinode
menugaskan Pendeta Johny Johanes Gerald
Sondakh sekaligus menjadi Ketua BPMJ ke IV di Torsina.
Kembali ke Pendeta Daandel,
mendekati tahun-tahun akhir dari 22 tahun pengabdiannya di Jemaat Bethanie
Singkil Sindulang, atau dikisaran tahun 1968 aras pelayanan Paroki di
wilayah-wilayah GMIM diganti menjadi aras pelayanan Wilayah yang dipimpin oleh
Badan Pekerja Wilayah (BPW). Kepala Paroki pun berubah menjadi Ketua Wilayah. Dan
sejak itu, aras Paroki Singkil berubah nama menjadi aras Wilayah Manado Utara.
Sementara di kurun ini GMIM menerapkan adanya Badan Pekerja Antar Wilayah (BPAW).
Salut...for alm.Opa semoga damai sejahtera dan kasih karuniaNya
BalasHapusselalu menyertai kita cucu2 di manapun berada,amin.
dan pasti Opa sudah di dalam tangan Tuhan Yesus Yang penuh Kasih,amin....