dalam
klikitong kutemukan pulau
telah lama
terkubur
darah lelaki
mengalir bagai arus
memecah di
mata samudera
terus mendekap ombak tua
di pesisir
itu
ombak tua itu
mendebur seluas ingatan
bagaimana
batangbatang sejarah menegak
di tengah
bunyi berdejakdejak
semacam derap
dayung
selalu pulang
dengan kisah kemenangan
tapi yang
tersisa di pulau ini
hanya kisah
lusuh kerajaan masa lalu
tentang
kemaharaan pala kejayaan korakora
kini bernanah
di atas bendera kemerdekaan palsu
tak hanya
lelaki
perempuan pun
menari
menari di
tengah irama langit berkelindan ini
seperti lava
terlontar ke atas barisbaris sajak
melahirkan
api
lalu, kemana
para lelaki pemberani
di tengah
harga diri tergadai seharga anak babi
bila bunyi
klikitong ini kian merancak
bukankah jantung
leluhur api di kepundan pulau
memuncak membariskan
ledakanledakan
sebagai
ingatan perang sesungguhnya belum berakhir
dan harus
dimulai
buat meraih
kemerdekaan sejati
*) Klikitong: musik tradisonal warisan tradisi dari
masa Kerajaan Siau.
BATU HAKI
berlayar ke utara
mendaki sasahara
ketemukan ombak
tebing batu
sebilah bara
perahu naga
berlayar di masa lalu
melabuhi masa kini
menjumpai pedang itu
dan medan perang yang sama
laut selalu mengasah ketajaman
naluri manusia pulau sejak dulu
seperti batu bersusun tak luluh pada
gemuruh
taufan abad
juga sejarah arusnya
di sini hitam bukan mati
kendati pertarungan hidup
tajam seperti belati
*) Sasahara: Budaya Bahari Nusa
utara
*) Bara: pedang perang
*) Batu Haki: Tebing dari susunan batu hitam yang keras
ANTARA SOMBA OPU DAN ULU
pada
sebuah masa
badik
dan bara sama terancung
seperti
pinisi dan kora si kembar gagah
menakluki
samudera maknamakna
aku
masih memikirkan kelincahan paraga
lentik
pakarena
ketika
lintalinta di liang parit
telah
lama gemuk oleh darah laut kita
dari
saman ke saman
samudera
menabuh keberanian
tapi
sejarah ditulis kini
menyobek
laut hingga mantramantra
menjadi
renta, tiang layar patah
diterjang
titahtitah penguasa
antara
Somba Opu dan Ulu
ku
asah rinduku
hingga
ketajaman ini meruncing
dalam
badik bara
buat
sebuah laga
di
arena negara sebenarnya
SUATU KETIKA DI ULU
kali tawar
itu mengalir di matamu
bersama bau
keringat tergelincir ke laut
mengendap
jadi lumut
mengeruh
asin ombakmu
aku melihat
kebun pala tak bernama
pada
pinggang gunung bergetar
orangorang
pucat di dermaga
lelakilelaki
melepas asap rokoknya
jadi
gumpalan mega
menambahkan
biji banjir
turun
mengilas
semua doa di
tepi langitnya
di sana
seketika aku memandang
pedagangpedagang
asing mengusai kota
telah lama
mereka seperti kepompong
menjelma
kupu
terbang
indah ke segala pelosok nilai
dihisapnya
jadi remah
kau
menggeliat laiknya belatung
di antara bau
bacin keringat amis
ketika Karangetang
menggelegar muntah
api amarah
itu mengapa kau simpan di saku celana
lalu
berbaris seperti serdadu kala perang
menuju liang
kematian
kau gali
sebegitu tenang
ataukah di sini
sejarah tak lagi dibaca
ketika
dibengkokkan pun engkau mangut saja
saat aku
berangkat meninggalkan kamar jagal
kulihat
pulau setinggi seagung itu menggelepar
dalam jaring
kering maknamakna
ditebar
sebarisan setan
PESISIR BALEHUMARA
tuanglah
samudera ke dalam gelas hingga penuh
biar kusesap
nyeri ampas sejarahku, juga sejarahmu
Balehumara
dan bau bidadari turun dari perahu
dengan derap
penari istana kembang melati
bibirnya
ranum muram masa lalu
di depan,
pulau Ruang mengapung. ada jejak pisau
darah hitam
mengguris di kening laut tua itu
ketika sisa
panoramic memapar sisi abadi dari ingatan
berkata: di sini langit selalu tenang menghapus merah senja
menidurkan
pasir lelap diusap debur ombak
begitu
nelayan belajar ikhlas itu bukan kalah
lalu
menyembur harum Roa di asap panggang perapian
juga derak
bunyi kayu bakar menjelma renung masa kini
bukankah api
berkobar itu setua usia pesisir ini
jala dirajut
dulu, kini masih ditebar hingga ke mimpimimpi
setidaknya
kini antara luka pisau dan laut
kutemukan
ruhku sendiri
menimang
bulan sabar
membuka
barisbaris cahaya.
sehari
seinci
hingga
purnama dulu
menyatu di bulat purnama hari ini
*) Balehumara: Nama
sebuah kampung di pesisir pulau Tagulandang. Dulu adalah pusat kerajaan
Tagulandang.
BILA LAUT ITU IBU
ibu selalu
bangun lebih pagi sebelum matahari
sebelum
adzan subuh menggemah
sebelum
Tuhan lebih dulu terjaga oleh doanya
kendati
semalaman, aku menyusu semua kisah di lengannya
seperti
perahu korakora tak takut pada ombak
ibu
adalah lunas dan tiang utama
kokoh kerena
air mata
arus
samudera tak membuatnya letih
sekali
terpacak, kemudi harus diarah dengan cakap
dalam angin
mati pun korakora harus bergerak pergi
“bila laut
itu ibu, siapa anaknya?”
ombak nusa
utara pecah di hatiku
laguannya
mengikuti jiwaku
dalam cabikancabikan
Klikitong
menuruni gunung menuju pernikahan langit
dengan gemuruh
laut dalam sajakku
“aku
anakmu,” ujarku pada mata hati tak kan
beruban itu
abadabad tak
membuat ia tua, karena uban tak membuat ia rabun
pagi dan senjanya adalah gelombanggelombang
abadi
menjemput
korakora dalam barisan sajak ini berlayar kembali
*)Klikitong: Musik
tradisional Sangihe dalam pesta syukur. (Siau).
SELAMAT PAGI CINTA
sepagi ini aku menyaksikan nuri tertawa
ketika hatiku ingin mengucap: Selamat pagi cinta!
aku pun telah menyetel lagu Ilahi buat mengenang malam indah
saat sayapsayap cinta membawaku menyentuhi bintang
tak ada kesuraman hati ketika itu
sepagi ini aku menyaksikan nuri tertawa
ketika hatiku ingin mengucap: Selamat pagi cinta!
aku pun telah menyetel lagu Ilahi buat mengenang malam indah
saat sayapsayap cinta membawaku menyentuhi bintang
tak ada kesuraman hati ketika itu
semuanya sempurna seperti
pengantinan hati
dua manusia berbagi langka meraih pagi
bagai penyusun bata menutupi bilik rumah
dua manusia berbagi langka meraih pagi
bagai penyusun bata menutupi bilik rumah
buat rindu berebah
aku telah memainkan beberapa lagu pada piano hatiku
hingga air itu menetes di tepi matamu menjadi samudera
dimana rahasia hati berenang mengikuti arus
hingga tiba pada sebuah benua
kita rangkai sendiri
dengan hati kita
kamu pun selalu menyusun canda
mengisi keindahan taman kutata dengan sabar
saat pagi ini kulihat beberapa bunga menyembul
hatiku ingin mengucapmu: selamat pagi cinta!
biar hatimu tak sekadar menangkap wangi dari kata
tapi wangi semesta rasa memucuk di mekaran bunga
besok atau lusa aku akan mengelanai laut
buat bertemu keluhuran utara
pulaupulau fasifik agung berombak
menyinggahi dermaga perbatasan hingga menembus Filipina
aku telah memainkan beberapa lagu pada piano hatiku
hingga air itu menetes di tepi matamu menjadi samudera
dimana rahasia hati berenang mengikuti arus
hingga tiba pada sebuah benua
kita rangkai sendiri
dengan hati kita
kamu pun selalu menyusun canda
mengisi keindahan taman kutata dengan sabar
saat pagi ini kulihat beberapa bunga menyembul
hatiku ingin mengucapmu: selamat pagi cinta!
biar hatimu tak sekadar menangkap wangi dari kata
tapi wangi semesta rasa memucuk di mekaran bunga
besok atau lusa aku akan mengelanai laut
buat bertemu keluhuran utara
pulaupulau fasifik agung berombak
menyinggahi dermaga perbatasan hingga menembus Filipina
inilah tanahku, samudera luas
seperti hatiku
selalu menunggumu bersampan
di pucuk ombang tak pernah letih
selalu bercinta merindu
di pucuk ombang tak pernah letih
selalu bercinta merindu
dalam deburan kuat menghempas
resahku
“tapi siapa memahami laut, selain
anak laut itu sendiri”
kawanan lumba akan berpacu dengan perahu
burungburung laut di atasnya dengan sayapsayap lebar kuat
seratus ribu ton kawanan palagis melintasi arus utara
seperti gambar tua di negerinegeri terlupa
aku ke sana buat menuliskannya lagi
harapan di mata sederhana manusia pulau
mereka yang tenang di tengah ladang umbiumbian
pala nyiur melambai pada syair lagu kebangsaan
selalu dihafalkan pada anak sekolahan
tapi lupa diingatan pemimpin bangsa
karena kekuasaan membutakan aksara
kawanan lumba akan berpacu dengan perahu
burungburung laut di atasnya dengan sayapsayap lebar kuat
seratus ribu ton kawanan palagis melintasi arus utara
seperti gambar tua di negerinegeri terlupa
aku ke sana buat menuliskannya lagi
harapan di mata sederhana manusia pulau
mereka yang tenang di tengah ladang umbiumbian
pala nyiur melambai pada syair lagu kebangsaan
selalu dihafalkan pada anak sekolahan
tapi lupa diingatan pemimpin bangsa
karena kekuasaan membutakan aksara
pesan terindah dari semesta
selamat pagi cinta!
pulau Marore, penduduknya kurang dari 1000 jiwa
aku memandang pulau Balut Filipina yang megah
jaraknya tak jauh, layaknya sepelempar cintaku ke nafas di hatimu
penduduk di sini semuanya nelayan
kecuali beberapa lelaki mengenakan baju serdadu
menjagai pulau terluar kita agar tak senasib Sipadan Ligitan
selamat pagi cinta!
pulau Marore, penduduknya kurang dari 1000 jiwa
aku memandang pulau Balut Filipina yang megah
jaraknya tak jauh, layaknya sepelempar cintaku ke nafas di hatimu
penduduk di sini semuanya nelayan
kecuali beberapa lelaki mengenakan baju serdadu
menjagai pulau terluar kita agar tak senasib Sipadan Ligitan
maukah kau terus menjagai cinta kita
kerena kedaulatan hatipun harus dibela dengan penuh kehormatan
aku harus mengarungi ratusan mil laut
buat merekam tawa sekaligus airmata di wajah nusa utara ini
mereka selalu mempiaskan senyum
di tengah dusun yang sesungguhnya betapa merana
moga aku punya waktu lagi memainkan beberapa lagu di piano itu
bersama syairsayair gunda di pucuk ombak hatiku
menghempas mendebur seperti nusa utaraku yang risau
buat menyalamimu dengan indah:
kerena kedaulatan hatipun harus dibela dengan penuh kehormatan
aku harus mengarungi ratusan mil laut
buat merekam tawa sekaligus airmata di wajah nusa utara ini
mereka selalu mempiaskan senyum
di tengah dusun yang sesungguhnya betapa merana
moga aku punya waktu lagi memainkan beberapa lagu di piano itu
bersama syairsayair gunda di pucuk ombak hatiku
menghempas mendebur seperti nusa utaraku yang risau
buat menyalamimu dengan indah:
selamat pagi cinta!
BEONG
bau
semak pakis harum musim hujan
berkesiuran
di jazirah perkebunan pala
jalanan
mengelok kemana sampainya
desa di
ketinggian gunung ini
seperti juga
desa lain
tanah air
yang kaya
mengapa
jejak riang anakanak
kisut retak
di atasnya
cahaya menerobos
lengan langit
tiba di sini
menjadi permainan kabut
anakanak itu
menanak darahnya
pada merah
kornea yang selalu dingin
desa itu
menggigil
sejarah kini
menikam tanah ini
hingga
bernanah
begitu curam
menebing sisisisi pulau
seperti
peperangan kerajaan dulu
tak jua
berbuah kejayaan kini
kecuali akar
pala mengikat batu
buat
kenangan tak tertimbun
seperti
sejarah setiap manusia punya masa lalu
mengakrabi
becek semak kemalangannya
di sejejeran
pemandangan
tinggal
remah tersisa di mata
di petik di
buah airmata
*) Beong: desa perkebunan pala di pulau Siau.
RENUNGAN PESISIR
di mendung menggumpal ini
aku ingin mengajakmu menari
memanjati langit
mengadukan isi hati
samudera seperti rambutmu
lebati kibaran cinta
perahuperahu hanyut
karam di pesisir matamu
desah pasir digeser arus
ombak di kedalaman hatimu
dapatkah berdamai dari seteru
kendati peperangan abadi terus menderu
aku berenang pada musik kau petik
lalu terhempas di atas karangkarang tajam
begitu kukuh waktu memisahkan
sebegitu pula laut dan pesisir
sepasang mempelai terlerai
saling meraih berbisik
memar di bibir tasik
aku bermimpi ada gelombang pasang penuh
menyaput daratanku
aku tenggelam dalam geloramu
tertimbun airmata keharuanmu
abadi menjadi lantai samuderamu
di kabut ini
ternyata aku tak pernah tidur
menunggui waktu
tebing ini runtuh di pesisir hatimu
MENGHIDU
KENANGAN
yang asin di wajah anak pulau debur
ombak
masa kecil mengerami mimpi
bisakah langit tertinggi diraih
dengan jerih payah sendiri
di langit nasib menetas bagai bui
kisah arus menabrak karang mengabadikan
tanjung
buat perahu memilih jalan dan kelokannya
begitu kukenang tanah laut nusa utara
di harum putik bunga pala, semesta
berbagi arah
maka kukayuh sajaksajakku menghidu silam
itu
gendang sejarah menabuhi gelisah tepi
pesisirnya
kami menari, anak lelaki dengan pedang
dan belati
mau menikam senja yang mau pergi
menenggelami mimpi
SASAHARA
laut seuntaian sajak bijak
di pijar gelombang
mengguncang murung
hidup itu pelayaran
di kedalaman luasnya
nilainilai berkelindanan
yang bertahan
dan mereka yang karam
mulailah dari syair perahu
ada buritan haluan
kapal pun demikian
hidup bukan tanpa tujuan
setingginya burung beterbangan
sesekali menukik mencari titian
melepas perjalanan langit
kerena laut pun berbagi pulau
ribaan
di deras arus menghanyutkan batang
terhempas hanya mereka yang bimbang
lihatlah hikayat kedalaman adalah airmata
surga rahasia terletak dikemauan kita menyelaminya
*)Sasahara: tradisi sastra
laut orang Nusa Utara.
MALAM
AKHIR TAHUN DI ULU
ledakan meriam bambu di selah hutan
harum kebun pala di malam
riasan cahaya kunangkunang
berpuluh tahun aku tak lagi bersuah
pesta tahun baru di Ulu
lonceng seratus di menara gereja tua
memperdamaikan hatiku dengan masa lalu
yang lama beku
barangkali kau memanggil
puncak gunung berselimut pijar api
aku telah sampai di kepundan semangatmu
kecuali pesta kembang api
petasan dengan bunyi yang mengguncang
datang mengabar peperangan saman
yang berbeda di mata cucu pertamaku
desa bertuah di pulau cincin api ini
lima ratus lahun lalu moyangku membangun
kedatuan
bulan tersenyum di langit memancar dena
sejarahnya
lesap ke tanah menjadi nanah
barangkali kau tak memanggil
puncak gunung berselimut bencana
sejauh ini aku terasing di kampungku
sendiri
mengapa?
merconmercon meledak
membakar hatiku bersama semua kenangan
indah masa lalu
tentang orangorang dusun santun berbalas
tahlil dan mazmur
mensyukuri kurnia langit bagi hari bulan
dan tahun
merekah seindah pagi tersentuh matahari
di mata lautmu
kini para priyayi dan pemabuk menari
sembari bernyanyi
di tengah orang desa gemetar
melukis masa depan
di atas tanah tak lagi jadi miliknya
KESUNYIAN
PULAU
telah kulapangkan hatiku
ketika burungburung berterbangan itu
membawa pergi kekasihkekasih fiksi
pada semua syair pernah kusuji
ketika burungburung berterbangan itu
membawa pergi kekasihkekasih fiksi
pada semua syair pernah kusuji
di langit, tanah, dan samudera ini
aku telah menikah kesunyian
kesunyian, kekasih yang sabar menjaga
aku tak menanti kabar kamu datang
datanglah bila kamu mau menikmati kesunyianku
di sini ombak dan kabut menderu
cericit burung yang samar
di bawah angin jauh dari langit sana
meneguhkan bayangan malam selalu suram
pulau ini tanpa tuan kecuali Tuhan
mengakrabi pagi senja memuncak di kekosongan
sekali tak menanti, tak perlu lagi bermimpi
meraih
pulau ini telah berdiri kukuh
di tengah samuderanya sendiri
SASALILI
lahirlah segala yang mau bertemu
langit tak menahan kecuali berbagi cahya
meluaskan daun mencari hijaunya
nafas bersua hangat di pucuknya
bila kau mengucap Nusa Utara
ingatlah airmata tradisi
panji mengibar haru
karena hati harus mengerti
bumi berwarna putih
sejak lahir hingga mati
di tengah bunyi gerendam tambur
syair tua itu melehkan getah darah
ke dalam jiwa
hidup adalah gunung tinggi
temukanlah pendakianmu
maka lembah jelas terlihat
dan kau dengar suara makrifat
*) Sasalili: tradisi darat masyarakat Nusa
Utara.
PADA SEBUAH SENJA DI SUMPELE
bila senja
berakhir sebagai senja
bayanganbayangan
lesap seperti tiada
apalah yang
ditiris harapan kau hampar
di gambar
bulan menggantung
di cabang
kering tak bernama
menyerah
pada kesiasiaan
tak berarti
kau kalah meraih kemenangan
lihatlah
bukitbukit di tebar samudera
bukankah
langit bumi mau menguji
mendaki
tergelincir kau harus memilih
bijibiji
hitam kecil
menumbuhkan
pohon kenari hutan
lebat kokoh menawarkan pemandangan
bukan ribuan
hektar kau bajak lebih bermakna
dibanding
sebatang pohon kecil
kau rawat
dengan sayang
yang tumbuh
itu
hanya
sesuatu
yang kau
percaya
BAU
GARAM DI LAMANGGO
aku mencium bau garam di Lamanggo
mencium pesan samudera di matamu
betapa luas bentang tantangan
di sini hidup tak lain mengasah keasinan
aku tiba di malam kental oleh cerita
laut
bulan bundar bertengger di langit
pulaunya
menerawang cahaya di pucuk bakau isyaratkan
risau
melaburi perjalanan anakanak gelombang
ke pulau
perahu dan kapal melabuh di Sawangino
juga cerita seberang bau parfummu
menerbangkan tekukur ke padang ilalang
hilang di balik gersang desa nelayan
kota dan kampung selalu berbeda
tak saja warna, juga nasibnya
nelayan berburu ikan terbang
memasang jaring di tengah malam
kutangkap dendang mereka
terjepit karang, tertampar ombak
pecah bagai butiran garam
KETIKA
TEKUKUR PERGI
barisan tanjung di telukteluk ini adalah
Biaro
tanah kolokolo dengan kisah pekur
tekukur
ketika tekukur pergi
bijibiji hitam matang gugur sendiri
betapa sepi laut melipat bumi
aku melihat sepi di sepanjang padang
karang
alangalang menguning di bawah batang
pandan
“tekukurku dimana kau kini
kurindu pekurmu di malam murung”
jauh cintaku bersembunyi
di barisbaris bukit
di
barisbaris laut
di barisbaris kenangan
MALAM
DI PANTAI BUANG
serupa perahu
rindu mengapung
mendebur dan asin
pasir menggigil, sepi bertaring
menguliti jejak matahari kemarin
mengkilapkan rambutmu
berapa waktu aku tak bertemu
kecuali bertemu sepi selalu itu
di pucukpucuk ketapang gelap
deru perahu melintas
deru hati menetas
terbang bersama meteorit
lenyap di ladang samudera
gulita dan senyap
malam selalu runtuh
dalam ingatan
tentang matamu
LAUT
ADALAH DIRIKU
(sebuah
perjalanan pulang
dari
Pulau Biaro)
masih seperti sediakala
laut adalah jendela
membiarkan malam
menyempurnakan kegelapan
di tengah kegelapan
kutemukan bayang diriku
didekapnya dalam gelombang
aku tak kehilangan asinnya
masih seperti sediakala
laut adalah hati
membiarkan cahaya
di bingkai dini hari
dalam cahaya
kutemukan hatiku
ia menuntunku
bertemu masa lalu
andai masa lalu itu manis
getir hari ini sempurna kusesap
bersama butiran garam
mengalas perjalanan terus ke depan
masih seperti sediakala
laut adalah diriku
rahasia yang dalam kau benam
dimana antara arus dan gelombang
yang pecah adalah
maknamakna ketenangan dan geram
LEMBAH
SIWOGHI
kabut turun di Siwoghi
di perempatan waktu mendaki
sebuah prasasti memahati senja di Buha
orangorang dusun
menyeberangkan mimpi
andaikan pucukpucuk Daihango
berbunga putih seputih puisi
ia akan melukisi teduh lautan
tegar merendam ombak
kristal garam
antara mimpi dan keteduhan
lelakilelaki selalu turun mendayung
di kaki gunung mencuram ini
sebijak penempah sejati
membentuk cekung langit
segaris pelangi
kabut pun turun melumat airmata
menjadi bintik kisah
entah kemana senja membawa
pesan yang dirajutnya
dan seperti kamu, aku mau menulis;
“dalai
abekaroro, mapia kadeho”
(jahat jangan berhinggap, baik biarlah bersinggah)
di setiap lembar airmata yang memar
aku mencari muara di balik langit
memerah
BUNGA
GANOPE
serimba apapun pengelanaan
aku selalu tiba pada mekarmu
pulaupulau dengan halaman tanah berbatu
menumbuhi Ganope di jejak perahu
pulaupulau selalu indah
taburan warna sederhana
bungabunga Ganope merimbun
memanggil hujan melintas khatulistiwa
turun di pelepah sagu
ketika itu anakanak akan bermain dengan
lugu
seperti Ganope berbagi wangi kau hidu
di bawa perahu ke semua ujung waktu
PANTAI
BUHIAS
cintaku beri aku tinta dan pena
buat menulis kilau tawa nelayan
usai menjaring kegembiraan di luas
samudera
mereka kekasih laut
yang terus menempah ombak
dalam hidupnya
pantaipantai berias kecantikan
derap dayung dan mesin
selalu melabuh seperti nyanyian
di unggun kehidupan
laut yang garang berbagi teduh pagi ini
bayangan mahkota karang
tampak di mata langit bening dan terang
aku menemukan pasir dengan jutaan jejak
yang pergi dan kemari
menyempurnakan laut mengapungkan perahu
yang selalu tiba di pantai hidupku
MINANGA
di Palangka pohon randu tumbuh dan
rentah
memandang bulan sore terbit di
Bongkongkaka
tujuh bukit menangis mengalirkan air
sungai Minanga
buat kekasihnya, teluk yang menyaga
hatiku bersampan di kebeningan kisah
Sinandiri
gadis yang terus bernyanyi di teluk
menanti kekasih
di tengah kampung orang mengali akar
batu Minanga
menemukan Minanga menjalar dalam
darahnya
sebuah pelabuhan telah berdiri
melabuhkan sejarah pelayar
mencari Sinandiri hingga ke bukit Siwowi
di puncak Fandorong langit begitu bersih
melukis legenda kekasih yang sepi
sendiri
NELAYAN
BIARO
mereka telah biasa
menghitung bulat purnama
bagai memutar jantera
di pasang surut hidup
mereka telah biasa
menaru musim di hati
ditisiknya sendiri
buat penat berhenti
padang nelayan adalah kelapangan dada
menerima waktu dan kisahnya
hingga tiba isyarat tak saja beban
riang pun pergi
kecipak air laut pada kayuhan dayung
mengisahkan asin yang sama
kecuali derai tawa, seperti ombak
punya waktu memecah dan redah
mereka telah biasa
mendengar kabarkabar
penghiburan mengibar kebohongan
kepalsuan
tetang nasib nelayan digadai
tak pernah bersampai
kecuali laut biru sabar
menaikan pasang, merebahkan surut
mengajari hidup tak perlu berebut
mereka telah biasa
menjinakkan daya kehidupan
dengan nyanyian berabadabad
dinyanyikan dengan kesabaran yang sama
MENYUSURI
HASI
akan kunamai setiap pesisir
sambil menandai musim
kapan arus dan angin kembali
hingga tujuan dan waktu punya peta
dan makna sendiri
di usia perjalanan jelang senja
aku menemukan barisbaris lithany laut
pada perahuperahu mengapung
dari pulau ke pulau mereka berlayar
hingga pelayaran menjadi kekal
dalam hidup mati
ya Allah maha nangkhoda
telah Kau tetapkan hidup
adalah pelayaran
di laut yang kususur ini
kususur pula jalan
menuju dikau
MEMANDANG
PULAU RUANG
pada jazirah batubatu hitam
dan pasir yang legam
kucium bau api yang geram
di sini berabadabad lahar selalu
mengalir
tapi berabadabad hidup tak kalah
mendesir
di pantaipantai Laimpatehi dan Pumpente
nelayannelayan membangun perahu merajut
jala
siapa mengajar daya bertahan selain
Tuhan
dimana hidup tak boleh menyerah
dan aku memandang orangorang terus
mendayung
di depan pulau dengan gunung puncaknya
terpancung
dalam semangat tak pernah murung
DI
PERKEBUNAN BOWOLEU
di perkebunan Salak Bowoleu
aku menimba manismu
tak lagi kupikir duri merimpang jalan
sebab cinta selalu menemukan pulang
aku terpana pada ketiak daun
yang memunculkan tongkol
dengan selindris bunga
mari kawinkan lagi hatiku
di sini kumbangkumbang bijak
menjalani ritus alam
menikahkan serbuk sari
menjadi buah yang sepat
tapi denganmu hidup terasa lengkap
di bawah atap palma ini
bagaimanapun asamnya hidupku
cuma padamu cintaku merimbun
KARANGETANG
di sini langit menghunus rindu
hingga kemana pun aku merantau
akhir perjalanan selalu tiba di kepundanmu
MITOS
ADITINGGI*)
kepundan magma menetas ayam merah
lava pun memijar bagai bunga
di atas, di ketinggian kepercayaan
moyang
api dan abu akan turun di lembah manusia
karena kita alpa memerangi lupa
ada gunung lebih tinggi dari ketinggian
hati kita
ada langit lebih luas dari cakrawala
pikiran kita
menjangkau yang tinggi harus dimulai
dari nurani
karena hidup seperti gunung pendakian
nilai
yang mencapai puncak hanya hati penuh
derai
lalu kapan ayam putih mengepak sayap
awannya
kepada siapa kita bertanya, bila bukan
pada diri semata
adakah cahaya di kedalaman benak kita
hingga tak sesat berjalan di rimpang
hidup penuh onak
begitulah di tengah alam yang sabar
mengajar ini
kutemukan ajaran moyang
tak ia letakkan Tuhan di puncak gunung
tapi menaruhnya di kedalaman hati
menyatu dengan diri
hingga mata hati melihat Tuhan setia
mengiring
*)
Aditinggi: Dewa tertinggi dalam kepercayaan purba suku bangsa Sangihe yang
mendiami pulau Siau. Dewa ini konon selalu muncul di puncak gunung Karangetang
dalam bentuk ayam merah petanda bahaya
dan ayam putih petanda baik.
SURAT
CINTA DARI LAUT
aku ingin mengirim gelobang padamu
hingga kau belajar menimba arusku,
cintaku
karena di laut aku selalu memburumu
di balik bulan yang murung
langit tiada letih mengarung
hingga labuh dibau gaharu tubuhmu
cintaku
bila bisa berbagi airmata yang asin ini
kau akan mengecap samudera
cinta semata tenaga penggerak lautan
hingga kapal dengan bijak mengarah
haluan
pagi dan malam bukan penghalang
untuk tiba diribaan sayang
kukirim kau sayang
perasaan yang mengibar
bagai selendang awan
karena laut selalu berangin
raih dinginku yang selalu
rindu dekapmu
DI
BUKIT PASIR RUANG
di bukit pasir pulau Ruang
anak Maleo menggali jalan menuju hutan
hutan telah habis dibabat orang
ia terbang ke langit mencari induknya
di langit Elang mengintainya
ia kembali ke liang pasir yang menetaskannya
tapi tak ditemukanya rumah baginya
kecuali desis ular terdengar lapar
di balik gundukkan semak liar
di iris matanya yang merah kecoklatan
kubaca isyarat gelisah tergenang bagai
lautan
jambulnya mengeras, paruhnya berwarna
jingga
membayangkan kenyamanan hidup di dalam
cangkang
tapi sekali terlahir pilihan tinggal
hidup atau mati
ia pun terbang ke sana ke mari menandai
benua
di atas peta panas kawah yang bergerak
membentuk lava
mahluk fana, akan mengerti dimana hidup
tak lain
padang pertarungan penuh luka nestapa
KISAH
PELAUT TUA
(dalam
pelayaran dari Buang ke Sawangino
Bersama
Opa Hersen)
ia bercerita tentang kekasihnya laut
dengan bau garam merebahkannya di malam
tahuntahun percintaan sarat pelayaran
seperti perempuan katanya, gelombang itu
tangan
pada gelombang
ia menemukan taman samudera
tak berbatas cakrawala
terus menjelajah menuju kaki purnama
dimana di sana cinta lebih bercahaya
pulau dan benua cuma tempat mengaso
begitu juga gadisgadis cantik berbagi
gincu di dada
pelaut itu pengelana, sahabat badai
langit tanpa cahaya
jangan bertanya berapa gadis telah
dicumbunya
atau berapa banyak minuman telah
dikecapnya
ia akan berkata: semua tak sebanding
lautan
yang membuat dahaga sesungguhnya
terpuaskan
empat puluh lima tahun pelayaran
menjadikan port seakan stasiun
siapa tak ingin mencium bau garam di
selangkangan laut
tanpa laut pulau dan benua tak saling
berpaut
tapi, ia harus berpisah dengan
kekasihnya karena usia, katanya
laut dan pelaut ternyata cinta ditakdir
tak selalu bersama
GEREJA
ULU
dulu ada anak gadis missionary gereja
Belanda
ia berlarilari di bawah pinang raja di
pelataran gereja
kukira ia malaikat yang datang berbagi
riang
dengan anakanak petani pala
bermata sayu memandanginya
omaoma tua mengenakan kebaya berbau
kanji
diseterika hingga kerawang dan suji
begitu rapih
mereka berpayung menuju gereja
dengan senyum serekah seruni dan kenanga
opaopa mengenakan stelan jas dengan
umbai rantai di dada
sisiran rambut dipipih hingga menyentuh
kulit kepala
mereka tiba lebih pagi dari semua
dan memilih tempat paling muka
ini misa keberapa. Mazmur yang sama
masih dibaca di altar
sejak
aku kanakkanak mengikuti ibu ke
gereja
aku hanya menghitung tahun dan abad
tiang penyangga tua telah dipugar. Juga
tahlil
telah berbeda katakata
cara berpakaian pun ikut berubah
anak missionary Belanda telah tiada
aku ingat di menara ada miniatur ayam
yang selalu berputar mengikuti angin
aku menatap ke menara
ayam yang sama masih di sana
menumbuhkan kenangan dan kesaksian
Tuhan yang kupuja tak berubah
meski saman porakporanda
RENUNGAN
LEMBAH
di Tagulandang senja membawaku
pemandangan lembah
bukan lembah biasa berupa hamparan
pepohonan
lembah ini hati petani nelayan dilebati
ketabahan
menebas semak gelombang dipenuhi karat
dimanamana ketemukan wajah mereka asin sekristal garam
mengasinkan celacela cabang pepohonan
Daihango yang menyelinap
ke benak menjejar dedaunan di sepanjang
jalan
dimana bayangbayang orang desa mencari
pulang
para leluhur sesungguhnya telah membuat
peta kehidupan
agar nafas mereka merekah
tapi udara selalu terlalu kelabu
menerkam silsilah leluhur
membuatnya tertidur di atas jejak perahu
dulu tegar bertempur
lalu hujan seharum hutan dengan kisah
musim bunga putih
berkata; semesta seri itu bukan saja
milik melati, kenanga
dan Elang yang bisa menjelajahi dan
meraih langit tertinggi
anakanak desa di sini juga punya riang
menangkup desau angin
menangkap gerisik dedaunan seperti
notasi
ketika bumi bernyanyi, mereka itu penari
hingga malam tiba mereka lupa jalan
menuju mimpi
burungburung juga seperti angin tak lupa
hinggap mencadainya
mencericiti senja yang tak luput berbagi
sinar terindah
warna kemuning mendenyar hingga ke dalam
doa
dikayuh menuju ladang samudera di dada mereka
yang terus mendebur tak pernah diam
dari tebing pulau pun kulihat laut luas
melukisi cekukan sejarah
warna gelombang. bau Salak manis dan
sepat mengaduk ingatan
pulau indah ini terbentuk dari kisah
airmata menjadi delta
dalam dongengan yang kini menjelma
keseharian orangorang
sigap bertarung melawan kesulitan
kemustahilan
memanjang di kesunyian
MAKALEHI
samudera selalu mengkoreografikan
teduh dan amuknya dalam sejarah yang
pecah
menjadi sembilan kaldera memagari danau
mati
di dada pulau jauh dan sendiri
aku berkayuh di atas air danau mati di
pulau ini
kutemukan detak nadi Makalehi
seperti seekor bangau putih bernyanyi
buat kekasih
di atas hamparan bunga teratai berwarna
jingga wangi
wangi siapa mendupa danau tak pernah
bertemu laut ini?
kalau bukan wangi kekasih lesap
tergenang air matanya sendiri
karena antara rindu dan mimpi selalu ada
tepi tak bisa diraih
lalu aku berangkat ke Tenggohang,
Dumpis, Sanggilehe, Sawang
Meraki, Singgalawo, Kuhita, Sawanto,
Batuwenahe
di sembilan bukit itu kubaca jejak
perjalanan capung
ia menenun danau dalam sayapnya berwarna
maron
kemudian disesapnya nektar sajaksajak
mercusuar
menjadi seratserat sinar buat laut yang
terus
mengayam pijar gelombang
orangorang datang menemukan lagi
Makalehi
dalam perahu dipenuhi ikan demersal
palagis
di kail dipukat dalam kisahkisah abad
terus bergerak dalam arus pasifik deras asin
di pesisir gadisgadis memandang matahari
jatuh di air
Makalehi tersenyum di mata mereka
melukis mata angin
sedang menyusun sayapsayap angsa lebih
putih dari awan
andai kekasih itu datang pada suatu pagi
danau kini tertawan bisa menemukan jalan
ke laut lebih dalam
ANDAI
ENGKAU BISA
(Buat TS)
andai engkau bisa menenun pagi
dengan silsilah dini hari berakar pada sujud
hari ini batu tak perlu jadi ampas
berlumut
di ujung lidah kata di penuhi lava
sungut
di sepanjang Sitaro orangorang mencari
ujung jalan
dongengan tua kasatria perahu. harihari
menjadi rentah tersia
semua menyelinap, juga bulan memantulkan
cahaya dangkal
seakan laut tak berdaya menyeberangkan niat
orangorang menanamkan benih hidupnya
jadi pepohonan
tapi engkau tak jua mau belajar pada
akar
mendoakan pucuk selalu tumbuh
menjadi pohon besar hingga tak saja
penatmu bisa bersandar, orang lain pun
datang meneduhkan kegelisahan
andai pada matahari kau mau menimba
makrifat
siang menjadi lebih terang bagi embun
mencari jalan
bertemu cahaya, kendati hidup ini seakan
jejeran caldera
berlumut lincin keras dan tajam
andai engkau bisa menyusun kisah
perjalanan arus
orangorang pulau ini tak akan kehilangan
ikan di mimpi mereka
mereka akan terus mengibar layar dan
malam menjadi semarak
tawa anakanak dan ibah ibu mereka yang
mekar bagai kenanga
tapi engkau tak berniat untuk bisa,
selain berkatakata anyir
hingga banjir api turun dalam sarkasme
tikus cacing bau bacin
memamah semua jejakmu melumut di atas
tandus mata mereka
“kau telah kalah dalam pertemuran
sebenarnya
bisa kau menangkan!”
TERATAI
DANAU MAKALEHI
bila hamparan teratai ini begitu indah
mungkingkah surga berwarna jingga
memantulkan gema gelombang danau
ke rimbun dedaunan kapuk sebentar lagi
lapuk
bungabunga dan daun akan susut
seperti hidup punya waktu lisut
yang terhampar abadi bagai surga
adalah warna kenangan melampau usia
sejak dulu orang pulau menitipkan penat
keringat di sini
sesekali membasuh pedih hingga akar
teratai menjadi gemuk
oleh kisah saman dipenuhi sayatan. Luka
lalu, kini dan masa depan
mungkin sudah sedemikian dalam tergenang
hingga teratai menawarkan pemandangan
makam
dalam sejarahnya danau ini mungkin
kumpulan air mata
turun dari puncak Singgalawo dan delapan
pucak
mitos laga Onding menyergap bajak laut
burung Kemba piawai mengintai ikan tak
lupa meniti
cabang cabang sejarah bersurai bagai
lelaki rentah
aku mendengar sayup dengus nafas
berkecamuk
orangorang itu, terbatabata berjalan
mengelilingi danau
sambil melihat teratai tumbuh bagai
selendang
terjurai di kaki abad yang selalu
mengenakan jubah hitam
pepohonan yang tegak pun kedinginan
menyaksikan air danau
sebegitu tua menyimpan tangisan
MENYEBERANGI
ARUS
aku telah berjanji mengisahkan laut ini
padamu
laut tak pernah teduh menggenang matamu
di sana aku menyeberangi arus tiada
henti mengecamuk
menahan sampaiku di pulau jauh di
kedalaman hatimu
perahu dan burungburung menari
selalu pergi dan tiba dengan seiris
kabar kelakar
tetang malam sebegitu gigih menggergaji
arus
tapi gelombang tak jua terpiuh remuk di
kayuhanku
Pajeko dengan mesin dalam yang kekar
berapa arus telah ia lindas. tapi
lainnya tetap saja berakar
aku telah berjanji berlayar menjelajahi
samudera padamu
bulan sepotong begitu murung hinggap di
tiang perahu
mencakapkan jarak labuan selalu begitu
jauh
kunangkunang air mengelip pun
menyelinapkan getir
pada setiap pecahan buih penyeberangan
menjelma jadi mimpi yang karam
MENDAKI
TAMATA
berulang aku mendaki gunung ini
menafsir bayangbayang pepohonan
tubuhtubuh luruh di bawah dedaunan
mereka berkidung sambil memilah pala
meranum
gerimis berguguran membangkitkan kabut
dalam harap lebat oleh lumut
berulang
aku menghafal pecahan jalanan
jalanan bercabang menuju liang sekadar
hilang
cuaca pucat menerjemahkan sunyi ke dalam
akar
mereka tetap saja meski tertatihtatih
mendaki
kendati puncak siasia mereka lampaui
pada kesekian kali pendakian
aku bersua orangorang turun memikul
panenan
terbatabata melewati tebing curam
menuju lembah jauh di bawah dasar jurang
dari bagian tertinggi aku memandang
lembah
di sana sesungguhnya ornamen hidup
bermula
tumbuh di dasar doa bersinar bagai
lentera
BARISAN
PANDAN
laut menganyam tikar petiduran bulan
pada kelindan barisan pohon pandan
di tepi pesisir keheningan
seratserat lainnya menyusun pesan
langit dan laut tak pernah lelap
mengiktisarkan matamu
melenterakan sinar
dari Ulu ke Mala
getar ombak menyelusupkan
tubuhtubuh pecah
mencair dalam gaduh suara pepohan
tapi angin membawa bau tubuhmu
menjelma perahu besar tibatiba
melabuh di hatiku
hatiku seakan bandar
ramai merdu suasa
mengentalkan lebat hujan yang kau kemas
ke atas barisan pandan digenangi
kerinduan
BOWONGULU
matahari dulu tiba di pagi buta
tiba lagi di pagi kini
dengan memar yang sama
meski di Bowongulu cahaya tak pernah tua
juga kisah lelaki kupanggil ayah
ia menyajak di lerengan
lembahlembah ingatan
pohonpohon kelapa di gunduk bukit itu
seumur siapa
ia menanam sejarah menjadi begitu tinggi
melempar pijar api di mulut gunung
terus menciptakan senyum dan caldera air
mata
ketika batubatu mencair seakan air
datang dalam sungaisungai ketakutan
bukit ini begitu tegar menghadap takdir
tentang mata tak pernah rentah
menumbuhkan cinta
di atas tanah
dipenuhi gempa
sekali ayah ia tetap
saja pohon
dan sebuah kota
SEBUAH
KOTA INGATAN
dikau sebuah kota ingatan buat pulangku
pada setiap pelayaran dipenuhi ombak
dan tentang mata senantiasa mengejab
serta nafas yang merendam keluhuran
cahaya
di situ aku mengaktori hatiku
lakon ini mendedah dengan ledakanledakan
tinggi
aku masih di Ondong. di negeri tua
ketika membuncah semua
leleh bagai cairan lava di puting gunung
di penuhi panas api
aku menemukan api yang kemudian selalu
mampir itu
dan tentang rambutmu mengibarkan angin
aku selalu ingin meniti hingga tiba di
inti pusarannya
dalam lagaku sendiri
lelaki tak bertemu akhir dari kisah sepi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar